Kamis, 12 Agustus 2010

CARPEDIEM

Picture taken from: thelavisshow.wordpress.com

Carpediem,
Tahukah kau istilah itu kawan?
Pasti sekarang kau sedang bingung memikirkan arti kata itu?
Otakmu kau kerahkan, pikiranmu melayang-layang, mengingat-ingat arti kata itu..
Mungkin kau pernah mendengar atau membacanya di suatu tempat?
Oh..ternyata kau masih merasa asing dengan kata itu?
Tapi beberapa diantaramu, manggut-mangut, dan tersenyum simpul
Apakah itu pertanda beberapa darimu sudah tahu arti kata itu?
Atau pura-pura tahu agar aku segera memberitahumu arti kata itu?
Baiklah, aku tidak akan berlama-lama membuatmu penasaran kawan
Carpediem berarti raihlah kesempatan...
Kamu pernah mengalaminya??
Ketika seseorang menawarkan suatu kesempatan padamu untuk kau lakukan, ada rasa takut yang menghinggapimu..
Ada perasaan khawatir mengendap di hatimu,,,
Perasaan itu menggumpal, menutupi keinginanmu
Kemudian kau bilang pada dirimu “Ah mungkin aku tidak bisa sekarang, mungkin lain kali”
Oh sayang sekali kawan, kau telah membuang satu kesempatan penting dalam hidupmu.
Kenapa tak kau bilang saja “Akan ku coba”, dan semuanya akan menjadi lebih mudah.
Carpediem,
Ayo kawan raih kesempatan dalam hidupmu!
Kesempatan hanya datang sekali..
Orang boleh berpikir bahwa masih ada kesempatan kedua, namun kesempatan kedua tidak akan lebih baik dari kesempatan pertama
Sekali kau membuang kesempatan baik, kau akan meyesal
Hargai kesempatan yang di berikan Tuhan padamu, setiap hari, jam, menit, bahkan detik
Kesempatan sekolah, kuliah, bekerja sampai kesempatan hidup dan bernafas sampai sekarang....
Rintangan dan halangan selalu datang menghadang namun pasti kamu mampu mengatasinya.
Karena aku tahu kamu bisa dan luar biasa!!


Alfanita Zuraida
Home, 180110

Mengintip Perjalanan Pendidikan di Indonesia

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pendidikan diartikan sebuah proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Di Indonesia, pendidikan telah mengalami berbagai perkembangan mulai dari zaman hindu-budha, zaman kolonial, zaman prakemerdekaan sampai orde baru, dan zaman reformasi sampai sekarang. Berbagai arah kebijakanpun berubah seiring perkembangannya.

Zaman Hindu-Budha

Pada abad 14-16 M (sebelum kejatuhan zaman Majapahit), pendidikan tidak diselenggarakan secara luas. Pendidikan pada masa ini diberikan dari tingkatan pendidikan dasar, lanjutan, dan tinggi. Namun sifatnya tidak formal hanya terbatas pada relasi guru dan murid sehingga bila ada seorang murid yang tidak puas dengan ilmu yang dikuasainya ia dapat berguru pada guru di lain padepokan. Di padepokan diajarkan jenis ilmu pengetahuan yang bersifat umum dan juga khusus untuk menopang hidup keseharian. Para bangswan, ksatria, dan kelompok elit lainnya mengirimkan anak-anak mereka ke padepokan ternama, selain itu beberapa dari mereka juga memanggil guru ke keraton untuk mengajarkan ilmu pada anak-anak mereka.

Selama zaman hindu-Budha, isi pendidikannya adalah agama, olah kanuragan dan bela diri (jaya-kawijayan), kesusasteraan, dan unggah-ungguh atau etika. Selama zaman hindu-budha, sekolah di Indonesia adalah berupa pecantrikan/padepokan atau sanggar. Peserta didiknya disebut cantrik atau murid. Pendidiknya disebut guru, suhu atau hajar. Pecantrikan pada awalnya hanya diperuntukkan bagi bangsawan(ksatria), namun setelah perkembangan lebih lanjut masyarakat umum juga mengembangkan dengan dibantu oleh para pujangga bijak kerajaan. Pecantrikan yang demikian lebih menekankan padapendidikan olah kanuragan dan jaya-kawijayan dengan harapan mereka dapat menjadi prajurit (ksatria).

Zaman Kolonial

Semasa zaman kolonial, ada beragam sistem pendidikan, diantaranya beberapa pesantren tradisional (pendidikan agama )juga sistem persekolahan yang dibawa Belanda. Menurut Sawa Suryana, sampai awal abad 20 sistem sekolahan yang dibawa Belanda kurang diminati penduduk pribumi. Oleh karena itu, pemerintah kolonial Belanda berusaha untuk menarik minat bangsa Indonesia masuk dalam sistem pendidikan barat. Menurut Haji Agus Salim dalam kuliah yang disampaikan dihadapan para mahasiswa Unversitas Cornel di Ithaca tahun 1953, ia menyatakan bahwa kedatangan profesor Snouck Hurgronje pada tahun 1880 adalah membawa misi uji-coba perubahan pendidikan barat di Hindia-Timur. Tujuan dari politik Belanda ini adalah marangkul segenap lapisan sosial masyarakat Indonesia agar masuk ke dalam culture atau kebudayaan Belanda. Hal ini bertujuan agar bangsa Indonesia mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda. Pada masa ini ada sebuah kekhawatiran bahwa kebijaksanaan ini akan menjauhkan kaum pribumi dengan ajaran islam. Karena itu pendidikan barat kurang mendapat tempat di hati rakyat, selain itu para bumi putera juga terlihat menjaga jarak dengan dengan sistem pendidikan barat (Mochtar dalam Agus Salim, 2007: 2002).

Namun ketika orang sudah banyak berpikir tentang perlunya pendidikan kooperatif dengan Belanda, maka sistem pendidikan barat inipun mulai dilirik oleh banyak orang. Hal ini terjadi ketika revolusi fisik. Perkembangan pendidikan barat ini mencapai puncaknya pada waktu zaman pergerakan nasional, dimana kesadaran pendidikan dipicu oleh semangat nasionalisme yang tinggi, walaupun dengan pendidikan barat. Pendidikan pada zaman ini dimulai dari pendidikan rendah sampai tingkatan pendidikan menengah.

Zaman Prakemerdekaan--Zaman Orde Baru (sebelum 1945-1997)

Pada zaman prakemerdekaan, politik dan ideologi pendidikan masih berkutat masalah nasionalisme dan juga pencapaian kebebasan, kemerdekaan, dan persamaan. Berbagai upaya pengembanganpun dilakukan dengan berbagai cara diantaranya pembebasan bangsa dari kebodohan, kemiskinan, dan kepapaan. Selain itu penguatan pengaruh antara pemerintah kolonial, berbagai lembaga swasta-masyarakat-nasioanalis, kelompok kristen dan pesantren juga merupakan upaya pengembangan yang dilakukan.

Hal ini tidak jauh berbeda dengan masa orde lama, politik, dan ideologi pendidikan adalah masih seputar masalah nasionalisme. Sejalan dengan politik dan ideologi pendidikannya, maka upaya pengembangan merupakan sebuah upaya untuk meningkatkan nasionalisme. Di masa ini pembangunan pendidikan dilakukan oleh pemerintah dan swasta.

Di zaman orde baru, pemerintah memiliki pengembangan kebijakan monokultural yang bertujuan menekan keragaman kultural dalam bentuk ‘nation’ Indonesia. Di zaman yang di pimpin oleh presiden Soeharto ini, sekolah negeri masih mengakomodasi siswa dari berbagai latar belakang etnis dan budaya. Anak-anak dari etnis minoritas mendirikan sekolahnya sendiri. Politik integrasi nasioanal bentuk pengembangan ‘sekolah asimilasi’ justru membuat para siswa dari etnis minoritas merasa terasing secara budaya.
Zaman Reformasi(1998)-Sekarang
Pada zaman reformasi, pemerintah berusaha meningkatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) hingga mencapai 20%. Dalam upaya pengembangannya, peningkatan pendidikan mengedepankan tiga aspek penting yaitu dominasi kekuasaan negara lewat proyek-proyek pendidikan nasional (BOM, pembangunan gedung SMP, dll), proyek pembangunan infrastruktur pendidikan, dan sertifikasi pendidikan nasional.

Kini pendidikan sudah mengedepankan tiga hal penting yaitu sains, teknologi dan seni. Hal ini sesuai dengan tema Hardiknas tahun ini “Pendidikan Sains, teknologi dan seni Seni Menjamin Pembangunan Berkelanjutan dan Meningkatkan Daya Saing Bangsa”. Sebagai upaya mencerdaskan bangsa tiga hal penting itu tidak boleh dilupakan begitu saja.

Dalam penerapan tiga hal penting ini diakui Depdiknas masih terdapat banyak kekurangan dan tantangan yang dihadapi. Untuk menjawab kekurangan dan tantangan tersebut, Depdiknas telah membuat tiga pilar kebijakan yang dirangkum dalam Rencana Strategis Depdiknas 2005-2009, yaitu pemerataan dan perluasan akses pendidikan; peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan; serta penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik pendidikan. Pada akhir tahun 2008 hampir seluruh indikator kinerja utama rencana strategis tersebut telah tercapai dan banyak yang melampaui target. Sementara itu untuk menjawab tantangan pembangunan pendidikan nasional ke depan, pada tahun 2009 Depdiknas telah menetapkan 11 (sebelas) terobosan kebijakan massal dan telah menunjukkan hasil-hasil positif.

Dalam sambutannya pada Hardiknas 2009 Menteri pendidikan Nasional Prof. Dr. Bambang Soedibyo mengatakan bahwa untuk saat ini pendidikan sains, teknologi dan sains sangat relevan dengan permasalahan dalam konteks peningkatan mutu pendidikan nasional untuk menyiapkan sumber daya manusia Indonesia yang cerdas dan berdaya saing Ia juga menjelaskan, pada kurun waktu tahun 2005 - 2008, pendanaan pendidikan melalui program Bantuan Operasional Sekolah (BOS), BOS Buku, Bantuan Khusus Murid (BKM), Bantuan Operasional Manajemen Mutu (BOMM) dan program beasiswa telah menunjukkan hasil dan manfaat yang signifikan dalam pengembangan mutu pendidikan di tanah air.

(Alfanita, Sumber: Salim Agus, dkk. 2007. Indonesia belajarlah! Universitas Negeri Semarang dengan Tri Wacana. Yogyakarta)

PESONA PENDIDIKAN DAN BUDAYA DI NEGERI MATAHARI TERBIT


 Picture taken from: research.org

Dalam sejarahnya Jepang adalah negara yang dua kali mendapat serangan bom atom dari sekutu. Bom-bom atom itu dijatuhkan pada dua pusat kota di Jepang yaitu kota Hiroshima dan Nagasaki. Namun, Jepang bukanlah negara yang pantang menyerah. Tak lebih dari satu dasawarsa, Jepang telah menjelma menjadi negara maju dalam berbagai bidang kehidupan. Kemajuan ini diraih salah satunya berkat kemajuan pendidikan di Jepang. Sistem pendidikan di Jepang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip legalisme, administrasi yang demokratis, netral, penyesuaian dan penetapan kondisi pendidikan, dan desentralisasi.

Bagi Prof. Dr. Djodjok Soepardjo M.Litt, suatu keberuntungan besar bisa menuntut ilmu di Jepang. Pria yang telah menjadi dosen di Jurusan Bahasa Jepang Unesa sejak tahun 1981 itu mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan program S-2 dan S-3nya di Nagoya University pada 1991-1997. Linguistics dan léterature adalah jurusan yang diambilnya. Jepang sebagai negara yang sangat maju dan disiplin telah membuatnya jatuh hati. Dengan senang hati pria yang juga dosen jurusan bahasa Jepang ini pun membagi ceritanya tentang pendidikan dan culture masyarakat Jepang.

Menurut pria yang mempunyai hobi membaca dan olah raga ini umumnya mahasiswa Jepang terbagi dalam tiga golongan yaitu mahasiswa yang berjiwa pembelajar, mahasiswa yang gemar bermain, dan mahasiswa yang bermain sambil bekerja. Mahasiswa yang berjiwa pembelajar memunyai satu tempat favorit yaitu perpustakaan. Jadi jangan heran bila setiap hari datang ke perpustakaan Jepang kita akan menemukan orang yang sama setiap harinya, mereka inilah mahasiswa yang mempunyai niat belajar yang kuat. Golongan yang kedua biasanya berasal dari high class, sehingga merasa dengan kekayaan orang tuanya mereka dapat melakukan apapun yang mereka suka. Klub-klub olah raga merupakan tujuan dari kelompok ini. Biasanya mereka adalah tim-tim inti organisasi olah raga. Yang terakhir adalah mahasiswa yang belajar sambil bekerja, jumlah mahasiswa ini biasanya lebih besar daripada golongan pertama dan kedua. Biasanya beberapa pusat perbelanjaan atau supermarket menyediakan kerja part-time untuk para mahasiswa ini. Jam kerja mereka biasanya disesuaikan dengan jadwal kuliahnya.

