Rabu, 07 Mei 2014

Cerpen: When I was your Man


Picture taken from:www.etsy.co
Rio
 
Rio mendengarkan lagu Bunga Jiwaku yang dibawakan apik oleh Yovie and Nuno dari channel Radio kesukaannya. Tak ada yang berubah. Suara Dikta dan Dudi masih sama merdunya seperti biasa. Lirik dan musiknya pun masih sama seperti yang ia dengar sebelumnya. Namun, mungkin hatinya yang tak lagi sama. Ada setitik luka yang masih mengangga karena lagu ini. Ya, lagu ini adalah lagu favoritnya dengan Thalita, pacar yang sudah berganti status menjadi mantannya setahun yang lalu.

Walaupun sudah setahun berpisah, tapi entah mengapa pesona Thalita masih begitu kencang bergetar dalam kehidupannya. Mereka putus bukan karena orang ketiga seperti yang dialami pasangan-pasangan di infotainment, mereka putus karena Thalita merasa Rio tidak pernah memperhatikan dan ada untuknya. Walaupun ketika mereka putus ada seseorang yang membuat marah hatinya, satu hal yang ia sadari, ia yang salah, bukan Thalita atau pria itu.

Bagi Rio, Thalita tak perlu perhatian yang berlebihan karena ia tahu Thalita adalah wanita mandiri yang bisa melakukan semuanya sendiri, tanpanya. Lagipula, pekerjaan sebagai manager pemasaran di sebuah perusahaan besar dan terkenal cukup menyita waktunya. Baginya, sesekali menelfon atau mengirimkan sms pada Thalita sudah cukup, tak perlu ia harus selalu menemaninya setiap ia punya waktu luang.

Masih menurut Rio, Thalita punya dunia sendiri, dunia yang tak terlalu disukainya. Dan Rio tidak bisa memaksakan dirinya untuk menyukai dunia Thalita, sebesar apapun cintanya pada gadis itu. Rio dan Thalita mungkin tak cocok tapi saling cinta, saling cinta tapi tak cocok.

Thalita

Thalita menutup buku agendanya dan segera mematikan komputer di hadapannya. Hari ini adalah hari yang sangat melelahkan. Ia harus bertemu dengan tiga orang klien yang akan menjalin kerja sama dengan perusahaannya, meladeni mereka dengan manis padahal hatinya sedang teriris-iris karena perasannya sendiri. Yang membuatnya makin gusar, ia harus menutupi semua ini dari seseorang. 

Suara sms menyadarkan lamunannya, dari Fabian.

“Sayang, uda pulang? Mau lihat pameran lukisan nggak?”

Thalita segera mengetik sms balasan.

 “Mau pulang say, Q capek jd mo langsung pulang ja”. 

Tak sampai  lima menit Fabian sudah membalas smsnya. 

“Ok hati-hati di jalan”.

Huh, Thalita segera menghempaskan dirinya kembali di kursi kerjanya yang empuk sebelum memutuskan untuk pulang. Ia tahu, rasa penatnya hanyalah sebuah alasan untuk menghindari bertemu dengan Fabian. Entah mengapa, kebaikan-kebaikan dari Fabian tak pernah sedikitpun menyentuh hati kecilnya.

Inilah salah satu yang menyebabkan kegalauan hatinya. Kebaikan Fabian. Lelaki blasteran Jawa-Jerman yang sudah enam bulan lebih sepuluh hari menemani hari-harinya dianggapnya sebagai kebaikan yang harus dibalas dengan cinta. Thalita masih belum bisa melakukan itu. Ia tahu, sangat tahu bahwa hatinya masih milik Rio. Lelaki yang baginya hanya jatuh hati pada dunianya, bukan dirinya.

Fabian

Fabian menatap jendela kantornya dengaan gusar, ini adalah kali ketiga Thalita menolak ajakan keluar darinya. Sebenarnya ia tak ingin berburuk sangka pada kekasihnya, orang yang sudah tiga tahun mengisi hatinya dan resmi menjadi kekasihnya setengah tahun yang lalu. Namun kejadian seminggu yang lalu cukup meyentakkan hatinya dan membuatnya bertanya, siapa yang lebih dicintai kekasihnya?

Fabian bertemu Thalita ketika Mamanya mengajaknya pergi ke rumah temannya. Di sanalah ia bertemu Thalita karena Thalita adalah anak teman mamanya. Ia merasa seperti berada dalam adegan yang sering ia temui di FTV, orang tua yang menjodohkan anaknya dengan pura-pura mengajak anaknya pergi ke rumah temannya. Tapi ia salah, mamanya tak pernah berniat menjodohkan mereka. Ini hanyalah sebuah kebetulan, tanpa rekayasa.

