Budaya literasi anak-anak Indonesia sepertinya cukup
memprihatinkan. Bagaimana tidak, sejauh pengamatan saya di beberapa sekolah, anak-anak
tidak diberikan cukup waktu untuk membaca buku-buku literasi, setiap hari otak
mereka hanya dijejali membaca buku-buku pelajaran.
Istirahat yang kurang dari
setengah jam pun hanya dimanfaatkan anak-anak untuk jajan dan bermain di
lingkungan sekolah. Tak ada waktu, niatan, bahkan keinginan untuk sekedar
berkunjung ke perpustakaan sekolah dan membaca. Waktu anak-anak terlalu
berharga untuk itu semua, lebih baik mengisi tenaga dengan jajan atau bermain
dengan teman untuk menyegarkan pikiran.
Saat anak-anak berada dalam lingkungan sekolah dasar,
sebenarnya adalah waktu yang sangat tepat untuk mengenalkan budaya literasi
sejak dini. Budaya literasi yang mereka dapatkan sejak dini akan menjadi
pembiasaan ketika mereka dewasa nanti. Mereka akan terbiasa membaca buku yang mungkin sangat tebal sebagai referensi ketika mereka di perguruan tinggi. Bagaimana mungkin mereka bisa membaca buku yang tebal tiba-tiba tanpa melalui sebuah pembiasaan.
Saya ingat persis ketika saya masih di
sekolah dasar, ada waktu dua jam setiap minggu dalam pelajaran Bahasa Indonesia,
kami diijinkan guru untuk pergi ke perpustakaan dan meminjam buku yang kami
mau, kemudian membawanya ke dalam kelas untuk dibaca. Bila tidak tuntas membaca
di dalam kelas, buku yang kami baca dapat dibawa pulang.
Kami yang saat itu tidak punya akses teknologi apapun selain
radio dan televisi sangat tertarik pada buku. Tak jarang kami mendiskusikan
buku yang telah kami baca. Bila ada buku yang menurut kami sangat menarik, kami
akan dengan sabar mengantri dengan teman-teman yang lain untuk membaca buku
tersebut. Kini diskusi anak tak lagi diskusi tentang literasi, diskusi mereka
bergeser membicarakan gadget terbaru, acara televisi, atau berbagai macam les
yang mereka ikuti.
Budaya membaca yang kian menurun, menurut saya pribadi
dipengaruhi oleh beberapa hal. Yang pertama adalah adanya gempuran teknologi.
Anak-anak jaman sekarang sudah sangat akrab dengan gadget. Gadjet kini bukan
hanya dimiliki oleh anak menengah ke atas, anak anak dengan kemampuan ekonomi
menegah ke bawah pun telah dapat menikmati gadget-gadget buatan cina yang fiturnya
sama dengan gadjet canggih. Teknologi ternyata bukan hanya merenggut waktu
anak-anak berinteraksi, gadget juga merenggut waktu anak-anak berliterasi.
Yang kedua adalah kesan dari orang tua bahwa anak pintar
adalah anak yang mendapatkan peringkat di sekolah jadi mereka hanya memaksa
anak untuk membaca buku-buku pelajaran. Buku-buku cerita yang membuka
pengetahuan juga kepekaan anak pun ditinggalkan. Padahal dengan adanya
buku-buku di luar buku pelajaran anak, kemampuan anak mengerti keadaan,
meyelesaikan permasalahan, dan memahami sesama akan lebih terasah. Mengapa, karena sebenarnya buku-buku cerita sederhana yang mereka baca banyak disisipi pelajaran moral yang kemudian mereka serap dalam alam bawah sadar mereka.
Yang ketiga adalah kurang tersedianya waktu yang cukup untuk
anak dalam budaya baca di sekolah. Tidak tersedianya waktu ini salah satunya
adalah tidak adanya kurikulum untuk pengembangan literasi anak, baik dalam
kemampuan membaca atau menulis literasi. Kemampuan dalam membaca dan menulis
literasi hanya mereka dapatkan dalam pelajaran Bahasa Indonesia, itupun hanya
mendapatkan porsi yang sangat kecil, bersaing dengan berbagai materi Bahasa Indonesia
yang lain.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah
di atas. Salah satu solusi yang ingin saya jabarkan di sini adalah SSR atau Sustained
Silent Reading. Ini merupakan sebuah metode membaca rekreasi bagi anak-anak
ketika berada di sekolah. Dalam Sustained
Silent Reading, anak-anak dapat memilih sendiri buku yang ingin mereka baca. Waktunya pun dibatasi hanya beberapa menit, bila waktu berkonsentrasi anak tak lebih dari 15 menit, membaca buku 10 menit pun jadi. Anak-anak dapat membaca buku sendiri atau berpasangan.
Tidak ada tes, laporan, atau rangkuman buku yang mereka telah mereka baca. Anak-anak
pun tidak harus menyelesaikan buku yang mereka baca, mereka dapat berganti
buku ketika mereka berfikir bahwa buku tersebut kurang menarik atau tidak sesuai
dengan bacaan yang mereka inginkan. Mereka membaca dengan situasi menyenangkan,
tanpa paksaan.
Buku yang mudah dan menarik adalah salah satu hal penting
dalam SSR, apalagi untuk anak-anak dengan kelas rendah di sekolah dasar. Untuk anak-anak
dengan kelas lebih tinggi dapat membaca buku sesuai dengan kemampuan mereka, namun mereka juga tidak dilarang ketika mereka ingin membaca buku yang lebih mudah. Saya jadi berfikir bagaimana bila anak-anak Indonesia sudah terlatih membaca sejak dini, pasti sepuluh tahun mendatang Indonesia tidak lagi menempati urutan terbawah dalam kemampuan membaca.
Menempatkan perpustakaan kecil atau mini library di setiap
kelas merupakan sebuah pilihan yang bijak. Buku dapat didapatkan dari setiap
siswa. Bila dalam satu kelas ada 30 anak, maka akan ada 30 judul buku yang
berbeda. Buku-buku itulah yang kemudian dibaca anak dalam satu kelas. Bila telah menyelesaikan 30 buku, buku-buku tersebut dapat ditukar dengan kelas yang lain. Kelas bawah dapat ditukar kelas bawah, begitu pula dengan kelas atas. Jadi tak ada yang mahal dalam SSR, hanya sedikit meluangkan waktu anak untuk membaca buku yang efeknya akan luar biasa ketika mereka beranjak dewasa.
Budaya membaca dan menulis literasi bukanlah budaya instan
yang langsung diperoleh, namun ini adalah sebuah proses melalui pembiasaan. Tak akan pernah ada orang dewasa yang menyukai buku ketika buku-buku tersebut tidak diperkenalkan kepada mereka sejak dini. Tak ada yang terlambat untuk membuat SSR, sekarang atau tidak sama sekali.
Alfanita Zuraida