Picture taken from:www.etsy.co |
Rio
mendengarkan lagu Bunga Jiwaku yang dibawakan
apik oleh Yovie and Nuno dari channel
Radio kesukaannya. Tak ada yang berubah. Suara Dikta dan Dudi masih sama
merdunya seperti biasa. Lirik dan musiknya pun masih sama seperti yang ia dengar
sebelumnya. Namun, mungkin hatinya yang tak lagi sama. Ada setitik luka yang
masih mengangga karena lagu ini. Ya, lagu ini adalah lagu favoritnya dengan
Thalita, pacar yang sudah berganti status menjadi mantannya setahun yang lalu.
Walaupun
sudah setahun berpisah, tapi entah mengapa pesona Thalita masih begitu kencang
bergetar dalam kehidupannya. Mereka putus bukan karena orang ketiga seperti
yang dialami pasangan-pasangan di infotainment, mereka putus karena Thalita
merasa Rio tidak pernah memperhatikan dan ada untuknya. Walaupun ketika mereka
putus ada seseorang yang membuat marah hatinya, satu hal yang ia sadari, ia
yang salah, bukan Thalita atau pria itu.
Bagi
Rio, Thalita tak perlu perhatian yang berlebihan karena ia tahu Thalita adalah
wanita mandiri yang bisa melakukan semuanya sendiri, tanpanya. Lagipula,
pekerjaan sebagai manager pemasaran di sebuah perusahaan besar dan terkenal
cukup menyita waktunya. Baginya, sesekali menelfon atau mengirimkan sms pada
Thalita sudah cukup, tak perlu ia harus selalu menemaninya setiap ia punya
waktu luang.
Masih
menurut Rio, Thalita punya dunia sendiri, dunia yang tak terlalu disukainya. Dan
Rio tidak bisa memaksakan dirinya untuk menyukai dunia Thalita, sebesar apapun
cintanya pada gadis itu. Rio dan Thalita mungkin tak cocok tapi saling cinta,
saling cinta tapi tak cocok.
Thalita
Thalita
menutup buku agendanya dan segera mematikan komputer di hadapannya. Hari ini
adalah hari yang sangat melelahkan. Ia harus bertemu dengan tiga orang klien
yang akan menjalin kerja sama dengan perusahaannya, meladeni mereka dengan manis
padahal hatinya sedang teriris-iris karena perasannya sendiri. Yang membuatnya
makin gusar, ia harus menutupi semua ini dari seseorang.
Suara
sms menyadarkan lamunannya, dari Fabian.
“Sayang,
uda pulang? Mau lihat pameran lukisan nggak?”
Thalita
segera mengetik sms balasan.
“Mau pulang say, Q capek jd mo langsung pulang
ja”.
Tak
sampai lima menit Fabian sudah membalas
smsnya.
“Ok
hati-hati di jalan”.
Huh,
Thalita segera menghempaskan dirinya kembali di kursi kerjanya yang empuk
sebelum memutuskan untuk pulang. Ia tahu, rasa penatnya hanyalah sebuah alasan untuk
menghindari bertemu dengan Fabian. Entah mengapa, kebaikan-kebaikan dari Fabian
tak pernah sedikitpun menyentuh hati kecilnya.
Inilah
salah satu yang menyebabkan kegalauan hatinya. Kebaikan Fabian. Lelaki
blasteran Jawa-Jerman yang sudah enam bulan lebih sepuluh hari menemani
hari-harinya dianggapnya sebagai kebaikan yang harus dibalas dengan cinta.
Thalita masih belum bisa melakukan itu. Ia tahu, sangat tahu bahwa hatinya
masih milik Rio. Lelaki yang baginya hanya jatuh hati pada dunianya, bukan
dirinya.
Fabian
Fabian
menatap jendela kantornya dengaan gusar, ini adalah kali ketiga Thalita menolak
ajakan keluar darinya. Sebenarnya ia tak ingin berburuk sangka pada kekasihnya,
orang yang sudah tiga tahun mengisi hatinya dan resmi menjadi kekasihnya
setengah tahun yang lalu. Namun kejadian seminggu yang lalu cukup meyentakkan
hatinya dan membuatnya bertanya, siapa yang lebih dicintai kekasihnya?