Rata-rata mahasiswa Jepang adalah mahasiswa yang sangat rajin dan tekun. Bila semua jurusan di Unesa punya mata kuliah seminar maka begitu pula mahasiswa di Jepang. Mereka pun punya mata kuliah yang sama. Namun perbedaannya adalah persiapan yang dilakukan. Mahasiswa Jepang mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan mata kuliah ini dengan sangat detail. Mereka pergi ke perpustakaan untuk mengumpulkan berbagai bahan yang berkaitan dengan mata kuliah ini dengan sangat teliti. Inilah perbedaannya, kadang mahasiswa Indonesia mempersiapkan mata kuliah ini seadanya, tanpa persiapan atau dengan persiapan yang minim.

Bagi mahasiswa asing, masalah biaya tidak terlalu berat karena biasanya mereka memperoleh full scholarship. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa ada perbedaan signifikan antara tinggal di kota besar Jepang dengan di pinggiran kotanya. Sama dengan di Indonesia, umumnya di pinggiran kota yang mempunya state university, biaya hidup yang ditawarkan lebih terjangkau dari pada di kota besar. Dalam hal ini beberapa mahasiswa asing yang tidak mendapatkan full scholarship mengakalinya dengan bekerja part time. Namun, untuk mahasiswa asing pihak imigrasi hanya memberikan jatah bekerja 5 jam dalam seminggu.

Sarana prasarana penunjang kegiatan belajar mengajar di Jepang juga sangat lengkap. Sebagai negara yang sering dilanda gempa, Jepang memiliki fasilitas penanggulangan gempa. Berbagai fasilitas yang ada di gedung ataupun di kelas telah dirancang sedemikian rupa sehingga ketika gempa terjadi berbagai persiapan dilakukan untuk menghindari jatuhnya korban jiwa. Selain itu, simulasi gempa telah banyak diajarkan, baik di kampus-kampus maupun perusahaan. Ada satu fasilitas yang sangat jarang atau bahkan tidak ada di kampus-kampus di Indonesia yaitu pemakaian ID-card. Dengan ID-card tidak semua orang bisa masuk ke dalam kelas. Hanya orang-orang yang memunyai ID-card saja yang bisa masuk dalam ruang kelas. Jadi untuk masuk ke dalam kelas Nagoya University, orang asing harus punya teman atau kenalan mahasiswa Nagoya University.

Banyak kegiatan ekstrakurikuler yang ditawarkan untuk mahasiswa di Nagoya University, bila di Unesa ada pameran UKM, maka begitu pula di Nagoya University. Berbagai kurabu atau klub menggelar pamerannya untuk mendapatkan anggota baru. Dan setiap mahasiswa diharuskan memilih beberapa club yang sesuai dengan bakat dan minat mereka. Ada yang menjadi anggota klub tennis, sepak bola, paduan suara, kegiatan jurnalis, dsb. Bila ada beberapa UKM di Unesa yang kurang terdengar gaungnya karena jarang ada kegiatan, di Nagoya University hal ini tidak berlaku. Klub-klub di sana selalu ramai dengan berbagai kegiatan dan latihan. Apalagi kalau akan diadakan kompetisi antaruniversitas, maka suasana di klub yang akan berkompetisi dengan universitas lain akan semakin ramai. Kejuaran antar klub rakhbi(sejenis American foot ball) adalah yang paling banyak menyita perhatian mahasiswa. Bila ada kejuaraan ini bisa dipastikan bahwa kampus akan sesak penonton.

Orang Jepang terkenal dengan tiga kebiasaannya yaitu antri, peduli pada lingkungan, dan ekonomis. Untuk budaya antri, di manapun mereka berada seperti di tempat pembelian tiket, toilet umum, dan tempat-tempat yang memerlukan antrian, mereka akan membentuk barisan antrian. Menjaga kelestarian lingkungan juga merupakan satu hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Jepang . Ada yang menarik dalam hal ini, karena para pensiunan yang sudah tidak bekerja masih melanjutkan sekolah di sebuah college yang bernama Silver College University yaitu universitas bagi para pensiunan. Mereka mencoba mengaplikasikan ilmu mereka untuk kelestarian lingkungan misalnya meneliti cara air yang keruh bisa menjadi bersih. Jadi tidak ada manula yang hanya duduk diam di rumah, mereka menghabiskan waktu mereka sama seperti yang dilakukan orang-orang di usia produktif. Orang Jepang juga adalah orang yang paham akan kualitas produk, untuk produk berkualitas mereka harus merogoh kocek yang dalam. Namun hal itu tidak berlaku diskon. Mereka bisa mendapatkan produk berkualitas dengan harga miring. Maka tak heran bila mereka rela berbondong-bondong pergi ke tempat diskon untuk mendapatkan produk berkualitas dengan harga hemat. Inilah sikap ekonomis masyarakat Jepang.

Ujian di universitas Jepang sama dengan di Indonesia. Pengambilan nilai dosen didasarkan pada Mid-term test, final examination, dan tugas mahasiswa. Menurut pria yang beralamat di daerah teluk sampit Surabaya ini ujian di Jepang adalah ujian terketat di dunia. Dalam ujian ada beberapa peraturan yang harus ditatati oleh mahasiswa yang lebih ketat daripada di universitas di Indonesia. Mahasiswa Jepang adalah mahasiswa yang punya budaya malu. Mereka berprinsip bahwa menyalin jawaban adalah hal yang sia-sia, untuk apa dapat nilai memuaskan kalau bukan dari hasil sendiri. Jadi mengerjakan pekerjaan dengan kemampuan sendiri dianggap lebih terhormat daripada hanya menyalin jawaban.

Pendidikan di Jepang adalah salah satu pendidikan termaju di Asia, bahkan di dunia. Semangat, kerja keras, dan sikap tak mudah menyerah menjadikan pendidikan Jepang seperti sekarang ini. Jadi tak ada salahnya ‘kan belajar mengatur pendidikan Indonesia pada negeri matahari terbit ini.

(Alfanita Zuraida)

IT’S ALL ABOUT POLAND’S EDUCATION


 Picture taken from: hybridarts.co.uk

Polandia atau Polska adalah salah satu negara berbentuk republik di Eropa tengah yang berbatasan langsung dengan Jerman di sebelah barat. Negara ini mempunyai 16 propinsi dan beribukota di Warsawa. Di negara yang 100 % warganya menggunakan bahasa Polandia sebagai bahasa sehari-hari ini pendidikan sangat diperhatikan oleh pemerintah. Kali ini kita akan mengulas tentang pendidikan di Polandia dengan narasumber Krawczyk Krzysztof, salah satu mahasiswa asing, Jurusan Bahasa Indonesia Penutur Asing (BIPA) yang saat ini sedang mengenyam pendidikannya di Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Unesa.

Pria berusia 34 tahun ini datang ke Indonesia pada 1 September 2009 lalu untuk mendalami bahasa yang berasal dari bahasa melayu ini. ”Tujuan saya mempelajari bahasa Indonesia adalah untuk menjadi translator pada perusahaan Polandia di bidang ekspor-impor dengan Indonesia. Sebenarnya ada tiga tujuan mahasiswa Polandia datang ke Indonesia diantaranya untuk belajar Bahasa Indonesia, belajar seni seperti gamelan, dan belajar sejarah Indonesia,” jelasnya.

Kris (panggilan akrab Krawczyk Krzysztof, red.) mendapatkan beasiswa dari program darmasiswa. Darmasiswa adalah program beasiswa yang diperuntukkan bagi mahasiswa asing yang ingin belajar di Indonesia. Pada bulan Maret, pria ramah ini browsing di internet dan mendapatkan informasi seputar program darmasiswa. Setelah itu ia segera mengirimkan application. Dari 60 orang yang mendaftar ia adalah satu dari sepuluh orang yang diterima. Kesepuluh mahasiswa asal Polandia itu datang ke Indonesia pada awal September dan kini menimba ilmu di beberapa kota di Indonesia seperti di Samarinda, Jogja, Malang, Bogor, Solo, Bali, dan Jakarta.

Ditanya mengenai pendidikan di negara asalnya, ia mengatakan bahwa pendidikan di Polandia renggang waktunya lebih lama dari pada di Indonesia. Di sana usia sekolah dimulai pada usia playgroup yaitu 3-5 tahun, kemudian dilanjutkan dengan zerowka (TK) pada usia 6 tahun, pada usia 7-14 tahun siswa-siswa di Polandia memasuki szkola podstawowa (SD) dilanjutkan pendidikan di liceum (SMP dan SMA) pada usia 15-18. Tidak ada sistem untuk membagi antara SMP dan SD, hanya satu sekolah liceum untuk SMP dan SMA. Kris menjelaskan” In Poland there is no system dividing junior and senior highschools from each other, just one highschool. However government prepares reform to split highschool into two: gimnazjum(SMP) and liceum (SMA)”jelasnya. Untuk usia masuk uniwersytet atau politechnika (perguruan tinggi) sendiri berkisar antara 19-25 tahun atau lima tahun untuk mencapai master’s degree (S-1) atau tiga tahun untuk bachelor’s degree (D-3).

Sebelum ke Indonesia dan menjadi bagian dari Unesa ini, pria kelahiran Warsawa ini telah meluluskan pendidikannya di University Commerce and Law jurusan foreign trade. Ada satu keunikan yang tidak dapat ditemukan di kelas-kelas di Indonesia. Di Universitas yang terletak di Warsawa ini kelas dibagi menjadi dua, yaitu lecture classes dan workshops. Dalam lecture classes, mahasiswa yang mengikuti perkuliahan diajarkan tentang teori. Lecture clasess ini biasanya terdiri dari 200 mahasiswa atau lebih. Sedangkan dalam workshop class yang terdiri dari 20-30 mahasiswa perkelas diajarkan bagaimana teori yang didapat dari lecturer class diterapkan. Karena itu di universitas ini dapat ditemukan kurang lebih enam aula besar yang digunakan untuk lecture classes.

Ditanya masalah OSPEK, pria yang kini tinggal di Citraland ini mengatakan bahwa sebelum kelas dimulai ada activity yang harus dilakukan oleh mahasiswa baru yaitu introduction meeting. Dalam introduction meeting mahasiswa baru akan dilkumpulkan untuk diberikan informai seputar kehidupan kampus dan lingkungan sekitar kampus, selain itu mereka (mahasiswa baru di Polandia, red.) juga langsung diberikan handout yang berisi jadwal selama satu semester. Disana juga ada para volunteer yang menawarkan mahasiswa baru untuk ikut dalam berbagi kegiatan ekstrakulikuler misalnya olahraga, cycle of philosophy, dan cycle of law. Dua kegiatan terakhir adalah kegiatan yang isinya diskusi mengenai berbagai hal tentang filsafat dan hukum.

Di Polandia, jadwal dan pengaturan jadwal di kelas-kelas sangat teratur. Kelas-kelas di sana akan dimulai tepat dengan waktu yang dijadwalkan. “Disana sangat tepat waktu sekali jika memulai, jika ada mahasiswa terlambat, maka tergantung dosen apakah ia mengijinkan mahasiswa yang terlambat itu masuk atau tidak. Sedangkan bila dosen terlambat lebih dari 15 menit maka mahasiswa boleh meninggalkan lokasi perkuliahan “ ujar pria dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata.

Hal yang perlu ditiru pemerintah Indonesia dari sistem pendidikan Polandia adalah gratisnya pendidikan. Untuk state school, pendidikan digratiskan untuk semua jenjang pendidikan dari playgroup sampai uniwersytet atau politechnika (universitas atau politeknik). Namun untuk memasuki liceum dan uniwersytet atau politechnika murid-murid itu harus lulus tes. Sedangkan siswa yang tidak lulus tes bisa mendaftar ke private university atau universitas swasta yang biayanya sekitar 500-600 zloty (sekitar Rp. 1.500.000,00-1.800.000,00).

Di Polandia ada juga orang Indonesia, jumlahnya sekitar 130 orang. Mereka terdiri dari pegawai, warga Indonesia yang menikah dengan warga asli Polandia, juga mahasiswa ”I think more or less 10-20 persons now. Indonesian community in Poland is relatively small and we know one another quite well,” kata pria yang sudah lima tahun menikah dengan wanita asli Surabaya ini.

Ditanya kesannya menjadi seorang mahasiswa asing di Unesa, ia mengatakan “ I’m happy studying in Unesa, in this opportunity I would like to extend thanks to Pak Suhartono, the coordinator of Darmasiswa Program at UNESA, to Pak Puspo and Pak Heri from office, and to all our lecturers from Darmasiswa Program,”ucapnya mengakhiri wawancara dengan reporter Humas Unesa. 

(Alfanita Zuraida)

Soe Hok Gie, Pejuang Berani Pendobrak Tirani

“Akhirnya semua akan tiba
pada suatu hari yang biasa
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
Apakah kau masih berbicara selembut dahulu?
Memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
Sambil membenarkan letak leher kemejaku”

Itulah sebait puisi yang dikarang oleh Soe Hok Gie, seorang mahasiswa tahun ‘66 yang jujur, cerdas dan berani melakukan perubahan. Namun sayang ia menjadi seorang intellectual abortus, para intelektual muda yang mati muda sebelum banyak melakukan kerja besar dari hasil pemikirannya. Ia meninggal pada umur 27 tahun sehari sebelum hari ulang tahunnya ketika melakukan sebuah pendakian ke gunung Semeru.