Satu, dua, lima detik setelah bertemu Thalita ia sudah terpana dan mungkin jatuh hati pada gadis berlesung pipi itu. Mungkin karena senyumnya, kecerdasannya, gaya bicaranya, atau mungkin ketiganya. Mereka berkenalan dan kemudian menjadi teman. Tapi sepertinya saat itu tak mungkin mengungkapkan perasaannya karena Thalita sudah memiliki Rio. 

Tak ada yang bisa berdamai dengan perasaan, begitu juga dengannya. Walaupun ia tahu Thalita telah memiliki pelabuhan hati, ia tetap menyukainya. Fabian setia datang ke rumah Thalita sekedar untuk berbicara atau mendengarkan cerita Thalita. Dari cerita-cerita Thalita, ia tahu bahwa Rio jarang memperhatikannya, ia juga tahu bahwa Thalita adalah pecinta lukisan. Ia sering mengajak Rio mengunjungi pameran lukisan, tapi Rio tak pernah sempat menemaninya. Ia pun mulai mempelajari tentang lukisan dan menganguk setuju bila Thalita mengajaknya ke pameran lukisan.

Satu tahun yang lalu.

Rio

Ini adalah hari terburuk bagi Rio, terjebak dengan klien yang terus membicarakan lukisan di sebuah pameran lukisan yang tidak disukainya. Tak biasa, hari ini kliennya minta membicarakan masalah deal bisnis mereka di pameran lukisan. Menurut sang klien, ini adalah hari terakhir pameran lukisan yang telah dinantikannya. Tak ada waktu, begitulah kilah sang klien ketika Rio berkata bahwa sang klien bisa melihat pameran lukisan sebelum hari ini karena pameran lukisan ini dibuka selama dua minggu

Klien yang usianya mungkin sudah seusia Papanya itu terus saja membicarakan karya-karya pelukis yang tak pernah di dengarnya dimana-mana. Rio merasa asing dengan nama-nama itu. Ia lebih akrab dengan Adam Smith atau Johh Maynard Keynes. Berada di tengah-tengah pemeran lukisan ini mengingatkannya pada Thalita, kekasihnya itu adalah seorang pecinta berat lukisan. Namun, ia yang tak suka lukisan selalu memiliki segudang alasan untuk menolak ajakan Thalita ke pameran. Ternyata benar, pergi ke pameran lukisan memang terasa membosankan. 

Walaupun tak suka, ia harus terlihat antusias di hadapan kliennya yang akan menandatangni kontrak bernilai ratusan juta dengan perusahaannya. Ia berpura-pura melihat lukisan dan mengagumi lukisan yang ada di hadapannya. Tiba-tiba matanya tertuju pada arah lain. Thalita. Ia begitu cantik dengan kemeja putih dan rok selututnya. Rambut panjang dan ikalnya tergerai indah. Baru saja ia akan memanggil namanya, segera diurungkannya karena ia sedang menemani klien pentingnya.

Ia pun kembali berkonsentrasi pada kliennya kembali, melupakan sejenak pesona Thalita. Namun tak bisa. Ekor matanya segera mencari keberadaan Thalita. Dia masih di sana. Semenit kemudian, datang seorang pria Indo bertubuh atletis, sangat menarik. Mungkin lebih menarik dari pada dirinya. Mereka terlihat sangat akrab. Sepertinya pria itu melontarkan sebuh lelucon. Thalita tertawa sambil memukulkan tangannya ke pundak pria itu. Tak pernah Thalita tertawa sebahagia itu ketika bersama dirinya.

Ia cemburu. Ia memang tak semenarik pria itu. Tapi tak berarti bahwa Thalita bisa selingkuh dengan pria lain. Rio tak terima. Ia mencintai Thalita dengan segenap hatinya. Ia tak pernah dan tak akan pernah melirik gadis lain selain Thalita. Walaupun ia jarang memerhatikan Thalita, tak pernah romantis, dan terkesan cuek, harusnya Thalita tahu bahwa itu adalah dirinya. Dan yang harus diketahui Thalita lagi dibalik semua itu ia mencintainya. Hanya dia. Tiba-tiba ulu hatinya terasa sakit. Sakit sekali.