Fabian
bertemu Thalita ketika Mamanya mengajaknya pergi ke rumah temannya. Di sanalah
ia bertemu Thalita karena Thalita adalah anak teman mamanya. Ia merasa seperti
berada dalam adegan yang sering ia temui di FTV, orang tua yang menjodohkan
anaknya dengan pura-pura mengajak anaknya pergi ke rumah temannya. Tapi ia
salah, mamanya tak pernah berniat menjodohkan mereka. Ini hanyalah sebuah
kebetulan, tanpa rekayasa.
Satu,
dua, lima detik setelah bertemu Thalita ia sudah terpana dan mungkin jatuh hati
pada gadis berlesung pipi itu. Mungkin karena senyumnya, kecerdasannya, gaya
bicaranya, atau mungkin ketiganya. Mereka berkenalan dan kemudian menjadi teman.
Tapi sepertinya saat itu tak mungkin mengungkapkan perasaannya karena Thalita
sudah memiliki Rio.
Tak
ada yang bisa berdamai dengan perasaan, begitu juga dengannya. Walaupun ia tahu
Thalita telah memiliki pelabuhan hati, ia tetap menyukainya. Fabian setia
datang ke rumah Thalita sekedar untuk berbicara atau mendengarkan cerita
Thalita. Dari cerita-cerita Thalita, ia tahu bahwa Rio jarang memperhatikannya,
ia juga tahu bahwa Thalita adalah pecinta lukisan. Ia sering mengajak Rio
mengunjungi pameran lukisan, tapi Rio tak pernah sempat menemaninya. Ia pun
mulai mempelajari tentang lukisan dan menganguk setuju bila Thalita mengajaknya
ke pameran lukisan.
Satu tahun yang lalu.
Rio
Ini
adalah hari terburuk bagi Rio, terjebak dengan klien yang terus membicarakan
lukisan di sebuah pameran lukisan yang tidak disukainya. Tak biasa, hari ini
kliennya minta membicarakan masalah deal
bisnis mereka di pameran lukisan. Menurut sang klien, ini adalah hari terakhir
pameran lukisan yang telah dinantikannya. Tak ada waktu, begitulah kilah sang
klien ketika Rio berkata bahwa sang klien bisa melihat pameran lukisan sebelum
hari ini karena pameran lukisan ini dibuka selama dua minggu
Klien
yang usianya mungkin sudah seusia Papanya itu terus saja membicarakan karya-karya
pelukis yang tak pernah di dengarnya dimana-mana. Rio merasa asing dengan
nama-nama itu. Ia lebih akrab dengan Adam Smith atau Johh Maynard Keynes. Berada
di tengah-tengah pemeran lukisan ini mengingatkannya pada Thalita, kekasihnya
itu adalah seorang pecinta berat lukisan. Namun, ia yang tak suka lukisan
selalu memiliki segudang alasan untuk menolak ajakan Thalita ke pameran.
Ternyata benar, pergi ke pameran lukisan memang terasa membosankan.
Walaupun
tak suka, ia harus terlihat antusias di hadapan kliennya yang akan
menandatangni kontrak bernilai ratusan juta dengan perusahaannya. Ia
berpura-pura melihat lukisan dan mengagumi lukisan yang ada di hadapannya. Tiba-tiba
matanya tertuju pada arah lain. Thalita. Ia begitu cantik dengan kemeja putih
dan rok selututnya. Rambut panjang dan ikalnya tergerai indah. Baru saja ia
akan memanggil namanya, segera diurungkannya karena ia sedang menemani klien
pentingnya.
Ia
pun kembali berkonsentrasi pada kliennya kembali, melupakan sejenak pesona
Thalita. Namun tak bisa. Ekor matanya segera mencari keberadaan Thalita. Dia
masih di sana. Semenit kemudian, datang seorang pria Indo bertubuh atletis,
sangat menarik. Mungkin lebih menarik dari pada dirinya. Mereka terlihat sangat
akrab. Sepertinya pria itu melontarkan sebuh lelucon. Thalita tertawa sambil
memukulkan tangannya ke pundak pria itu. Tak pernah Thalita tertawa sebahagia
itu ketika bersama dirinya.