Soe Hok Gie merupakan pemuda keturunan Tionghoa yang dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942. Nama Soe Hok Gie sendiri merupakan sebuah nama dari dialek hokian dari namanya Su Fu Yi (dialek Pinyin). Ia merupakan anak keempat dari lima orang bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan. Keluarga sederhana ini tinggal di Bilangan Kebon Jeruk, di rumah yang sangat sederhana. Mereka bertetangga dengan rumah orang tua Teguh Karya. Sejak kecil Soe Hok Gie dikenal sebagai anak yang suka membaca, mengarang, dan memelihara binatang. Sejak SMP, ia telah menulis catatan harian. Selain itu ia juga aktif berkirim surat kepada teman-teman dekatnya. Di masa SMP ini ia juga berani berdebat dengan gurunya, karena mengkritik gurunya tersebut. Dalam catatannya ia menulis “Guru model begituan, yang tidak tahan dikritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau.”Begitulah ia berani melawan kesewenang-wenangan walaupun dengan gurunya sendiri.

Ia menghabiskan masa SMAnya di SMA Kolese Kanisius. Kemudian ia melanjutkan studinya ke jurusan Sejarah, Universitas Indonesia tahun 1961. Disinilah ia menjadi seorang aktivis kemahasiswaan. Ia adalah orang pertama yang mengkritik tajam rezim orde baru. Dia mencatat:” “Kalau rakyat Indonesia terlalu melarat, maka secara natural mereka akan bergerak sendiri. Dan kalau ini terjadi, maka akan terjadi chaos. Lebih baik mahasiswa yang bergerak.” Saat itu keadaan ekonomi di Indonesia tidak terkendali. Hal itu membuat pemerintah mengaeluarkan beberapa kebijakan seperti sanering atau pemotongan nilai mata uang. Namun menurutnya hal itu justru malah mempersulit kehidupan rakyat.

Ia berpikir bahhwa sebagai mahasiswa, mereka adalah orang-orang terpilih yang dapat mengenyam pendidikan tinggi, oleh karena itu sudah seharusnyalah mereka terlibat dalam perjuangan bangsanya. Karena pikirannya itulah ia mulai aktif dalam berbagai aktifitas dunia pergerakan. Ia mulai mengadakan rapat-rapt, demostrasi, dan memasang ribuan selebaran propaganda. Kepada rakyat, pemuda yang sampai ajalnya tidak bisa mengendarai motor ini ingin menunjukkan bahwa mereka dapat mengharapakan perbaikan dari keadaan dengan menyatukan diri di bawah pimpinan patriot universitas. Ia juga menggabungkan dirinya dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).

Selain aktif dalam KAMI, Hok Gie juga aktif di Mapala UI. Ia juga dikenal sebagai salah satu pendiri organisasi mahasiswa yang mempunyai kegiatan inti naik gunung itu. Pada Desember 1969 ia berencana untuk mendaki mahameru, puncak gunung semeru yang tingginya 3.676m. 8 Desember sebelum Gie berangkat sempat menuliskan catatannya: “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.”

Kemudian terjadilah peristiwa itu, ia tercekik gas beracun yang ada di kawah mahameru. Ketika itu ia hanya ditemani seorang sahabat karibnya, Herman Lantang. Jenazahnya kemudian di bawah ke rumah lurah sebuah desa di kaki gunung semeru. Jenazah adik sosiolog, Arief Budiman itu dibungkus plastik dan kedua ujungnya diikat dengan tali dan digantungkan pada sebatang kayu yang panjang. Kulitnya tampak kuning pucat, matanya terpejam dan dia tampak tenang. Kemudian jenazahnya dibawa ke salah satu rumah sakit yang ada di Malang untuk dimandikan.

Pada 24 Desember 1969 Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak. Teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.

Soe Hok Gie memang telah tiada. Namun tahukah kita bahwa berbagai pikiran pemuda berani ini tetap bertahan tak lekang zaman. Mengapa? Karena ia telah menuliskan berbagai pikirannya ke dalam sebuah catatan. Catatan sejarah kehidupan seorang Soe Hok Gie. Di catatan itu ia menulis tentang kemanusiaan, hidup, cinta, dan kematian . Selain itu ia dikenal juga sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Beberapa tulisannya benar-benar tajam dan menohok pemerintah kala itu, sehingga seringkali ia mendapat ancaman dari berbagai pihak. Salah satu tulisannya yang terkenal adalah “Betapa Tak Menariknya Pemerintah Sekarang”, yang pernah dimuat di harian Kompas, 16 Juli 1969

Dari sebuah kisah itu kita harus mencatat dalam ingatan kita ada sebuah nama yang tak mungkin dapat terlupakan. Walaupun namanya melegenda seperti Bung Karno atau Bung Hatta. Kita patut menghargai apa yang di perjuangakan oleh Soe Hok Gie karena ia adalah seorang pemberani yang punya totalitas perjuangan dan sikap hidup yang luar biasa mengagumkan. Ia berupaya menegakkan kebenaran, keadilan dan kemanusiaan. Dalam tulisannya, ia menulis ” Manusia, adalah apa yang dipikirkannya. Jika anda adalah seorang yang berani dan jujur, dan itu yang anda pikirkan, tidak ada sesuatu pun yang bisa mengubahnya.”
Lalu sebagai mahasiswa? Apa yang akan kita perjuangkan? Akankah kita hanya berpangku tangan. Mari mahasiswa, mari menjadi Soe Hok Gie- Soe Hok Gie baru yang jujur dan berani!


(Alfanita Zuraida)

Mahasiswa Oh Mahasiswa



Kuhirup dalam-dalam udara pagi ini. Rasanya tetap sama seperti sebelum-sebelumnya. Aku menyusuri jalan yang sama, jalan beraspal ini, pohon-pohon ini. Rasanya sama seperti waktu pertama kaliku menginjakkan kakiku disini. Sudah tiga tahun aku disini, tentunya dengan status yang sama, sebagai mahasiswa. Status yang bagi sebagian orang diagung-agungkan sebagi agent of change. Namun mungkin bagi banyak orang masih dianggap sebagai tukang demo, suka tawuran, dan berbagai aksi brutal lainnya.

Di depan gerbang masih kulihat tulisan”Universitas Negeri Surabaya” berdiri kokoh. Pikiranku terbawa angin mengingat apa yang telah kulakukan selama tiga tahun di kampus ini. Sebagai mahasiswa di salah satu universitas negeri di Surabaya ini, apa ya yang telah kulakukan? sebagai mahasiswa apakah aku sudah melaksanakan kewajibanku dengan baik? apakah aku hanya menggerutu ketika hak-hakku tak kudapatkan dengan baik tanpa berani memberikan pendapat? Beberapa pertanyaan itu berkelebat di dadaku. Ku mengingat-ingat apa yang telah kulakukan selama tiga tahun masa kuliahku di kampus yang mengubah namanya menjadi Universitas Negeri Surabaya di tahun 1999 itu.

Di tahun pertama, aku merasakan ada yang berubah dalam hidupku. Kubahagia, aku bukan lagi anak SMA yang dipandang sebelah mata. Ku boleh berbangga hati, kini di dadaku tersemat sebuah status baru’ mahasiswa” sungguh keren pikirku. Akhirnya aku bisa menjadi mahasiswa. Mahasiswa, status yang hebat. Kuingat di tahun 1998, ketika aku masih SD, aku merasa bahwa mahasiswa adalah orang yang sangat hebat. Mereka berani mengubah keaadaan saat itu. Tak heran mereka dijuluki agent of change. Di masa ini tak banyak cerita yang kuingat, aku hanya seorang mahasiswa biasa yang tak tahu apa-apa tentang kehidupan sosial masyarat, bangsa dan negaranya. Aku seakan asyik sendiri dengan duniaku.

Di tahun kedua kuliah, aku mulai tidak fokus dalam kuliah. Aku ingin menjadi mahasiswa sejati. Aku hanya berpikir bahwa mahasiswa sejati adalah mahasiswa yang ikut berbagai organisasi di kampusnya. Akupun bergabung dengan beberapa organisasi mahasiswa. Namun parahnya, aku terjangkit virus asyiknya berorganisasi, menemui banyak orang dengan berbagai karakter, mengerjakan berbagai tugas organisasi. Sungguh menyenangkan!! Namun, hebat di organisasi tak membuat hebat di transkrip nilaiku. Akhirnya, beberapa nilai C dan satu nilai D tersenyum padaku dia akhir semester ini.

Di tahun ketiga, aku mulai fokus lagi pada kuliahku, study oriented adalah hal yang harus aku lakukan untuk mengejar ketertinggalanku. Takkan kubiarkan lagi diriku asyik berorganisasi hingga melupakan kuliahku. Aku menjadi mahasiswa ‘kupu-kupu’ di 2 semester ini. Ada tiga kegiatan inti yang kulakukan yaitu kuliah, tidur, dan mengerjakan bertumpuk-tumpuk tugas yang seolah tak pernah ada kata usai. Di semester ini pula ku mempersiapkan diriku untuk terjun ke masyarakat, membawa nama almamaterku untuk sebuah mata kuliah yang bernama Praktek Pengalaman Lapangan atau PPL. Sibuk sekali rasanya sampai-sampai kumerasa sebagai the real university student, namun benarkah?

Lalu kini, setelah tiga tahun waktu berlalu apa ya yang telah kuberikan pada alamamaterku, orang tua dan masyarakat? Ah aku tidak tahu. Kuamati sekitarku. Disana kulihat ada beberapa tipe mahasiswa. Aku berusaha mengintip mereka. Apa saja yang dilakukan tipe-tipe mahasiswa ini.

Mahasiswa pertama yang kuamati adalah mahasiswa “kupu-kupu” atau kuliah pulang. Mahasiswa ini menjalani hidup layaknya air. Mengerjakan tugas bila ada tugas, belajar bila ada ujian. Mahasiswa tipe ini kurang peduli dengan lingkungannya. Bila diajak ke sebuah kegiatan kampus mereka akan menolak mentah-mentah dengan berbagai alasan seperti malas, banyak tugas atau alasan lain yang bagi mereka lebih menyenangkan untuk dikerjakan. Bila seseorang mencoba menayakan sesuatu tentang kampus tercinta ini mereka akan berkata tidak tahu. Bahkan mungkin ketika ditanyai siapa nama rektornya sendiripun mereka akan mengelengkan kepala tanda tidak tahu.

Mahasiswa tipe kedua adalah mahasiswa kesayangan dosen. Mahasiswa ini selalu datang sebelum dosen datang. Mereka selalu duduk di tempat duduk paling depan. Mendengar dan mencatat penjelasan dosen dengan sangat teliti. Bila ada yang kurang jelas atau tidak sesuai denga pendapat mereka, mereka akan segera mengacungkan tangan untuk bertanya atau menentang pendapat dosen tersebut. Biasanya mahasiswa tipe ini selalu memiliki indeks prestasi (IP) akademik yang sangat memuaskan, karena tentu ini adalah tujuan mereka. Mahasiswa ini selalu menjadi tempat bertanya mahasiswa lain, karena teman-teman mereka yakin bahwa mahasiswa tipe ini akan memperoleh informasi yang up to date tentang tugas atau ujian yang diberikan oleh dosen.

Mahasiswa tipe ketiga adalah mahasiswa yang suka berorganisasi. Membuat kegiatan adalah hal yang paling mereka senangi. Biasanya mahasiwa tipe ini dekat dengan birokrasi karena setiap kegiatan mereka selalu bersentuhan dengan birokrasi, baik birokrsi tingkat jurusan, fakultas, atau universitas. Walaupun mereka aktif berorganisasi tetapi mereka tetap fokus pada kuliah. Beberapa kali mahasiswa ini akan memanfaatkan kesempatan untuk tidak masuk kuliah untuk suksesnya sebuah kegiatan.

Mahasiswa tipe terakhir adalah mahasiswa yang kuliah dan bekerja sambilan. Tipe mahasiswa ini adalah mahasiswa yang berusaha mencari peluang disetiap celah yang ada. Mereka adalah para pribadi mandiri yang tidak mau bergantung pada orang tua. Menjadi guru les privat, reporter, dan penjaga wartel atau warnet adalah pekerjaan-pekerjaan yang sering dilakukan mahasiswa tipe ini.

Akupun berpikir, kira-kira aku masuk mahasiswa tipe yang mana ya? Sepertinya aku pernah masuk semua tipe mahasiswa itu, dari mahasiwa ‘kupu-kupu’, anak dosen, organisatoris, sampai mahsiswa yang bekerja sambil kuliah. Namun tiba-tiba bergejolak sebuah pertanyaan besar lalu bagaimana mahasiswa ideal itu? iseng-iseng kubuka internet, di situs google kuketik “mahasiswa ideal” lalu beberapa artikelpun muncul disana. Kuklik salah satu artikel karya Salehuddin Yasin, pembantu Rektor UIN Alauddin. Beliau menulis bahwa mahasiswa ideal adalah mahasiswa yang juga berani bersentuhan dengan persoalan masyarakat. Namun sentuhannya didasarkan pada cita-cita ideal keilmuan yang bermakna, bukan lepas makna. Sehingga, ketika menjadi corong masyarakat, itu karena memang suara di loudspeaker-nya dibutuhkan pada ruang dan waktu yang tepat.

Kubandingkan dengan diriku sudah idealkah aku sebagai mahasiswa? sepertinya menurut artikel itu kata’ideal’ masih terlalu jauh dariku. Akupun merenung. Bersentuhan dengan masyarakat? selama ini aku hanya memikirkan diriku sendiri. Aku tak pernah mau mengurusi masalah masyarakat. Aku bukan mahasiswa ideal. Namun aku mau menjadi mahasiswa ideal. Dengan penuh semangat ku kuatkan diriku agar menjadi mahasiswa ideal. Mahasiswa yang bisa memecahkan masalah masyarakat, mahasiswa yang memiliki citra yang harus diemban, dan mahasiswa yang berorientasi pada pemberdayaan pemikiran.

