“Maaf, aku tak bisa menemanimu dalam
sangkar ini lagi, aku butuh terbang, aku butuh bebas”, katamu di suatu malam.
Seperti biasa, kau datang di bawah temaram sinar bulan, berjingkat-jingkat
mendekati jendela kamarku, mengetuknya pelan. Tepat tiga kali ketukan, aku
membuka jendela, aku sudah tahu itu kamu. Tak ada orang yang setiap malam
mengetuk jendela kamarku. Hanya kamu.
Tak seorang pun tahu, kalaupun mereka
tahu mereka takkan peduli. Mereka lebih menikmati alunan musik mendayu-dayu dari
radio tua yang terus digoyang-goyangkan untuk mencari gelombang atau ikut bergoyang
koplo, oplosan atau apalah namanya dari sebuah program televisi yang katanya
terfenomenal. Barangkali, mereka juga sedang menyaksikan sinetron Indonesia
yang lain dari pada yang lain karena cerita hanya berkutat pada harta, tahta,
wanita, dan anak yang ditukar.
Biarlah mereka tak tahu, biarlah
mereka tak peduli. Dengan begitu, aku lebih leluasa bicara denganmu sambil
memandang wajahmu. Kau berbicara tentang mimpi-mimpimu dan mendengarkan keluh
kesahku. Begitu saja, hampir setiap malam.
Aku tertegun, tak berkata apapun
tentang pernyataanmu. Memandangi wajahmu yang sayu. Kesayuan wajahmu tak
mengurangi daya pikatmu. Hari itu kau tampak begitu memesona dengan baju
berkerah biru dan celana abu-abu. Ku tatap wajah rupawanmu, berharap di sana
akan kutemukan kebohongan atau permainanmu. Tapi sia-sia, kau tak pernah
berbohong apalagi mempermainkan perasaanku. Bersasi-sasi bersamamu, aku sadar
bahwa kau lelaki petualang dalam arti sesungguhnya.
Tak terhitung berapa banyak gunung
yang kau daki dan tempat-tempat baru yang kau jelajahi di negeri ini. Ternyata
kau tak puas dengan semua itu. Yang kau inginkan sekarang adalah melintasi
samudra dan benua, melompat lebih tinggi, dan terbang sebebas-bebasnya.
“Jangan Pergi”, jeritku padamu. Ku
tampakkan wajah tersedihku. “Kau tak boleh pergi, kau tak bisa meninggalkanku.
Aku tak bisa hidup tanpamu.”, ku coba meneteskan air mata dukaku di hadapanmu,
berharap airmataku melunakkan hatimu.
Kau bangkit, tiba-tiba saja tangan
kokohmu sudah berada di pipiku, menghapus laraku. Ingin aku berlari ke arahmu,
memelukmu, namun jendela ini terlalu kuat untuk diterobos.
“Ikutlah denganku. Berapa lama kau di
sana? Hanya menatap kepergian teman-temanmu meraih asanya, lepaskan saja semua.
Ikut denganku, kita pergi bersama, aku tak bisa tanpamu. Ikutlah, apakau tak
ingin menjelajah samudra, benua, dan melihat indahnya dunia? tanyamu berharap.
Aku tercengang, tak biasanya kau
memintaku pergi. Selama ini, aku yang selalu memintamu untuk tinggal.
“Ikutlah denganku, akan ku tunjukkan
pada dunia bahwa kau kekasihmu. Ayo ikutlah denganku”, katamu masih terus merajuk.
Aku menggeleng. “Tak bisa, aku tak
bisa meninggalkan sangkar ini. Ada sebuah kepatuhan yang tidak bisa ditukar
dengan kebebasan”, kataku.
Kamu memandangku dan berkata “Aku
tahu, tapi kau tak harus sepatuh itu, kau berhak menentukan pilihanmu sendiri.
Kau berhak memilih, kau berhak bebas”, kau masih mencoba meyakinkanku untuk
ikut bersamamu.
Tiba-tiba kau menarik tanganku,
sedikit keras, sehingga membuatku tersentak. Kau menggengam tanganku dan
menatapku tajam seperti elang yang akan menukik mangsanya. Aku takut melihatmu
seperti ini.
“Kamu tahu bahwa aku ingin bahagia,
bukan hanya di sini tetapi juga di sana. Aku ingin melihat para bidadari
bermata jeli yang menemaniku setipa hari. Minum dari mata air susu jernih yang
selalu mengalir. Memetik sendiri buah-buahan yang aku suka. Dan semua itu harus
kutebus dengan sebuah kepatuhan”, kataku menahan tangis.
Mendengar perkataanku, kau melepaskan
genggaman tanganmu pelan-pelan. Tangan dan hatiku gemetar, selama ini kau tak
pernah sekalipun melepaskan tanganku dalam genggamanmu. Kau selalu ada untukku.
Hatiku berkata bahwa akan ada perpisahan tak berujung.
“Aku sudah tahu kau akan memilih ini,
aku yang bodoh terus mengharapkanmu seperti ini. Maafkan aku sayang, aku tak
lagi bisa tinggal. Aroma tanah-tanah kebebasan dan bau udara dunia luar
memaksaku pergi.”,katamu.
“Tapi kau mencintaiku, tak bisakah
kau tinggal?”, Kali ini aku yang memintamu menuruti keegoisanku.
“Tidak”, kau berkata sambil
menggelengkan kepalamu. Lewat lubang besi kecil jendela, kau tarik tubuhku
sampai berhadapan denganmu, wangi keringatmu yang setiap malam kurengkuh akan
kurindu. Aku menatapmu, ada perasaan takut kehilangan di wajahmu.
Dengan tanganmu kau mendekatkan wajahku
dengan wajahmu. Deru nafasmu terdengar jelas di telingaku. Ketika kau akan
menempelkan bibirmu di bibir tipisku, ku beringsut menjauh.
“Ciuman ini mungkin adalah ciuman
pertama dan terakhir kita. Kamu tahu? Mungkin setelah ciuman ini perasaan kita
akan menjadi lebih dalam, dan kita tak akan pernah bisa saling meninggalkan,”
kataku.
Sekilas aku melihat kekecewaan dari
raut wajahmu. “Pergilah kalau kau ingin pergi, kejarlah apa yang ingin kau
kejar. Namun, aku tak bisa pergi bersamau”, kataku seakan tak mau larut dalam kesedihan
yang akan kita miliki.
Kau tak menjawab, hanya menatapku
lekat-lekat. Aku tahu kau ingin mendengar pernyataanku sekali lagi.
“Aku tak bisa ikut denganmu”, kataku
padamu terakhir kali. Aku melihat perasaan terluka dalam matamu yang masih
menatapku tanpa kata. Tiga detik berikutnya kau beringsut dari tempatmu
berdiri. Aku melihatmu pergi menjauh dari jendela kamarku, menatap punggungmu
sampai lenyap di ujung jalan.
Itu adalah hari terakhir aku
melihatmu.
Alfanita Zuraida
Love this story :) love my self:)
BalasHapus