Ia
cemburu. Ia memang tak semenarik pria itu. Tapi tak berarti bahwa Thalita bisa
selingkuh dengan pria lain. Rio tak terima. Ia mencintai Thalita dengan segenap
hatinya. Ia tak pernah dan tak akan pernah melirik gadis lain selain Thalita. Walaupun
ia jarang memerhatikan Thalita, tak pernah romantis, dan terkesan cuek,
harusnya Thalita tahu bahwa itu adalah dirinya. Dan yang harus diketahui
Thalita lagi dibalik semua itu ia mencintainya. Hanya dia. Tiba-tiba ulu
hatinya terasa sakit. Sakit sekali.
Thalita
Ini
adalah hari terakhir pameran lukisan yang paling dinantikannya selama setahun
ini. Sebenarnya sebelum hari terakhir ini, ia telah dua kali datang ketika ia
memiliki waktu luang. Sekali ia datang sendiri, sekali bersama teman-temannya
sesama pecinta lukisan, dan hari terakhir pameran lukisan ini ia mengajak
Fabian.
Sudah
beberapa kali ia mengajak Fabian ke pameran lukisan. Thalita tahu sebenarnya
Fabian tidak suka dan tidak tahu lukisan. Pertama kali mengajaknya ke pameran
lukisan, Fabian hanya melihat-lihat lukisan tanpa ekspresi ingin tahu. Kedua
kalinya, ia hanya mengangguk-angguk pura-pura mengerti apa yang Thalita bicarakan
tentang lukisan. Di pameran ketiga yang mereka hadiri bersama, Fabian mulai
memberikan komentar-komntar ringan tentang lukisan yang dilihatnya. Setelah
itu, ia terlihat lebih nyambung ketika
Thalita mengajaknya bicara tentang lukisan.
Ia
tahu, mencintai lukisan tidak bisa dengan paksaan. Dan sepertinya Fabian tidak
terpaksa menyukai hal-hal yang ia sukai. Entah mengapa. Mungkin ia tahu
alasannya tapi terlalu naif baginya untuk mengakui, ada sesuatu yang janggal
dengan Fabian. Tak mungkin seorang pria mau selalu mendengarkan
cerita-ceritanya, menemaninya kemanapun kalau ia hanya menganggapnya sebagai
teman. Ada sesuatu. Pasti.
Tak
seperti biasanya, Thalita tak menelfon atau memberitahu Rio bahwa ada pameran
lukisan. Baginya itu sia-sia, Rio tak suka lukisan. Sesering apapun ia
memintanya menemaninya, sesering itu pun Rio akan menolaknya. Dan hari ini tak
ada alasan untuk mengajak Rio karena itu percuma.
Di
pameran ini, seperti biasa Fabian selalu melontarkan jokes yang membuatnya tertawa, membuatnya melupakan tugas akhir
yang harus dikerjakannya, berusaha melupakan sakit hatinya pada Rio yang jarang
memperhatikannya. Ia heran ia tak pernah bisa tertawa seperti ini dengan Rio.
Rio tak pernah bercanda. Hidup sangat serius. Punya visi dan misi yang sangat
jelas terhadap hidupnya, tak ada celah, dan terlalu perfectionist. Tapi ia selalu merindukannya.
Fabian
Dengan
langkah pasti, Fabian melangkah ke rumah bercat biru yang sering dikunjunginya.
Rumah Thalita. Hari ini ia berjanji akan menemani Thalita melihat pameran
lukisan kesukaannya. Ia telah terbiasa dengan pameran lukisan. Awalnya, ia merasa
asing dengan dunia lukisan. Karena Thalita menyukainya, ia pun berusaha
mempelajari lukisan. Beruntung Edo, sahabat baiknya seorang pelukis. Fabian
banyak bertanya pada Edo tentang lukisan. Sedikit demi sedikit ia pun mengerti tentang
lukisan, terutama bagaimana memberi komentar tentang lukisan itu sendiri.
Fabian
tak pernah mengeluh atas apa yang dilakukannya pada Thalita. Melihat senyum
tersungging di gadis impiannya itu, ia sudah senang. Ia heran mengapa Rio
kurang memperhatikan Thalita. Kalau ia memiliki Thalita, ia akan membuat
Thalita menjadi orang yang paling berharga dalam hidupnya.