Thalita

Ini adalah hari terakhir pameran lukisan yang paling dinantikannya selama setahun ini. Sebenarnya sebelum hari terakhir ini, ia telah dua kali datang ketika ia memiliki waktu luang. Sekali ia datang sendiri, sekali bersama teman-temannya sesama pecinta lukisan, dan hari terakhir pameran lukisan ini ia mengajak Fabian.
Sudah beberapa kali ia mengajak Fabian ke pameran lukisan. Thalita tahu sebenarnya Fabian tidak suka dan tidak tahu lukisan. Pertama kali mengajaknya ke pameran lukisan, Fabian hanya melihat-lihat lukisan tanpa ekspresi ingin tahu. Kedua kalinya, ia hanya mengangguk-angguk pura-pura mengerti apa yang Thalita bicarakan tentang lukisan. Di pameran ketiga yang mereka hadiri bersama, Fabian mulai memberikan komentar-komntar ringan tentang lukisan yang dilihatnya. Setelah itu, ia terlihat lebih nyambung ketika Thalita mengajaknya bicara tentang lukisan. 

Ia tahu, mencintai lukisan tidak bisa dengan paksaan. Dan sepertinya Fabian tidak terpaksa menyukai hal-hal yang ia sukai. Entah mengapa. Mungkin ia tahu alasannya tapi terlalu naif baginya untuk mengakui, ada sesuatu yang janggal dengan Fabian. Tak mungkin seorang pria mau selalu mendengarkan cerita-ceritanya, menemaninya kemanapun kalau ia hanya menganggapnya sebagai teman. Ada sesuatu. Pasti.

Tak seperti biasanya, Thalita tak menelfon atau memberitahu Rio bahwa ada pameran lukisan. Baginya itu sia-sia, Rio tak suka lukisan. Sesering apapun ia memintanya menemaninya, sesering itu pun Rio akan menolaknya. Dan hari ini tak ada alasan untuk mengajak Rio karena itu percuma.

Di pameran ini, seperti biasa Fabian selalu melontarkan jokes yang membuatnya tertawa, membuatnya melupakan tugas akhir yang harus dikerjakannya, berusaha melupakan sakit hatinya pada Rio yang jarang memperhatikannya. Ia heran ia tak pernah bisa tertawa seperti ini dengan Rio. Rio tak pernah bercanda. Hidup sangat serius. Punya visi dan misi yang sangat jelas terhadap hidupnya, tak ada celah, dan terlalu perfectionist. Tapi ia selalu merindukannya.

Fabian

Dengan langkah pasti, Fabian melangkah ke rumah bercat biru yang sering dikunjunginya. Rumah Thalita. Hari ini ia berjanji akan menemani Thalita melihat pameran lukisan kesukaannya. Ia telah terbiasa dengan pameran lukisan. Awalnya, ia merasa asing dengan dunia lukisan. Karena Thalita menyukainya, ia pun berusaha mempelajari lukisan. Beruntung Edo, sahabat baiknya seorang pelukis. Fabian banyak bertanya pada Edo tentang lukisan. Sedikit demi sedikit ia pun mengerti tentang lukisan, terutama bagaimana memberi komentar tentang lukisan itu sendiri.

Fabian tak pernah mengeluh atas apa yang dilakukannya pada Thalita. Melihat senyum tersungging di gadis impiannya itu, ia sudah senang. Ia heran mengapa Rio kurang memperhatikan Thalita. Kalau ia memiliki Thalita, ia akan membuat Thalita menjadi orang yang paling berharga dalam hidupnya.

Ketika bel tiga kali berdering, seseorang membuka pintu untuknya, Thalita, sangat cantik dengan kemeja putih dan rok selututnya. Rambut panjang dan ikalnya dibiarkan terjuntai begitu saja. Andai ia kekasihnya, ia pasti sudah memeluknya. Tapi, itu tidak mungkin Fabian bukan kekasih Thalita, Thalita bukan kekasih Fabian. Thalita milik Rio. 

“Kamu cantik Thalita, selalu” kata Fabian.

“Thanks, jalan sekarang aja yuk, nanti keburu telat” kata Thalita.

Tiga puluh menit kemudian, mereka sudah berada di galeri lukisan. Seperti di sebuah adegan sinetron Indonesia, seseorang menabrak Thalita, badan Thalita limbung dan Fabian segera menangkapnya. Mereka bertatapan. Kikuk. Thalita segera melepaskan diri dari pelukan Fabian. Fabian menghela nafas. Ia cukup tahu diri dengan posisinya.

Thalita dan Rio

Setelah mengantar kliennya ke lobi dan berbasa-basi sebentar, Rio langsung melesat cepat, berlari kembali ke ruang pameran. Satu hal yang harus dilakukannya meminta penjelasan pada Thalita tentang apa yang terjadi. Mengapa ia bersama pria lain. Tak cukupkah ia hanya memiliki dirinya?