Nah, teman-temanku para mahasiswa, mari kita merenung sejenak apa saja yang telah kita lakukan untuk almamater, orang tua, masyarakat, bangsa dan negara ini??kalau jawaban kita adalah belum melakukan apa-apa, marilah kita berbenah, kita gunakan waktu kita. Bukankah orang bijak berkata “gunakan masa mudamu sebelum datang masa tuamu”. Hidup mahasiswa!!!

(Alfanita Zuraida)

CUT NYAK DHIEN, WANITA DENGAN SEMANGAT BAJA


 Picture taken from: shadowness.com

Sosoknya begitu lekang di ingatan orang Aceh. Semangat mengusir Belanda dari tanah kelahirannya mendarah daging, menjadikannya sosok wanita yang tegar. Tak ada kata menyerah dalam kamus hidupnya. Hidup adalah berjuang. Dan ia akan berjuang sampai akhir hayatnya. Sedemikian kuat perjuangannya membuat kaum kolonial mengalami kesulitan ketika ingin menangkapnya.

Cut Nyak Dhien dilahirkan pada 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta yang masih mempunyai ikatan darah dengan Sultan Aceh. Sedangkan Ibunya adalah putri uleebalang bangsawan Lampagar. Dibesarkan dalam lingkungan bangsawan yang religius, ia mendapatkan banyak pelajaran agama. Pendidikan ini diberikan oleh kedua orang tuanya dirumah. Selain itu mereka juga mendatangkan guru agama untuk mengajar wanita yang teguh pendirian ini. Berkat didikan kedua orang tuanya, Cut Nyak Dhien tumbuh menjadi sosok wanita yang kuat dan tegar namun tidak melupakan agamanya. Jiwa patriotnya mewarisi jiwa ayahnya yang dikenal sebagai pejuang kemerdekaan yang anti pada Belanda. Di masa itu pula hubungan kerajaan Aceh dan Belanda kian memburuk yang menjadikan suasana perjuangan yang amat dahsyat. Mungkin juga karena itu ia mempunyai perasaan benci ymm mendalam pada bangsa yang sudah menjajah tanah kelahirannya selama bertahun-tahun ini.

Pada usia yang sangat belia, 12 tahun, ia menikah dengan Teuku Ibrahim Lamnga yang merupakan putra dari Uleebalang Lam Nga XIII. Setelah menikah, Cut Nyak Dhien dan suaminya masih tinggal bersama orang tuanya. Barulah setelah dianggap mampu mengurus rumah tangganya, ia diijinkan menempati rumahnya sendiri. Perjalanan rumah tangganya berjalan bahagia dan harmonis. Dari pernikahannya ini, mereka dikarunia seorang anak laki-laki.

Tahun 1973, ketika perang Aceh meletus Teuku Ibrahim Lamnga harus maju berperang di garis depan. Ia merupakan tokoh peperangan di daerah VI Mukim. Sebagai istri perasan berat ia rasakan ketika suami meninggalkannya dan anaknya. Namun keikhlasannya, membuatnya merelakan suami tercintanya untuk maju melawan kaum kafir. Sesekali Untuk mengobati kerinduan pada suaminya yang berada jauh di medan perang, sambil membuai sang buah hatinya ia menyanyikan syair-syair yang menumbuhkan semangat perjuangan. Ketika sesekali suaminya pulang ke rumah, maka yang dibicarakan adalah hal-hal yang berkaitan dengan perlawanan terhadap Belanda. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi sementara suaminya, Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda. Pada tanggal 29 Juni 1878 Ibrahim Lamnga tewas di Gle Tarum, hal ini yang menyebabkan Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah hanya akan menikah dengan orang yang membantu perjuangannya sekaligus menuntut balas kematian suaminya.

Ia menikah lagi dengan Teuku Umar, salah satu tokoh yang melakukan perlawanan terhadap Belanda. Mereka dikaruniai seorang putri yang bernama Cut Gambang. Setelah menikah dengan Teuku Umar, Cut Nyak Dhienpun ikut dalam berbagai pertempuran membantu suaminya. Dalam pertempuran ini berbagai cara dan taktik dilakukan kedua suami istri ini. Salah satunya adalah melakukan sebuah tipu muslihat. Pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan menyerahkan diri untuk menipu orang Belanda. Saat mereka keluar dari hutan mereka berkata:“ Mereka menyadari mereka telah melakukan hal yang salah, sehingga mereka ingin membayar kembali kepada Belanda dengan menolong mereka menghancurkan perlawanan Aceh”Belanda sangat senang karena musuh yang berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya komander unit pasukan Belanda dan kekuasaan penuh.

Sebagai seorang istri Cut Nyak Dhien selalu mendukung perjuangan suaminya. Apapun yang dilakukan suaminya ia yakin untuk kepentingan bangsanya. Sementara itu Teuku Umar berusaha mengganti sebanyak mungkin orang Beanda di unit yang ia kuasai menjadi unit gerilyawan Aceh. Ketik ajumlah orang Aceh tersebut cukup, Teuku Umar melakukan rencana palsu pada orang Belanda dan mengklaim kalau ia ingin menyerang . Teuku umar dan Cut nyak Dhien pergi dengan semua peralatan dan perlengkapan berat, senjata, dan amunisi Belanda, lalu tidak pernah kembali. Penghianatan ini dikenal dengan nama Hetverrad Van Teukoe Oemar (Penghianatan Teuku Umar). Penghianatan ini menyebabkan Belanda marah pada suami Cut Nyak Dhien ini. Kaum kolonialpun meluncurkan operasi besar-besaran untuk menangkap Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar. Namun, para pasukan gerilyawan telah mendapatkan perlengkapan terbaik dari Belanda karena tipu muslihatnya. Karena hal itu juga Belanda mencabut gelar Teuku umar dan membakar rumahnya. Akhirnya pada 11 februari 1899 teuku Umar Gugur tertembak peluru Belanda.

Setelah kematian suaminya Cut Nyak Dien tetap berjuang di hutan-hutan. Usianya semakin tua, matanyapun semakin rabun, penyakit encok sering menderanya. Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda sehingga Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-matian. Akibat Cut Nyak Dhien memiliki penyakit rabun, ia tertangkap. Namun ia masih sempat mengambil rencong dan mencoba untuk melawan musuh. Ketika tertangkap wanita yang sudah tak berdaya dan rabun ini, mengangkat kedua belah tangannya dengan sikap menentang. Dari mulutnya terucap kalimat, “Ya Allah ya Tuhan inikah nasib perjuanganku? Di dalam bulan puasa aku diserahkan kepada kafir”. Ia lalu ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Ia dipindah ke Sumedang berdasarkan Surat Keputusan No 23 (Kolonial Verslag 1907 : 12). Setelah ia dipindah ke Sumedang, pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua. Makam Cut Nyak Dhien baru ditemukan pada tahun 1959 di Sumedang. Ia dianugrahi Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.

Akhirnya, apakah kita terutama sebagai wanita mampu meneladani sosoknya. Berjuang bukan hanya untuk diri dan keluarga tetapi juga untuk bangsa dan negara. Mampukah kita sebagai wanita menjadi sosok wanita tangguh, teguh, dan berkepribadian seperti Cut Nyak Dhien? Sosok yang bisa menjadi panutan semua wanita di Indonesia? Mampukah, kita pasti mampu. Tataplah ke depan dan jadilah wanita sejati.

(Alfanita Zuraida, Dari berbagai sumber)

BUNDA TERESA, MUTIARA DARI INDIA


 Picture taken from: iloveindia.com
 
Ia seorang wanita yang dicintai warga dunia, wanita tabah yang rela menolong sesama tanpa upah. Wanita yang rela berjalan bermil-mil untuk menemukan orang yang membutuhkan pertolongannya. Menolong mereka yang papa, tergerak oleh rasa belas kasihan yang dalam. Tak pernah membedakan siapa yang ditolongnya, baik pria wanita atau anak-anak, semua tak lepas dari pertolongannya. Ia bak mutiara becahaya. Ia adalah Bunda Teresa.

Bunda Teresa dilahirkan di sebuah kota di kerajaan Ottoman provinsi Kosovo pada 27 Agustus 1910. Terlahir dengan nama Agnes Gonxha Bojaxhiu, ia merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua orang tuanya Nikolle dan Dranafile Bojaxhiu berasal dari kota Prizren di selatan Kosovo. Mereka adalah penganut katolik meskipun kebanyakan orang Albania adalah muslim dan mayoritas populasi di makedonia adalah ortodoks Makedonia. Pada usia 12 tahun, Agnes mengambil sebuah keputusan besar dalam hidupnya. Ia bergabung dalam sebuah kerja misi di India yang di sebut solidarity. Pada tahun 1928 saat usianya menginjak 18 tahun Gereja vatikan mengijinkannya untuk bergabung dalam kesusteran Loreto, sebuah komunitas biarawati irlandia di rathfarnham dengan sebuah misi di kolkata. Dia memilih Kesusteran Loreto karena panggilan mereka adalah untuk menyediakan pendidikan bagi anak perempuan. Setelah beberapa bulan pelatihan di institut”Blessed Virgin Mary di Dublin ia dikirim Ke Darjeeling di India sebagai suster novisiat. Pada 1931 dia melakukan kaulnya yang pertama disana, sebagai penghormatan pada Teresa Avila dan Theresa de Lisieux, ia memakai nama awal mereka sebagai gelar keagamaan pada 1937 .

Dari tahun 1930 Bunda Teresa mulai mengajar geografi dan katekisme di SMA St. Mary di Kolkata. Ia bahkan menjadi kepala sekolah di SMA itu pada tahun 1944. Pada tahun 1946 atas keinginannya sendiri ia memutuskan untuk melayani yang termiskin dari yang miskin. Namun ia masih mengajar di SMA St. Mary sampai tahun 1948. Pada tahun yang sama ia menerima izin dari Paus Pius XII melalui uskup agung kolkata untuk meninggalkan komunitasnya dan hidup sebagai suster merdeka. Setelah menamatkan pendidikan pendek dengan "Medical Mission Sisters" di Patna. Dia kembali ke Kolkata dan mendirikan sebuah rumah tinggal sementara yang diberi nama Little sisters of the poor. Dia memulai sekolah ruang terbuka untuk anak-anak yang tidak memiliki rumah. Ia juga bergabung dengan para sukarelawan dan penolong dalam menjalankan aktivitasnya ini. Dana finansialpun ia dapatkan dari organisasi gereja dan otoritas munisipal.

Pada tanggal 17 Agustus 1948, untuk pertama kalinya Bunda Teresa tampil mengenakan sari putih dengan pinggiran garis-garis warna biru. Ia keluar melewati gerbang Biara Loreto yang amat dicintainya untuk memasuki dunia orang-orang miskin. Pada tanggal 21 Desember untuk pertama kalinya Ibu Teresa keluar-masuk perkampungan kumuh India. Ia mengunjungi keluarga-keluarga, membasuh borok dan luka beberapa anak, merawat seorang bapak tua yang tergeletak sakit di pinggir jalan dan merawat seorang wanita sekarat yang hampir mati karena kelaparan dan TBC. Setelah beberapa bulan, ia ditemani oleh seorang demi seorang para pengikutnya yang pertama.

Pada Oktober 1950 Teresa menerima izin dari Vatikan untuk memulai ordonya sendiri. Vatikan awalnya menamakannya "Diocesan Congregation of the Calcutta Diocese", tapi kemudian berubah menjadi Missionaries of Charity, yang misinya adalah untuk memberikan perhatian untuk (dalam katanya sendiri) “si lapar, si telanjang, si gelandangan, si pincang, si buta, si lepra, dan semua orang yang merasa tak diinginkan, tak dicintai, tak diperhatikan dalam masyarakat, orang yang telah menjadi beban bagi masyarakat dan ditolak oleh siapa pun."

Dengan bantuan dari pejabat India, iapun mengubah sebuah kuil Hindu yang telah ditinggalkan menjadi Kalighat Home for the Dying, sebuah 'rumah sakit kecil' ("hospis") bagi orang miskin dan papa. Tidak lama setelah dia membuka hospis lainnya, Nirmal Hriday (Hati Murni), sebuah rumah lepra disebut Shanti Nagar (Kota Kedamaian), dan sebuah panti asuhan.

Awal tahun 1960-an, Bunda Teresa mulai mengutus para susternya ke bagian-bagian lain India. Dekrit Pujian yang dianugerahkan kepada Kongregasi oleh Paus Paulus VI pada bulan Februari 1965 mendorong Bunda Teresa untuk membuka rumah penampungan di Venezuela. Langkah tersebut diikuti dengan langkah serupa di Roma, Tanzania dan pada akhirnya di setiap benua. Pada tahun 1980 hingga 1990, Ibu Teresa membuka rumah-rumah penampungan di hampir di seluruh negara-negara komunis, termasuk Uni Soviet, Albania dan Kuba. Namun demikian, meskipun telah berusaha sekuat tenagaia tidak pernah dapat membuka satu pun di Cina.