Ketika
bel tiga kali berdering, seseorang membuka pintu untuknya, Thalita, sangat
cantik dengan kemeja putih dan rok selututnya. Rambut panjang dan ikalnya
dibiarkan terjuntai begitu saja. Andai ia kekasihnya, ia pasti sudah
memeluknya. Tapi, itu tidak mungkin Fabian bukan kekasih Thalita, Thalita bukan
kekasih Fabian. Thalita milik Rio.
“Kamu
cantik Thalita, selalu” kata Fabian.
“Thanks,
jalan sekarang aja yuk, nanti keburu telat” kata Thalita.
Tiga
puluh menit kemudian, mereka sudah berada di galeri lukisan. Seperti di sebuah
adegan sinetron Indonesia, seseorang menabrak Thalita, badan Thalita limbung
dan Fabian segera menangkapnya. Mereka bertatapan. Kikuk. Thalita segera
melepaskan diri dari pelukan Fabian. Fabian menghela nafas. Ia cukup tahu diri
dengan posisinya.
Thalita dan Rio
Setelah
mengantar kliennya ke lobi dan berbasa-basi sebentar, Rio langsung melesat
cepat, berlari kembali ke ruang pameran. Satu hal yang harus dilakukannya
meminta penjelasan pada Thalita tentang apa yang terjadi. Mengapa ia bersama
pria lain. Tak cukupkah ia hanya memiliki dirinya?
Thalita
masih bersama pria itu ketika ia kembali ke ruamg pameran, dengan kasar Rio
segera menarik tangan Thalita. Thalita yang terkejut karena seseorang tiba-tiba
menarik tangannya menjerit ketakutan. Ia baru berhenti berteriak ketika ia tahu
bahwa yang menarik tangannya adalah Rio. Fabian berusaha menarik tangan Rio
tapi Thalita memberi isyarat untuk tetap pada tempatnya.
Ketika
melihat Rio, ia berusaha tersenyum. Namun wajah Rio tak ramah, tak
menyunggingkan senyum sama sekali padanya. Rio menarik lagi tangan Thalita,
kali ini lebih halus. “Kita harus bicara,” kata Rio. Thalita mengangguk dan memberikan
kode pada Fabian bahwa ia pergi dengan Rio.
Mereka
menuju parkiran mobil, Thalita tahu kemana mereka akan pergi. Kafe di jalan
Thamrin, tempat kesukaan mereka ketika mereka bertengkar untuk menyelesaikan
masalah. Banyak masalah yang terjadi, namun mereka selalu bisa
menyelesaikannya. Entah hari ini.
Di
dalam Kafe, Rio diam terpaku. Tak pernah ia semarah ini pada Thalita sampai ia
tidak tahu harus mengatakan dan berbuat apa pada kekasihnya ini. Thalita yang
tahu bahwa Rio marah padanya hanya bisa menunduk, tak berani menatapnya.
Sebenarnya
bila Thalita mau ia akan berteriak keras pada Rio dan mengatakan bahwa ia tak
bersalah, seperti yang biasa ia lakukan di pertengkaran-pertengakaran
sebelumnya dengan Rio. Tapi kali ini ia merasa lelah untuk itu karena itu ia
hanya diam.
Rio
yang tahu bhwa Thalita hanya diam makin bingung, tak seperti biasanya Thalita
seperti ini. Biasanya bila yakin tak
bersalah, Thalita akan mendebat pendapatnya atau bilang bahwa dirinya tak
bersalah terlebih dahulu. Maka Rio berkesimpulan bahwa Thalita memang bersalah.
“Kenapa
diam,” kata Rio dingin. “Aku harus bagaimana? Berteriak seperti biasa bila kita
bertengkar?” jawab Thalita tak kalah dingin.
“Siapa
dia?” tanya Rio.
“Orang
yang lebih memperhatikanku dibandingkan kamu”, Thalita berkata sambil mengaduk
jus di gelasnya.
“Jadi
selama ini kamu pikir aku tidak memperhatikanmu?”, Rio berkata emosi.
“Kamu
menghabiskan waktumu dengan duniamu, dan sedikit memperhatikanku,” jawab
Thalita.
“Kamu
selingkuh”, kata Rio sengit.