Thalita masih bersama pria itu ketika ia kembali ke ruamg pameran, dengan kasar Rio segera menarik tangan Thalita. Thalita yang terkejut karena seseorang tiba-tiba menarik tangannya menjerit ketakutan. Ia baru berhenti berteriak ketika ia tahu bahwa yang menarik tangannya adalah Rio. Fabian berusaha menarik tangan Rio tapi Thalita memberi isyarat untuk tetap pada tempatnya.

Ketika melihat Rio, ia berusaha tersenyum. Namun wajah Rio tak ramah, tak menyunggingkan senyum sama sekali padanya. Rio menarik lagi tangan Thalita, kali ini lebih halus. “Kita harus bicara,” kata Rio. Thalita mengangguk dan memberikan kode pada Fabian bahwa ia pergi dengan Rio.

Mereka menuju parkiran mobil, Thalita tahu kemana mereka akan pergi. Kafe di jalan Thamrin, tempat kesukaan mereka ketika mereka bertengkar untuk menyelesaikan masalah. Banyak masalah yang terjadi, namun mereka selalu bisa menyelesaikannya. Entah hari ini.

Di dalam Kafe, Rio diam terpaku. Tak pernah ia semarah ini pada Thalita sampai ia tidak tahu harus mengatakan dan berbuat apa pada kekasihnya ini. Thalita yang tahu bahwa Rio marah padanya hanya bisa menunduk, tak berani menatapnya.

Sebenarnya bila Thalita mau ia akan berteriak keras pada Rio dan mengatakan bahwa ia tak bersalah, seperti yang biasa ia lakukan di pertengkaran-pertengakaran sebelumnya dengan Rio. Tapi kali ini ia merasa lelah untuk itu karena itu ia hanya diam.

Rio yang tahu bhwa Thalita hanya diam makin bingung, tak seperti biasanya Thalita seperti ini.  Biasanya bila yakin tak bersalah, Thalita akan mendebat pendapatnya atau bilang bahwa dirinya tak bersalah terlebih dahulu. Maka Rio berkesimpulan bahwa Thalita memang bersalah.

“Kenapa diam,” kata Rio dingin. “Aku harus bagaimana? Berteriak seperti biasa bila kita bertengkar?” jawab Thalita tak kalah dingin. 

“Siapa dia?” tanya Rio.

“Orang yang lebih memperhatikanku dibandingkan kamu”, Thalita berkata sambil mengaduk jus di gelasnya.

“Jadi selama ini kamu pikir aku tidak memperhatikanmu?”, Rio berkata emosi.

“Kamu menghabiskan waktumu dengan duniamu, dan sedikit memperhatikanku,” jawab Thalita.

“Kamu selingkuh”, kata Rio sengit.

“Kenapa ini seperti aku yang salah, kamu yang salah, nggak pernah merhatiin aku, kamu pernah nemenin aku ke pameran lukisan, sesuatu yang aku sukai? Nggak pernah kan? Dan aku nggak selingkuh”, jawab Thalita tak kalah sengit.

“Tapi nggak berarti kamu bisa ngajak orang lain kan?”, kilah Rio.

Sekarang aku coba tanya sama kamu, kamu pernah merhatiin aku? Tahu apa yang aku sukai dan yang nggak aku sukai? Kamu hanya sibuk dengan duniamu. Kamu nggak pernah merhatiin aku. 

Kemudian Thalita diam.

“Sekarang mau kamu gimana, menyukai hal-hal yang kamu sukai, mau maksa aku suka lukisan, mau maksa aku telfon kamu dan nemeni kamu tiap hari?” jawab Rio.

“Kamu selalu begini, egois, kamu cuma mau bergelut dengan duniamu, nggak pernah mau tahu dengan duniaku, setiap pertengkaran kita selalu seperti ini, rasanya aku capek. 

“Jadi kamu mau bagaimana? Kita putus?” Jawab Rio.

Thalita terkejut, tapi tidak berkata apa-apa. Sebenarnya, ia sudah lelah dengan Rio. Walaupun ia menyukainya. Rio pun sepertinya tak mau lagi berbicara padanya. Mereka terdiam. Membisu. Tak ada kata berpisah, namun mereka tahu ini adalah akhir hubungan dua tahun mereka.