Bunda Teresa menghembuskan nafas terakhirnya pada 5 September 1997 pukul 9.30. Jenazahnya dipindahkan dari Rumah Induk ke Gereja St. Thomas, sebuah gereja dekat Biara Loreto. Di gereja itulah di mana ia menjejakkan kaki pertama kalinya di India hampir 69 tahun yang lalu. Ibu Teresa mendapat kehormatan dimakamkan secara kenegaraan oleh Pemerintah India pada tanggal 13 September. Jenazahnya diarak dalam kereta yang sama yang dulu digunakan mengusung jenazah Mohandas K. Gandhi and Jawaharlal Nehru, melewati jalan-jalan di Calcutta sebelum akhirnya dimakamkan di Rumah Induk Misionaris Cinta Kasih. Semua orang datang berduyun-duyun di pemakamannya dari berbagai lapisan masyarakat dan agama. Mungkin ketulusan hati Bunda Teresa dalam menolong orang-orang yang membutuhkan telah begitu membekas di hati mereka.

Untuk semua pengorbanannya dalam menolong orang miskin Bunda Teresa banyak menerima penghargaan. Dia diberikan Penghargaan Templeton pada 1973, Penghargaan Perdamaian Nobel pada 1979 dan penghargaan tertinggi warga sipil India, Bharat Ratna pada 1980. Dia dijadikan Warga Negara Kehormatan Amerika Serikat pada 1996 (satu di antara enam). Namun bukan penghagaan yang diinginkannya, menolong orang tanpa membedakan siapa yang ditolongnya adalah tujuannya. Bagaimana dengan kita? 

(Alfanita Z, Dari berbagai sumber)

W.R SUPRATMAN DALAM LAGU INDONESIA RAYA


 Picture taken from: wisata.kompasiana.com

Indonesia raya, sebuah lagu kebangsaan yang telah berpuluh tahun di kumandangkan di negeri ini. Sebuah lagu penggugah semangat kebangkitan nasional. Lagu yang menjadi alat pemersatu bangsa dan sebuah karya seni yang akan di kenang sepanjang masa oleh bangsa Indonesia. Di balik lagu kebangsaan itu, ada sebuah sosok luar biasa yang menjadi penggubahnya. Dia adalah Wage Rudolf Supratman atau yang lebih dikenal dengan nama W.R supratman.

W.R Supratman lahir di Jatinegara, Jakarta pada 9 Maret 1903. Bapaknya bernama Senen, ia merupakan sersan di Batalyon VIII. Ia mempunyai 6 saudara, satu lelaki dan lainnya perempuan. Salah satunya bernama Roekijem yang menikah dengan orang Belanda bernama Willem van Eldik. Willem van Eldik inilah yang kelak menyekolahkan dan membiayai sekolahnya di UjungPandang. Sebagai anak seorang sersan Belanda di BatalyoanVIII. Ia tidak menjadi lunak kepada Belanda. Sebaliknya ia mempunya semangat nasionalisme yang sangat besar. Semangatnya semakin bertambah ketika dirinya menjadi wartawan dan bertemu dengan banyak tokoh pergerakan naional. Rasa antipatinya kepada Belanda ia tuangkan kedalam sebuah buku yang berjudul Perawan Desa. Buku ini mengandung nilai-nilai nasionalitas. Namun karena di tuding menyinggung pemerintah Belanda saat itu maka bukunya disita dan dilarang beredar.

Setelah menamatkan sekolah dasarnya di Jakarta, pria yang tidak beristri sampai akhir hidupnya ini mengikuti kakaknya, Roekijem dan suaminya ke ujung pandang. Di sana Ia mempelajari bahasa Belanda selama tiga tahun, kemudian melanjutkan sekolahnya ke Normal School. Setelah menyelesaikan pendidikan, ia masih tinggal di ujung pandang dan bekerja sebagai guru sekolah dasar. Setelah itu ia bekerja di sebuah perusahaan dagang. Dari Ujung pandang, ia kemudian pindah ke Bandung menekuni profesi barunya sebagai wartawan. Profesi itu terus ditekuninya sampai ia kembali ke kota kelahirannya Jakarta.

Kebolehannya bermain musik biola serta menggubah lagu juga diperolehnya dari kakak iparnya Willem van Eldik sewaktu tinggal di Ujung Pandang. Kegemaran inilah juga yang membuatnya senang membaca buku-buku musik. Setelah tinggal di Jakarta, ia membaca seuah karangan dari majalah Timbul. Dalam karangan itu, penulis menantang ahli-ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan. Jiwa mudanya merasa tertantang untuk menggubah lagu. Pada tahun 1924 inilah lahirlah lagu Indonesia raya.

Empat tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 28 Oktober 1928 secara instumentalia Supratman memperdengarkan lagu Indonesia raya untuk pertama kalinya di depan umum. Lagu yang bernuansa nasionalisme itupun cepat terkenal di kalangan pergerakan nasional. Sejak saat itu apabila partai-partai politik mengadakan kongres, maka Indonesia raya selalu diperdengarakan dan dinyanyikan. Lagu itu merupakan perwujudan rasa persatuan dan kehendak untuk merdeka.

Akibat menciptakan lagu Indonesia raya, Supratman selalu diburu oleh pemerintah Hindia-Belanda. Lagu terakhirnya yang berjudul Matahari Terbit membuatnya harus merasakan derita penjara di Kalisosok Surabaya pada agustus 1938. Iapun kemudian meninggal dunia pada 17 agustus 1938 karena sakit di Surabaya. Akhirnya ketika Indonesia memperoleh kemerdekaanya, para pejuang menjadikan lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan, sebuah lambang persatuan bangsa. Namun, sayang sang sosok di balik lagu Indonesia raya tidak bisa menikmati kemerdekaan bangsanya yang telah lama diperjuangkannya.


(Alfanita Zuraida)

SAJAK 1/3 MALAM

Malam dingin
Malam kabut
Dalam remang, dalam dekapan kalam
Rasakan Indah buaian khayal
Terbaring pongah diatas dipan
Ku tak mampu datang
Dalam seruan 1/3 malam-Mu ya Tuhan
Kantukku, malasku, jadi batas horizantal imanku
Kubuka perlahan hatiku
Bisikan syetan datang dalam semburat ruhiyah
Kuhempas rayu, kuhapus ragu
Kubasuh wudhu, bersih jiwaku
Khusyu’ dalam dekapan Rahmat-Mu

(Alfanita Zuraida)

OSPEK, TAKE IT OR LEAVE IT?


 Picture taken from: Unesa.ac.id
Tahun 2006, Aku berteriak hore......akhirnya kulepas juga seragam abu-abu putihku. Aku berdiri di sana didepan kulihat sebuah papan nama besar bertuliskan UNESA. Setelah menjalani serangkaian tes masuk itu, akhirnya aku menjadi bagian dari civitas akademika universitas ini. Label mahasiswa baru telah aku dapatkan. Kini saat yang paling mendebarkan hatiku. Semua orang tahu menjadi mahasiswa baru bukanlah hal yang mudah. Aku harus menjalani sebuah masa orientasi atau yang biasa disebut OSPEK. Terlintas benar dalam benakku berbagai hal tentang OSPEK yang kulihat dan kudengar dari media dan cerita orang. Rata-rata dari mereka bercerita bahwa OSPEK adalah hal yang paling menyeramkan dan menyebalkan selama menjadi mahasiswa. Atribut yang beraneka macam seperti orang gila, tugas menumpuk yang harus dikerjakan, juga hukuman dari para senior ketika mahasiswa baru melakukan kesalahan. Semuanya berkelebatan dalam benakku. Aaakhh.....rasanya aku tidak mau melakukannya.

Hari pertama, kedua, dan ketiga OSPEK telah aku jalani. Tak ada yang berbeda dari apa yang kulihat dan kudengar dari media massa dan cerita orang. Semuanya memang benar. Selama tiga hari aku harus mengenakan berbagai atribut aneh mulai dari topi, tas, sampai kalung. Disaat seperti ini adaah hal yang paling menyebalkan karena aku juga harus mengumpulkan tugas, namun untunglah tugas yang aku terima tidak begitu berat. Mengenai hukuman, aku pikir hukuman itu tidak terlalu berat juga. Waktu itu kupikir bahwa OSPEK hanyalah sebuah kegiatan sia-sia karena tak begitu banyak manfaat yang dapat kita ambil dari OSPEK. Bertanya pada beberapa orang teman mereka akan menolak mengulang masa OSPEK mereka dengan berbagai alasan seperti lelah, malas atau hanya buang-buang waktu.

Tahun 2007, ku berdiri memandang segerombolan orang disana, berpakaian hitam putih sambil memakai beragam atribut aneh. Kuamati wajah mereka satu persatu. Wajah-wajah polos itu. Entah apa yang ada dalam benak mereka. Penuh berbagai macam gejolak perasan. Mungkin seperti yang aku rasakan pada tahun lalu. Kulihat raut muka mereka. Sebagian dari mereka kelihatan tegang, berfikir apa yang akan dilakukan para senior mereka. Namun banyak juga dari mereka yang kelihatan acuh tak acuh mungkin mereka pikir apa yang terjadi terjadilah, tak ada yang harus ditakuti, tak ada pikiran buruk tentang apa yang akan mereka alami. Beberapa orang berjas biru terus berbicara, membentak-bentak orang di depan mereka tanpa belas kasihan. Bahkan, diantara mereka ada yang mengeluarkan kata-kata kotor. Kata-kata yang tidak pantas diucapkan oleh orang yang mengaku terpelajar.

Tahun 2008, sama seperti dua tahun yang lalu kumasih berdiri di sini, juga memandang segerombolan orang dengan baju dan atribut yang sama. Entah apa yang mereka pikirkan dengan OSPEK ini, tak ada perubahan berarti. Atribut itu, tugas-tugas itu, serta bentakan-bentakan itu tak ada yang berubah dari tahun lalu. Akhirnya ku bertanya pada salah satu mahasiswa baru. Dengan lugu dia menjawab OSPEK adalah hal yang paling membosankan, sesuatu yang tak kan pernah diharapkan untuk diulang. Perasaan tertekan, tidak nyaman dan ketakutan kepoada senior ada dalam benak mereka ketika mereka menjalankan OSPEK adalah hal yang paling mengerikan.

OSPEK dari waktu ke waktu tak ada yang berubah mulai dari pemakaian berbagai atribut, pemberian tugas, sampai pemberian hukuman. Sungguh sebuah sesuatu yang ironis. Ketika kita melakukan suatu kegiatan namun kita tidak banyak mengambil manfaat dari kegiatan itu. Begitu pula OSPEK kini hanyalah sebuah budaya turun temurun dari dulu. Dari para senior ke junior. Tak ada perubahan yang berarti akan sebuah tradisi di sebuah institusi pendidikan. Kadang pula OSPEK hanya sebuah ajang balas dendam dari senior pada juniornya. Karena sang senior tidak bisa membalaskan dendamnya pada sang kakak kelas yang dulu “mengospeknya”maka sang seniorpun melimpahkan segala bentuk kekesalan dan kemarahan yang dialaminya dulu kepada adik kelas atau juniornya. Kalau tradisi ini bertahun-tahun tanpa ada perubahan maka apa yang dapat diharapkan dari mahasiswa yang dinilai sebagai agent of change? Malah mereka sendiri yang tak ingin ada perubahan.

Sejak tahun 1995-an, kasus OSPEK mulai banyak muncul di media public seiring dengan banyaknya korban yang terus berjatuhan. Lalu OSPEKpun berganti-ganti baju untuk memperhalus dan memulihkan citranya sebagai ajang penggojlokan. Ditinjau dari berbagai segi tak banyak manfaat yang dapat diambil dari sebuah rutinitas tiap tahun ini. Dari segi ekonomi, pembuatan atribut OSPEK hanya sebuah kesia-siaan karena setelah OSPEK atribut-atribut itu tidak akan terpakai lagi. Dari segi psikologi, untuk mendisiplinkan mahasiswa dalam waktu singkat dan dalam tekanan adalah sebuah tindakan yang tidak efektif. Menurut Thorndike, seorang ahli pembelajaran psikologi hukuman tidak efektif untuk meniadakan suatu perilaku tertentu. Begitu halnya dengan hukuman dan sanksi pada OSPEK tidak akan efektif membuat mahasiswa untuk menghilangkan perilaku-perilaku buruknya. Dari segi sosial, OSPEK dinilai mampu mengakrabkan mahasiswa dengan lingkungan kampus, namun proses keakraban pada mahasiswa akan terjadi dengan sendirinya ketika mahasiswa mulai beraktifitas dalam kampus.

Namun di balik berbagai segi negatif itu ternyata OSPEK juga mempunyai segi positif. Mahasiswa yang melakukan OSPEK akan menjadi lebih solid karena merasakan bagaimana pahit-getirnya OSPEK itu sendiri. Hubungan mereka akan menjadi sebuah kebersamaan yang menjadi modal sebuah kampus. Namun terlepas dari berbagai segi positif dan negatif ospek, sebagai seseorang yang telah mersakan pahit-getirnya OSPEK, OSPEK adalah sebuah kegiatan yang paling menyebalkan, berangkat pagi-pagi supaya tidak terlambat, memakai pakaian atribut warna-warni juga harus mendengar ocehan senior-senior yang seolah tak sampai pada kata usai. Namun, ada sebuah keyakinan kalau kegiatan ini akan menyenangkan bila dikemas dengan apik. Tanpa atribut, tanpa bentakan dan tanpa hukuman.
Atribut bisa diganti dengan sesuatu yang lebih berguna, yang tidak selesai digunakan kemudian dibuang. Misalnya penggunaan topi yang harganya kurang dari 10.000. Setelah OSPEK, topi-topi tersebut dikumpulkan dan diberikan kepada anak-anak jalanan. Rasanya itu lebih baik dari pada pembuatan atribut berharga sama atau lebih dari itu yang tidak bermanfaat lagi setelah OSPEK usai. Selain itu, hal itu juga merupakan wujud sebuah kepedulian mahasiswa terhadap lingkungannya. Karena diharapkan sebagai mahasiswa tidak hanya memiliki pikiran intelektual yang luas tetapi juga jiwa sosial yang tinggi.