Dua Minggu yang Lalu

Thalita, Rio, dan Fabian

Thalita tampak begitu anggun malam ini. Dengan dress berlengan panjang hitam di bawah lutut, Fabian menggandeng mesra kekasihnya. Ini adalah hari ulang tahun Thalita. Fabian sudah menyiapkan sebuah kejutan, romantic candle night dinner di restoran favorit Thalita. Mereka datang bergandengan mesra menyamput hampir setengah tahun kebersamaan mereka.

Di lain sisi di restoran yang sama, Rio berbicara serius dengan kliennya. Setelah putus dengan Thalita. Rio semakin menenggelamkan dirinya dengan pekerjaan. Bukan semata-mata untuk menggapai karier yang lebih tinggi, namun untuk melupakan Thalita. Hatinya masih milik gadis berlesung pipit itu.

Tanpa sengaja ekor mata Thalita memerhatikan seseorang yang pernah mengisi hatinya. Rio. Ia di sana, berbicara serius dengan seorang kliennya. Rio sangat serius, tanpa memerhatikan sekelilingnya. Thalita masih terus menatapnya. Ia rindu Rio. Sangat rindu. Ia rindu gaya seriusnya ketika berbicara tentang pekerjaannya. Ia rindu gaya sok tahunya tentang sesuatu. Thalita bahkan rindu senyum dan parfum Rio.

Thalita hampir tidak mendengarkan panggilan Fabian ketika Fabian memanggilnya. Ia masih tersihir dengan Rio. Usapan lembut Fabian di rambutnya menyadarkannya, ada Fabian di sampingnya.

“Ngeliatin siapa sih, kok nggak kedip sama sekali dari tadi”, tanya Fabian.

“Nggak kok, bukan siapa-siapa”, kilah Thalita.

Tiba-tiba mata Fabian menangkap sosok pria yang pernah singgah di hati Thalita. Tak bisa dilukiskan hatinya saat itu, antara marah, kecewa, dan sakit hati. Namun, ia masih sayang Thalita. Makan malam mereka berjalan dalam hening. Tak ada cerita-cerita dari Thalita atau Fabian. Mereka sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.

Di parkiran mobil, seperti biasa Fabian akan membuka pintu untuk Thalita. Tiba-tiba dari arah berlawanan, seseorang yang mereka kenal berjalan melewati mereka, Rio. Rio dan Thalita hanya saling menatap, tak berkata sepatah kata. Di sebelah Thalita, Fabian menatap mereka dengan terluka.

Hari Ini.

Rio dan Thalita 

Hari ini Rio mengajaknya bertemu, Thalita menebak-nebak apa yang akan dikatakan Rio padanya. Entahlah, ia kadang-kadang tak bisa menebak isi pikiran pria itu. Mereka berjanji bertemu di restoran favorit merea. Thalita datang lebih dulu. Setelah putus dengan Rio, ia tak pernah lagi datang ke sini. Datang ke sini seakan hanya untuk mengenang masa-masa menyenangkan dan tidak menyenangkannya dengan Rio.

Tepat lima belas menit kemudian Rio datang, Thalita ingat bagaimana wajah Rio tahun lalu ketika mereka putus, marah dan kecewa. Hari ini wajahnya dihiasi dengan senyum yang membuat hati Thalita sedikit berdesir.

“Hallo Thalita”, sapa Rio ramah.

“Hai Rio”, jawab Thalita singkat.

Selama hampir setengah jam mereka bercerita tentang kehidupan mereka pasca putus, tak ada yang istimewa dari pembicaraan mereka, sampai akhirnya di menit ke empat puluh Rio mengungkapkan bahwa dirinya ingin kembali pada Thalita. Thalita tahu sekali akan hal ini. Ia sudah merasa bahwa ia Rio akan memintanya kembali padanya. Namun, kapanpun itu Rio akan menjadi Rio. Ia akan tetap sama seperti ketika mereka bersama, dingin, egois, dan lebih peduli pada dunianya. Tiba-tiba, ia begitu merindukan Fabian.

Rio
Rio tertunduk lesu di kamarnya. Ia kalah. Ia pikir bahwa Thalita akan kembali padanya, ternyata ia salah. Ia menyesal tak memperlakukan Thalita dengan baik ketika mereka bersama. Kini ia hanya bisa menatap wajah Thalita di figura kamarnya. Sayup-sayup terdengar lirik lagu yang begitu menggambarkan kisah cintanya.

“ I should have bought you a flower and held your hands
Should  have gave you all my hours when I had the chance
Take you to every party cause all you wanted to do was dance
Now my baby’s dancing but she’s dancing with another man.
Alfanita Zuraida