Berbicara tentang tugas, tugas memang harus tetap ada namun bentuknya bisa disesuaikan. Mahasiswa adalah mahasiswa. Mereka harus mendapatkan tugas yang membuat mereka berfikir sebagai mahasiswa. Tugas tersebut bisa disesuaikan dengan mereka. Misalnya untuk mengetahui lebih jauh tentang UNESA kita tercinta ini mahasiswa baru harus membuat makalah tentang sejarah UNESA kemudian mempresentasikannya. Ini rasanya lebih baik dari pada harus membawa koran tiga edisi berturut yang manfaatnya kurang dirasakan mahasiswa. Atau bisa juga pemberian berbagai tugas yang memang mengasah otak mahasiswa agar berfikir secara ilmiah

Sedangakan bentakan dari senior ketika junior melakukan kesalahan dapat diganti dengan pemberian hukuman yang juga lebih mendidik dan manusiawi. Satu lagi yang harus di pertimbangkan oleh para senior panita OSPEK adalah jangan memberikan hukuman di depan para peserta OSPEK yang lain atau mengumumkan kesalahan seseoang di depan umum karena itu dapat membuat mental para peserta OSPEK menjadi down. Setiap orang memiliki kerentanan psikologis yang berbeda –beda sehingga hukuman yang serampangan atau perlakuan ospek yang menekan dapat menimbulkan suatu trauma psikologis tersendiri bagi beberapa orang. Trauma ini akan menimbulkan abnormalitas kejiwaan seseorang. Hendaklah lebih baik hukuman itu dibentuk dalam sebuah karya. Misalanya pembuatan karya ilmiah, atau tulisan populer seperti cerpen dan puisi, tergantung pada kesalahan yang dibuat oleh mahasiswa baru.
Keakrapan akan terjadi bila para senior menyayangi junior, juga sebaliknya junior menghormati senior sebagai orang yang datang lebih dulu ke dunia kampus ini. Pada hakikatnya semua mahasiswa adalah sama. Hanya saja waktu dan takdir saja yang membuat mereka berada di atas kita, menjadi senior kita, dan menjadi panitia OSPEK yang berhak “mengospek” kita.

Dengan tulisan ini bukan berarti penulis menyalahkan semua panitia OSPEK tentang berbagai konsep OSPEK yang telah mereka terapkan di fakultas mereka masing-masing. Namun semoga dengan tulisan ini dapat mambuka mata kita semua bahwa OSPEK bukan hanya rutinitas yang dilakukan setiap tahun yang isinya selalu sama seperti pemakaian atribut, tugas, bentakan dari senior, atau hukuman. Namun lebih dari itu OSPEK adalah sebuah kegiatan yang membuat mahasiswa baru mengetahui tentang kampus mereka dan situasi di dalam kampus itu sendiri. Diharapkan dengan adanya OSPEK para mahasiswa baru mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya dengan cepat. OSPEK 2008 telah kita lalui, diharapkan OSPEK 2009 akan lebih baik dari OSPEK-OSPEK sebelumnya. Tak ada lagi atribut aneh, hukuman,tugas, ataupun bentakan. Semoga! Mari wujudkan UNESA yang lebih baik!

(Alfanita Zuraida)

PEMILIHAN REKTOR: DEMOKRASI DALAM MASYARAKAT DAN LINGKUNGAN ILMIAH



Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu ‘demos’ yang artinya rakyat dan ‘kratein’ yang artinya pemerintah. Menurut Abraham Lincoln demokrasi berarti pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Hal ini berarti kekuasaan tertinggi dipegang oleh rakyat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), demokrasi berarti

Dalam sistemnya ada dua macam demokrasi yaitu demokrasi berdasarkan titik berat yang menjadi perhatian dan demokrasi berdasarkan penyaluran kehendak rakyat. Demokrasi berdasarkan titik berat yang menjadi perhatian kemudian dibagi lagi menjadi tiga bagian penting yaitu demokrasi formal yang menjunjung tinggi persamanaan di bidang politik tanpa menghilangkan perbedaan di bidang ekonomi; demokrasi materiil yang menjunjung tinggi bidang ekonomi tanpa menghilangkan perbedaan di bidang politik; dan demokrasi gabungan yang menjunjung tinggi persamaan dalam bidang politik dan ekonomi.

Sedangkan berdasarkan cara penyaluran kehendak rakyat, demokrasi juga dibedakan menjadi tiga yaitu demokrasi langsung, demokrasi perwakilan, dan demokrasi perwakilan dengan sistem referendum. Demokrasi langsung yaitu rakyat secara langsung mengemukakan kehendaknya dalam rapat yang dihadiri oleh seluruh rakyat. Hal ini dijalankan apabila negara berpenduduk sedikit dan berwilayah tidak luas. Demokrasi perwakilan adalah demokrasi dimana rakyat menyalurkan kehendak dalam memilih wakil-wakilnya untuk duduk dalam perwakilan rakyat. Sedangkan demokrasi perwakilan dengan sistem referendum merupakan gabungan antara demokrasi langsung dan perwakilan. Rakyat memilih wakil mereka untuk duduk dalam Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi dewan ini dikontrol oleh pengaruh rakyat dengan sistem referendum dan inisiatif rakyat.

Dalam perkembangan demokrasi saat ini dapat diperoleh tiga gambaran yakni yang melaksanakan kekuasaan negara demokrasi adalah wakil wakil rakyat terpilih dimana rakyat yakin bahwa segala kehendak dan kepentingannya dalam akan diperhatikan oleh wakil rakyat dalam melaksanakan kekuasaan negara; cara melaksanakan kekuasaan negara demokrasi ialah senantiasa mengingat kehendak dan keinginan rakyat; dan kekuasaan negara demokrasi yang boleh dilaksanakan mungkin untuk memperoleh hasil yang diinginkan oleh rakyat asal tidak meyimpang dari dasar pokok demokrasi.

Menganut sistem demokrasi, Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan sebuah sarana demokrasi untuk untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk dipemerintahan. Dalam pelaksanaannya pemilihan umum dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung berarti rakyat secara langsung memilih wakil-wakilnya yang akan duduk di badan-badan perwakilan rakyat. Sedangakn dalam pemilihan secara tidak langsung atau bertingkat berarti memilih dulu wakilnya (senat) kemudian wakilnya itulah yang akan duduk di badan-badan perwakilan rakyat.

DEMOKRASI PANCASILA DALAM MASYARAKAT DAN LINGKUNGAN ILMIAH

Dalam demokrasi dikenal demokrasi pancasila yang merupakan demokrasi yang dihayati oleh bangsa dan negara Indonesia yang diintegrasikan oleh nilai-nilai luhur pancasila. Demokrasi ini memiliki tujuh prinsip yaitu persamaan bagi seluruh rakyat indonesia; keseimbangan antara hak dan kewajiban; pelaksanaan kebebasan yang bertanggung jawab secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, dan orang lain; mewujudkan rasa keadilan sosial, pengambilan keputusan dengan musyawarah mufakat, mengutamakan persatuan dan kekeluargaan; serta menjunjung tinggi tujuan dan cita-cita nasional.

Dan di perguruan tinggi, pancasila merupakan sebuah paradigma kehidupan kampus sebagai masyarakat ilmiah. Karena itu kampus juga merupakan lembaga ilimiah dimana masyaratnya memiliki sifat ingin mengetahui segala fenomena yang ada, dengan melaukukan pengkajian secara ilmiah yang diperoleh dari kebenaran yang terkaji seseuai metode ilmu pengetahuan. Dalam perannya PT merupakan bagian tak terpisahkan dari pendidikan nasional yang mempunyai peran penting dalam pembangunan masyarakat. Perguruan tinggi pun mempunyai tiga tugas utama yang dikenal denagn tri dharma perguruan tinggi yang meliputi pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat.

Moelyadi menyatakan bahwa sebagai masyarakat ilmiah kampus mempunyai ciri-ciri antara lain kritis; obyektif; kreatif dan komunikatif; analitis; terbuka untuk menerima kritik, menghargai waktu dan prestasi ilmiah/akademik; bebas dari prasangka; kesejawatan/kemitraan khususnya dalam sivitas akademika; bebas dari prasangka; kesejawatan/kemitraan khususya diantara sivitas akademika; dialogis; memiliki dan menjunjung tinggi norma dan etika akademik serta tradisi ilmiah; dinamis; berorientasi ke depan.

Dengan suasana ilmiahnya maka kampus juga memerlukan suatu jenis kebebasan. Syarbaini mengatakan bahwa kebebasan akademik dan otonomi keilmuan sebagaimana diatur dalam PP no. 30 tahun 1990 adalah kebebasan akademik yang dimiliki anggota akademik secara bertanggung jawab dan mandiri melaksanakan kegiatan akademik yang terkait dengan pendidikan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; kebebasan mimbar akademik berlaku sebagai bagaian dari kebebasan akademik yang memungkinkan dosen menyampaikan pikiran dan pendapat di PT yang bersangkutan sesuai dengan norma dan kaidah kilmuan; otonomi keilmuan merupakan kegiatan keilmuan yang berpedoman pada norma dan kaidah keilmuan yang harus ditaati oleh sivitas akademika.

Dalam konsep wawasan almamater dinyatakan bahwa tatakrama pergaulan di dalam lingkungan PT dan kampus didasarkan atas asas kekeluargaan serta menjunjung tinggi keselarasan demi keseimbangan sesuai dengan pandangan Pancasila.

WAJAH DEMOKRASI KAMPUS DALAM PILREK 

Salah satu suasana ilmiah pun diperlihatkan setiap PT selama empat tahun sekali, yaitu pemilihan rektor. Pemilihan rektor adalah sebuah wujud demokrasi yang didengung-dengungkan di lingkungan kampus. Pemilihan rektor juga merupakan wujud kepedulian sivitas akademika untuk memilih pemimpin yang dapat meneruskan cita-cita mereka.

Dalam pasal 29 PP 60/199 menyebutkan bahwa pasal 29, pemimpin PT sebagai penaggung jawab utama pada PT, disamping melakukan arahan serta kebijaksanaan umum, juga menetapkan perturan, norma, tolok ukur penyelenggara pendidikan tinggi atas dasar keputusan senat PT. Sedangkan dalam pasal 30, disebutkan bahwa senat PT merupakan badan normatif dan perwakilan tertinggi pada PT bersangkutan.

Kaitannya dengan pemilihan rektor, maka Senat PT memiliki tugas pokok untuk memberikan pertimbangan kepada penyelenggara PT berkenaan dengan calon-calon yang diusulkan untuk diangkat menjadi Rektor/ ketua/direktur PT dan dosen yang dicalonkan memangku jabatan akademik di atas Lektor (pasal 30 ayat 2 butir g). Kemudian didalam pasal 39 ayat satu disebutkan rektor universitas/institut yang diselenggarakan oleh pemerintah diangkat dan diberhentikan presiden atas usul menteri, menteri lain atau pimpinan lembaga pemerintah lain setelah mendapat pertimbangan senat universitas/institut yang bersangkutan. Melihat pada aturan yang dimaksud adalah bahwa rektor diangkat oleh presiden atas usulan menteri dengan pertimbangan senat universitas yang bersangkutan.

Lantas pertanyaannya adalah berkaca pada pemilihan umum yang scopenya lebih luas, pemilihan umum itu dapat dilakukan dengan baik. Dan mengapa lingkungan kampus yang notabennya scopenya lebih sempit dari pada ini tidak bisa menggelar pemilihan umum secara langsung?

Hal pertama yang harus diperhatikan adalah bahwa pemilihan rektor yang ada di perguruan tinggi itu mengacu pada pasal yang telah disebutkan diatas, pemilihan rektor harus selaras dengan PP.Yang kedua Pemilihan rektor juga mengusung pemilihan langsung, yaitu memberikan kesempatan kepada sivitas akdemika untuk memilih wakil mereka ynag akan dikirim ke Senat dengan adanya jaring aspirasi. Jadi pemilihan rektor di PT masih melibatkan sivitas akdemikanya untuk menentukan wakil mereka.

Akhirnya pemilihan rektor yang juga melibatkan segenap sivitas akademika di lingkungan kampus merupakan wujud demokrasi. Mengapa? karena menggabungkan dua sitem dalam pemilihan umum yaitu sistem langsung dan tidak langsung.Pemilihan rektor juga diharapkan dapat menajdi sebuah proses pembelajaran demokrasi di kampus.

(Alfanita Zuraida)

Emansipasi dan Peran Wanita Indonesia

Emansipasi wanita perlu di dalam pembangunan
Emansipasi wanita jangan sampai keterlaluan
Emansipasi wanita jangan melawan takdir Tuhan
Ini bencana...

 Picture taken from: Fitriatsabitawawadjdi.wordpress.com
 
Sebait lagu tentang Emansipasi wanita yang di bawakan oleh Rhoma Irama mengingatkan kita tentang apa dan bagaimana emansipasi wanita. Lagu yang menjadi sountrack film pengabdian itu juga menyadarkan kita tentang bagaimana peranan wanita dalam pembangun. Emansipasi wanita, dua buah kata yang sering kita dengarkan di tengah kehidupan masyarakat kita, yang selalu dibicarakan pada berbagai diskusi dan seminar namun jarang disadari maknanya.

Banyak orang mengira bahwa emansipasi yang didengung-dengungkan wanita pada saat ini bermula dari seorang tokoh wanita bernama R.A kartini. Namun marilah kita runtut sejarah emansipasi kita. R.A kartini yang lahir paada 21 April 1879 dan meninggal pada17 September 1904. Sebelum itu di majapahit Tribhuwanatunggadewi (1328-1350) M dan Kusuma Wardhani (1389-1429) M tercatat pernah memerintah kerajaan. Dalam catatan sejarah yang lebih tua Fatimah Binti Maimun yang makamnya berada di desa Leran Gresik telah menjadi wanita yang sangat dihormati. Dalam catatan sejarah ia meninggal dunia tahun 1028 M. Sebelumnya, ratu Sima yang merupakan ratu kerajaan Kalingga memimpin kerajaan dengan rasa keadilan yang menjadikan kemakmuran di negeri itu pada anbad VII M. Pada masa pemerintahannya kerajaan kalingga yang juga disebut sebagai kerajaan Holing atau Keling mengalami masa keemasan.

Selain itu beberapa nama tokoh wanita juga menghiasi sejarah bangsa kita seperti Christina Martha Tiahahu yang gigih berjuang bersama Pattimura di Maluku, Cut Nyak Dhien dan Cut Nyak meutia, dua srikandi Aceh yang berjuang melawan Belanda dari bumi Serambi Mekkah. Di Indonesia bagian timur tepatmya di Irian Barat, Herlina Efendi yang merupakan salah satu tokoh pembebasan Iraian Barat mendapatkan pending Cendrawasih Emas dari pemerintah RI.

Dengan berbagai fakta sejarah diatas ternyata jauh sebelum Kartini banyak tokoh wanita yang berhasil mendulang kepiwaian dalam mengambil peran sosialnya jauh sebelum era Kartini. Namun pertanyaannya adalah mengapa harus Kartini yang diberikan gelar sebagai tokoh emansipasi. Mungkin jawabannya adalah propaganda kolonial belanda. Hal ini berkaitan dengan publikasi korespondensi Kartini dengan sejumlah tokoh perempuan di negeri bunga tulip itu melaui buku dan media lain. Ini adalah taktik Devide at Impera yang dalam bahasa Indonesia diketahui sebagai politik memecah belah dan menguasai. Ini juga sebagai ajang akulturasi budaya dan nilai Belanda. Dan dari sejarah itu kita ketahui bahwa Kartini bukanlah wanita pertama pencetus gerakan emansipasi wanita. Namun perjuangan Kartini bisa kita jadikan sebagai pijakan tentang bagaimana seharusnya wanita berperan dalam kehidupannya.

Dan kini, seiring perkembangan jaman, wanita, terutama wanita Indonesia kini telah dapat disejajarkan dengan kaum pria dalam berbagai bidang kehidupan, baik di bidang politik ekonomi, dan sosial. Lalu bagaimana peranan wanita dalam pembangunan yang meliputi 3 bidang tersebut?

Dalam ranah politik, keterwakilan wanita untuk memperjuangkan nasib kaumnya dan masyarakat dinilai sangat postif. Ini dapat dilihat dari Pasal 65 ayat 1 UU Nomor 12 Tahun 18 Februari 2003 yang berbunyi “Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”. Ketentuan dari UU diatas merupakan tindak lanjut dari konvensi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), soal penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Selain itu, Uni Antar Parlemen (Inter Parliamentary Union) pada tahun 1997 di New Delhi mendeklarasikan “Hak politik perempuan harus dianggap sebagai satu kesatuan dengan hak asasi manusia. Oleh karena itu, politik perempuan tidak dapat dipisahkan dari hak asasi manusia”. Dilihat dari UU dan konvensi PBB tersebut menandakan bahwa dalam ranah politik peran wanita sudah mulai diakui dan diperhitungkan.

Di bidang ekonomi, wanita kini bukan hanya sebagai ibu rumah tangga biasa, lebih dari itu wanita kini telah menjadi tulang punggung keluarga, membantu sang suami bekerja. Dan berbagai pekerjaanpun telah dilakukan oleh wanita sebagai wujud pengabdiannya pada keluarga. Namun di bidang ekonomi, wanita juga dijadikan sebuah potensi pemberdayaan perempuan. Perempuan banyak dijadikan produk iklan dan pemasar berharga jual tinggi. Mereka rela menampilkan wajah dan kemolekan tubuhnya hanya untuk mendapat rupiah dan kesejahteraan yang dihasilkan.

Dalam bidang sosial, wanita yang dulu diberi stigma kasur, sumur dan dapur oleh masyarakat, kini mulai berbenah untuk menghapus stigma kasar itu. Bidang ini juga tak luput dari UU pornografi dan pornoaksi yang banyak menyita perhatian khalayak. Pada hakikatnya UU tersebut adalah sebuah bentuk perlindungan kehormatan wanita yang dijadikan bahan eksploitasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Namun entah mengapa banyak wanita yang menentang UU yang banyak memberikan perlindungan pada wanita itu.

Walaupun kini wanita telah banyak mengambil peran di berbagai kehidupan bangsa.Namun selayaknya sebagai wanita perlu menyadari peran utamanya yaitu sebagai pendidik generasi muda yang telah menjadi tanggung jawabnya. Wanita diharapkan bisa menjadi pendidik pertama dan utama bagi anak-anak yang dilahirkannya. Menjadi Ibu yang dapat membimbing mereka menjadi anak kuat dan cerdas agar dapat berguna bagi bangsa, negara, dan agama. Itulah sebenarnya peran wanita yang utama selain berbagai peran di ketiga bidang kehidupan tersebut.

Akhirnya, wanitapun dituntut untuk menjalani kehidupan sesuai perannya masing-masing. Wanita telah menjadi sosok yang harus di hormati dan dilindungi dari berbagai kekerasan dan penganiayaan. Namun, wanita juga harus sadar akan tugas utamanya. Semoga wanita Indonesia menjadi lebih baik dalam kehidupannya. Hidup wanita Indonesia!

(Alfanita Zuraida)

SELAMATKAN MORAL DENGAN PENDIDIKAN KARAKTER

Semakin besar diri kita tergerak untuk tunduk pada hal-hal materi dengan godaan melalui berbagai macam penyelewengan dan akan selalu memiliki kebutuhan baru yang tak kunjung terpuasi, makin mendesaklah bagi kita untuk memperteguh dan memperdalam sisi kerohanian dalam kodrat alamiah kita.”(F.W. Foerster)





 Picure taken from indovasi.or.id

Sekitar tahun 80-90an, bila menonton berita di televisi kita akan disajikan berbagai hal baik tentang moral bangsa. Namun kini, jauh panggang dari api, berbagai berita di televisi seolah berlomba menampilkan wajah buruk moral bangsa Indonesia. Korupsi, kriminalitas, hingga pornografi seakan tak pernah usai menghiasi layar televisi. Masyarakat pun sudah biasa atau mungkin sudah bosan menyaksikan berbagai adegan kemerosotan moral. Negeri khatulistiwa nan indah ini seolah telah kehilangan sebagian karakter yang dulu dibanggakan sebagai identitas bangsa.


Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), karakter dapat diartikan sebagai tabiat yaitu sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan orang lain. Elmubarok menyatakan bahwa pendidikan karakter ibarat mengukir atau memahat jiwa sedemikian rupa sehingga membentuk pribadi yang unik dan menarik. Selain itu pendidikan karakter memerlukan disiplin tinggi dan pembiasaan. Ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter menurut Foerster, yaitu keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasarkan nilai; koherensi yang memberikan keberanian, membuat seorang teguh dalam prinsip dan berani mengambil resiko; otonomi yaitu penghayatan aturan-aturan dari luar menjadi nilai-nilai yang berlaku bagi pribadi; dan keteguhan serta kesetiaan.

Sejatinya tujuan pendidikan secara umum adalah menghasilkan pribadi cerdas dan berkarakter baik. Scalia, seorang Hakim Agung Amerika Serikat, menyatakan bahwa pendidikan karakter harus menjadi pondasi bagi kecerdasan dan pengetahuan terutama di era sekarang dimana economy menjadi pusat perhatian, segala sesuatu dapat diperjualbelikan. Seseorang yang mempunyai IQ di atas rata-rata atau katakanlah jenius dapat dikatakan sukses dalam pencapaian pendidikan kognitifnya. Namun, jika orang jenius atau cerdas tidak mempunyai dasar karakter yang terpuji bisa jadi pengetahuan atau kecerdasan yang dimilikinya malah akan menjadi bumerang. Pasalnya kecerdasan bukan untuk memperbaiki keadaan bangsa tapi sebaliknya akan melukai atau memperburuk bangsa itu sendiri. Karena itu pendidikan bukan hanya bertujuan menghasilkan pribadi yang cerdas tapi juga pribadi yang baik.

Pendidikan Karakter di Indonesia dari Masa ke Masa

Doni Koesoema A. dalam bukunya ‘Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global’ menyatakan bahwa pendidik modern seperti R. A Kartini, Ki Hadjar Dewantara, Mohammad Hatta, Tan Malaka, Moh. Natsir, dan Soekarno telah mencoba menerapkan semangat pendidikan karakter sebagai pembentuk kepribadian dan identitas bangsa sesuai konteks dan situasi yang mereka alami. Membentuk wajah bangsa merupakan keprihatinan pokok para cendekiawan kita. Dengan caranya masing-masing, mereka mencoba dan membayangkan serta menggagas sebuah bangsa yang memiliki identitas.

Pada masa R. A Kartini, ia telah memberikan sebuah pondasi penting bahwa sebuah bangsa akan memiliki karakter kalau penduduknya tidak tinggal selamanya dalam kegelapan pengetahuan, melainkan hidup dalam terangnya pemikiran dari akal budi manusia. Semangat dan pembaharuan yang ingin diraihnya inilah yang dapat ditemukan dalam buah karyanya yang berjudul Habis gelap terbitlah terang. Dalam bukunya, wanita yang dilahirkan di Jepara ini mengagumi kebudayaan negeri lain, terutama pendidikan yang dienyam kaum perempuan serta kecerian hidup mereka yang terlibat dalam dunia publik.

Bagi Sutan Syahrir, keterbelakangan bangsa hanya bisa diperbaharui jika setiap penduduknya mempergunakan kekuatan akal budi dalam mengatur tata kehidupan bersama dalam masyarakat. Salah satu tokoh nasional Indonesia ini juga mengagumi peradapan barat yang tampil dengan rasionalitasnya. Namun, ia juga tak kehilangan daya kritisnya terhadap pemikiran barat. Selain itu, ada pula perjuangan Moh. Natsir yang berpendapat bahwa suatu bangsa tidak akan maju tanpa ada guru yang mengajar dengan pengorbanan dan kerelaan hati. Pendapat ini selaras dengan ungkapan Dr. G.J. Nieuwenhuis, suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya.

Di sisi lain, menurut Mohammad Hatta, karakter bangsa hanya bisa dibentuk jika masyarakatnya mampu mempergunakan daya pikir dan mampu merefleksikan budaya sendiri dalam pengembangan kehidupan bersama yang tidak lain adalah perjuangan pemberdayaan. Bapak koperasi Indonesia ini adalah pemikir cerdas yang juga seorang filsuf. Beliau berjuang bukan hanya dengan kekuatan fisik tetapi juga dengan daya pikir. Tak heran, di manapun ia berada buku-buku selalu menyertainya. Berbeda dengan Mohammad Hatta, Tan Malaka memiliki cara bertindak yang berbeda. Ia adalah sosok yang dalam hidupnya mampu mengintegrasikan makna pemikiran dialektetis dari pemikirannya. Madilog pun menjadi salah satu karya Tan Malaka yang ingin menandaskan bahwa filsafat dapat menjadi dasar bagi sebuah pembaharuan sosial. Madilog mengungkapkan pokok-pokok pemikirannya secara lengkap.

Presiden Soekarno merupakan pejuang dan pemikir kemerdekaan Indonesia. Pria kelahiran Blitar, Jawa Timur ini adalah seseorang berkarakter yang mampu menyampaikan gagasan dan pemikirannya kepada khalayak dengan bahasa yang sangat sederhana dan memberikan keyakinan bagi rakyat sehingga semangat kebangsaan bisa menjadi milik semua. Sebagai seorang pendidik bangsa, Soekarno juga tidak ingin bangsanya menjadi bangsa yang memiliki mental budak yang enggan pada keinginan merdeka. Untuk itulah ia menyalakan semangat untuk merdeka. Baginya, kemerdekaan tidak akan terwujud jika prasyarat pokoknya, kemerdekaan tidak ada. Tidak ada bangsa yang bertanggung jawab jika tidak memiliki kemerdekaan, tidak ada kemerdekaan jika dalam mentalitas bangsa tidak ada semangat merdeka dan kemauan merdeka.
Pendidikan Karakter di Sekolah

”Saya mendengar dan saya melupakannya. Saya melihat dan saya akan mengingatnya. Saya melakukan, maka saya akan mengerti.”( Confucius)

Pendidikan karakter adalah sebuah proses, maka proses pembelajaran pendidikan karakter harus dimulai sejak dini sampai remaja sehingga ketika dewasa telah terjadi pembiasaan pendidikan karaker. Di sekolah, pendidikan karakter harus mulai diberikan mulai dari Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Pendidikan karakter juga tidak dapat dipisahkan dari proses pembelajaran di sekolah karena waktu bagi seorang anak banyak dihabiskan di sekolah. Oleh sebab itu, pendidikan karakter menjadi hal yang penting di sekolah.

Pendidikan karakter di sekolah-sekolah sering diidentikkan dengan pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan agama. Karena itu, pendidikan karakter hanya dianggap berkutat pada dua mata pelajaran itu. Setelah guru pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan agama memberikan materi-materi pada dua mata pelajaran tersebut maka selesailah pendidikan karakter di sekolah. Padahal, dalam implementasinya, pendidikan karakter di sekolah bukan hanya teori semata butuh practice yang bukan hanya sehari-dua hari.
Practice atau latihan pembiasaan pendidikan karakter dapat dilakukan dengan menanamkan nilai baik pada anak dengan mengajak anak melakukan atau mempraktekkannya. Latihan-latihan itu bisa berupa ajakan pada anak untuk disiplin dengan membuang sampah pada tempatnya, melatih anak untuk bisa mencapai prestasi akademis tertinggi, mempraktekkan nilai kejujuran dan kerja keras dengan tidak mencontek pada waktu ujian, serta berbagai praktek-praktek lain. Learning by doing akan membuat anak mampu untuk menyimpan apa yang mereka lakukan di dalam hati bukan hanya pikiran. Sehingga long term distance memory mereka akan lebih terasah dalam mempraktekkan hal-hal baik tersebut.

Selain itu, keteladanan juga menjadi hal yang penting. Anak-anak merekam dalam benak mereka apa yang mereka lihat. Dari apa yang mereka lihat, mereka akan mencoba meniru. Di sekolah, pendidikan karakter memerlukan keteladanan, terutama dari guru karena para siswa lebih banyak berinteraksi dengan guru. Guru hendaknya memberikan contoh baik kepada para siswa. Jangan sampai menyuruh siswa untuk datang tepat waktu, memarahi siswa pada waktu siswa datang terlambat, namun di sisi lain, guru dengan seenaknya datang terlambat. Hal itu memiliki negative effect pada siswa. Sebelum mengajarkan keteladanan sungguh baik kalau guru berusaha mempraktekkan apa yang diajarkannya terlebih dahulu. Selain itu keteladanan dari kepala sekolah dan karyawan sekolah juga menjadi sebuah keharusan dalam kesuksesan pendidikan karakter. Walaupun interaksi yang utama ada pada guru, para siswa hidup di lingkungan sekolah yang terdiri dari beberapa elemen. Jadi setiap elemen harus bekerja sama untuk mewujudkan keberhasilan pendidikan karakter.

Pendidikan karakter di sekolah juga membutuhkan kerja sama antara pihak sekolah dan orang tua. Pembelajaran karakter yang telah diajarkan di sekolah hendaknya dapat dibiasakan di lingkugan rumah. Tak berguna mengajarkan pendidikan karakter di sekolah tanpa dibarengi dengan pembiasan di rumah. Di rumah, orang tua bisa mengajarkan pembiasaan pendidikan karakter yang telah didapatkan di sekolah. Adanya sinergi antara pihak sekolah dan orang tua dapat membantu mempercepat terwujudnya keberhasilan pendidikan karakter.

Di sekolah, pendidikan karakter menjadi suatu keharusan karena pendidikan karakter tidak hanya menjadikan para siswa memiliki kecerdasan intelektual semata namun juga memiliki budi pekerti dan sopan santun sehingga keberadaannya sebagai anggota masyarakat kelak menjadi bermakna, baik bagi diri siswa itu sendiri maupun bagi orang lain.

Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi

Menurut Undang Undang (UU) No. 20 tahun 2003, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Sedangkan pendidikan nasional untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab. Berdasarkan UU tersebut, sebuah Perguruan Tinggi (PT) wajib hukumnya untuk membentuk lulusannya agar menjadi lulusan berkualitas dari dua segi, intelektualitas dan karakter. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Muhammad Nuh. Menteri pendidikan nasional ini menyatakan bahwa PT harus mampu berperan sebagai mesin informasi yang membawa bangsa ini menjadi bangsa yang cerdas, santun, sejahtera dan bermartabat serta mampu bersaing dengan bangsa manapun.

Pendidikan karakter di PT bukan lagi sebuah proses penanaman nilai. Lebih dari itu pendidikan karakter di PT merupakan sebuah aktualisasi diri dari pendidikan karakter yang telah didapatkan di sekolah. Pada usia masuk PT yang berkisar antara 18-25 tahun, seseorang mulai membangun kesadaran moralnya. Pada peralihan dari remaja ke dewasa ini, kesadaran akan nilai-nilai moral ini menjadi pandu bagi perilaku mereka.
Ketika masuk perguruan tinggi, seorang mahasiswa harus bisa merumuskan tujuan mereka masuk ke dalam jurusan yang akan mereka geluti. Alasan masuk perguruan tinggi ini adalah sebuah idealisme. Seorang mahasiswa dalam menjalani proses perkuliahan yang ada di PT tersebut. Tujuan itu seharusnya berkaitan erat dengan sebuah kata ‘kesejahteraan’ baik bagi dirinya, orang lain, serta bangsa dan negaranya. Misalnya, merumuskan tujuan masuk perguruan tinggi di fakultas kedokteran untuk menolong orang lain yang membutuhkan. Jangan sampai masuk fakultas kedokteran dengan biaya yanag besar namun bertujuan untuk mengembalikan kekayaan yang ia keluarkan ketika kuliah dan biaya tersebut harus kembali ketika ia lulus kuliah. Ini merupakan tujuan yang tidak sesuai dengan pendidikan karakter.

Dalam prosesnya, keteladanan juga harus diberikan pada mahasiswa oleh seluruh elemen yang ada di PT, baik dari rektor, dosen, dan karyawan. Dengan keteladanan yang diberikan akan membuat mahasiswa meniru apa yang dilakukan. Ketepatan waktu, kuantitas kehadiran, menjunjung tinggi nilai kebenaran dan kerja keras merupakan tiga hal penting yang harus ditunjukkan elemen PT kepada mahasiswanya. Sebagaimana dikatakan Natsir, yang dibutuhkan bangsa ini adalah “guru-guru sejati” yang cinta berkorban untuk bangsanya. Bagaimana murid akan berkarakter; jika setiap hari dia melihat pejabat mengumbar kata-kata, tanpa amal nyata. Bagaimana anak didik akan mencintai gurunya, sedangkan mata kepala mereka menonton guru dan sekolahnya materialis, mengeruk keuntungan sebesar-besarnya melalui lembaga pendidikan.

Evaluasi Pendidikan Karakter di Sekolah dan Perguruan Tinggi

Masih menurut Doni Koesoema A. dalam bukunya ‘Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global’ menyatakan bahwa dalam penilaian pendidikan karakter ada dua hal macam penilaian. Penilaian pertama lebih praktis sebab merupakan penilaian bagi program pendidikan karakter di sekolah. Penilaian kedua memiliki cakupan lebih luas. Penilaian ini berdasarkan penilainan pendidikan karakter dalam kerangka pertumbuhan dan perkembangan individu secara kelembagaan dalam relasinya dalam lembaga sekolah ataupun lembaga lain yang relatif terhadap dunia pendidikan.

Penulis yang juga aktif menulis tema pendidikan di berbagai media masa ini menyatakan bahwa ada tujuh kriteria penilaian dalam pendidikan karakter. Kriteria-kriteria penilaian itu adalah kuantitas kehadiran, ketepatan waktu dalam penyerahan tugas, jumlah tindak kekerasan, program kerja sama antarsekolah, keterlibatan anak didik dalam narkoba, prestasi akademis, dan kultur non-edukatif.

Kuantitas kehadiran dapat menjadi salah satu kriteria objektif untuk menentukan keberhasilan pendidikan karakter di sekolah dan di PT. Sekolah atau PT yang berhasil melaksanakan pendidikan karakter akan membantu individu mengembangkan pendidikan di lembaga pendidikan sebagai pribadi yang bertanggung jawab terhadap dirinya, tugas-tugasnya, dan terhadap orang lain. Dalam hal ini yang perlu diingat bahwa kuantitas kehadiran itu bukan hanya milik peserta didik saja namun juga semua elemen yang ada di sekolah atau PT tersebut. Semakin tinggi kuantitas kehadiran, bisa dipastikan bahwa penerapan pendidikan karakter yang ada di sekolah atau PT tersebut berhasil.

Selanjutnya ketepatan waktu dalam penyerahan tugas adalah kriteria kedua dalam penilaian pendidikan karakter di sekolah dan PT. Sama seperti kriteria pertama, ketepatan waktu dalam penyerahan tugas tidak hanya dilakukan oleh siswa namun juga kepala sekolah, guru, dan tenaga administrasi di sekolah. Sedangkan di PT sebuah kewajiban bagi mahasiswa, rektor, dosen, pegawai administrasi serta karyawan untuk menyerahkan segala sesuatu yang menjadi tugasnya tepat waktu. Semakin tepat waktu penyerahan tugas-tugas akademis, maka pendidikan karakter yang dilakukan di sekolah atau PT tersebut bisa dikatakan berhasil.

Kriteria ketiga adalah jumlah tindak kekerasan yang terjadi. Hanya karena alasan sepele, banyak terjadi tawuran antarpelajar dan antarmahasiswa terjadi di kota-kota besar di Indonesia. Dengan adanya pendidikan karakter di lingkungan sekolah dan PT, siswa dan mahasiswa dapat menanamkan nilai kerjasama, saling menghormati, dan saling menghargai perbedaan. Dampak positif dari penanaman nilai-nilai tersebut adalah menurunnya tindak kekerasan seperi tawuran di lingkungan sekolah dan PT.

Kerja sama antarsekolah atau antarPT bisa menjadi salah satu cara dalam meminimalisir tindak kekerasan seperti tawuran. Oleh sebab itu, keberhasilan pendidikan karakter di sekolah dan PT berkaitan dengan usaha memerangi tawuran. Hal ini dapat dilihat apakah jumlah program-program dan kegiatan yang memiliki unsur kerja sama dengan sekolah lain semakin meningkat dari tahun ke tahun atau tidak. Dengan adanya kerjasama antarsekolah atau antarPT, para siswa dan mahasiswa dilatih untuk menghargai perbedaan dan bekerja sama dengan sesama siswa atau mahasiswa antarsekolah atau antarPT.

Keterlibatan siswa atau mahasiswa dalam jebakan barang haram narkoba juga adalah salah satu indikasi keterlibatan pendidikan karakter di sekolah dan PT. Bila pemakai narkoba dari golongan pelajar atau mahasiswa dari tahun ke tahun jumlahnya semakin meningkat maka pendidikan karakter yang ada di sekolah atau PT tersebut dikatakan tidak berhasil. Bila pemakai narkoba dari golongan pelajar atau mahasiswa dari tahun ke tahun jumlahnya semakin menurun atau bahkan sama sekali tidak ada, maka pendidikan karakter yang ada di sekolah dan PT tersebut dikatakan berhasil.

Penilaian pendidikan karakter yang keenam dapat dilihat dari prestasi akademik. Hal ini dapat dilihat dari kemampuan siswa atau mahasiswa dalam memahami mata pelajaran atau mata kuliah yang diberikan guru atau dosen. Penilaian pendidikan karakter bisa dilihat dari berapa jumlah siswa atau mahasiswa yang tidak lulus . Kuantitas kelulusan dapat dilihat pada akhir pelajaran di sekolah atau pada akhir semester di PT. Pendidikan karakter akan menciptakan suasana yang baik bagi proses pembelajaran. Oleh sebab itu, kriteria paling objektif dalam menilai pendidikan karakter adalah prestasi akademik.

Kriteria terakhir adalah kultur non-edukatif, yaitu tidak dihargainya nilai kerja keras dan kejujuran. Di sekolah hal ini dapat diketahui dari berapa banyak siswa yang ketahuan menyalin jawaban. Mereka yang ketahuan menyalin jawaban merupakan data-data konkret dalam penilaian pendidikan karakter. Nilai kejujuran dan kerja keras bukan hanya ketika mereka mengerjakan ulangan tetapi juga berlaku dalam hal lain seperti otonomi dalam pengerjaan tugas-tugas. Di PT, nilai kejujuran dan kerja keras dapat dilihat bukan hanya dari ada tidaknya mahasiswa yang menyalin jawaban tetapi juga pada pengumpulan tugas-tugas (Tugas setiap semester atau tugas akhir). Bila banyak mahasiswa yang menyalin jawaban pada saat ujian dan pengumpulan tugas-tugas, bisa dipastikan bahwa PT tersebut belum berhasil melaksanakan pendidikan karakter.

Akhirnya, pendidikan karakter menjadi sebuah hal yang sangat penting bagi keselamatan moral bangsa Indonesia di masa depan. Negeri ini tak akan maju hanya karena memiliki indivudu dengan intelektual tinggi, namun diperlukan juga individu cerdas, bermoral, dan berkarakter. Oleh sebab itu penyelarasan antara intelektualitas dan karakter sangat penting. Apa jadinya kalau bangsa ini hanya memiliki orang-orang pintar yang tak berkarakter?

Alfanita Zuraida