“Kenapa
ini seperti aku yang salah, kamu yang salah, nggak pernah merhatiin aku, kamu
pernah nemenin aku ke pameran lukisan, sesuatu yang aku sukai? Nggak pernah
kan? Dan aku nggak selingkuh”, jawab Thalita tak kalah sengit.
“Tapi
nggak berarti kamu bisa ngajak orang lain kan?”, kilah Rio.
Sekarang
aku coba tanya sama kamu, kamu pernah merhatiin aku? Tahu apa yang aku sukai
dan yang nggak aku sukai? Kamu hanya sibuk dengan duniamu. Kamu nggak pernah
merhatiin aku.
Kemudian
Thalita diam.
“Sekarang
mau kamu gimana, menyukai hal-hal yang kamu sukai, mau maksa aku suka lukisan,
mau maksa aku telfon kamu dan nemeni kamu tiap hari?” jawab Rio.
“Kamu
selalu begini, egois, kamu cuma mau bergelut dengan duniamu, nggak pernah mau
tahu dengan duniaku, setiap pertengkaran kita selalu seperti ini, rasanya aku
capek.
“Jadi
kamu mau bagaimana? Kita putus?” Jawab Rio.
Thalita
terkejut, tapi tidak berkata apa-apa. Sebenarnya, ia sudah lelah dengan Rio.
Walaupun ia menyukainya. Rio pun sepertinya tak mau lagi berbicara padanya. Mereka
terdiam. Membisu. Tak ada kata berpisah, namun mereka tahu ini adalah akhir
hubungan dua tahun mereka.
Dua Minggu yang Lalu
Thalita, Rio, dan Fabian
Thalita
tampak begitu anggun malam ini. Dengan dress
berlengan panjang hitam di bawah lutut, Fabian menggandeng mesra kekasihnya.
Ini adalah hari ulang tahun Thalita. Fabian sudah menyiapkan sebuah kejutan, romantic candle night dinner di restoran
favorit Thalita. Mereka datang bergandengan mesra menyamput hampir setengah
tahun kebersamaan mereka.
Di
lain sisi di restoran yang sama, Rio berbicara serius dengan kliennya. Setelah
putus dengan Thalita. Rio semakin menenggelamkan dirinya dengan pekerjaan.
Bukan semata-mata untuk menggapai karier yang lebih tinggi, namun untuk
melupakan Thalita. Hatinya masih milik gadis berlesung pipit itu.
Tanpa
sengaja ekor mata Thalita memerhatikan seseorang yang pernah mengisi hatinya.
Rio. Ia di sana, berbicara serius dengan seorang kliennya. Rio sangat serius,
tanpa memerhatikan sekelilingnya. Thalita masih terus menatapnya. Ia rindu Rio.
Sangat rindu. Ia rindu gaya seriusnya ketika berbicara tentang pekerjaannya. Ia
rindu gaya sok tahunya tentang sesuatu. Thalita bahkan rindu senyum dan parfum
Rio.
Thalita
hampir tidak mendengarkan panggilan Fabian ketika Fabian memanggilnya. Ia masih
tersihir dengan Rio. Usapan lembut Fabian di rambutnya menyadarkannya, ada
Fabian di sampingnya.
“Ngeliatin
siapa sih, kok nggak kedip sama sekali dari tadi”, tanya Fabian.
“Nggak
kok, bukan siapa-siapa”, kilah Thalita.
Tiba-tiba
mata Fabian menangkap sosok pria yang pernah singgah di hati Thalita. Tak bisa
dilukiskan hatinya saat itu, antara marah, kecewa, dan sakit hati. Namun, ia
masih sayang Thalita. Makan malam mereka berjalan dalam hening. Tak ada
cerita-cerita dari Thalita atau Fabian. Mereka sibuk dengan pikiran mereka
masing-masing.
Di
parkiran mobil, seperti biasa Fabian akan membuka pintu untuk Thalita.
Tiba-tiba dari arah berlawanan, seseorang yang mereka kenal berjalan melewati mereka,
Rio. Rio dan Thalita hanya saling menatap, tak berkata sepatah kata. Di sebelah
Thalita, Fabian menatap mereka dengan terluka.
Hari Ini.
Rio dan Thalita
Hari
ini Rio mengajaknya bertemu, Thalita menebak-nebak apa yang akan dikatakan Rio
padanya. Entahlah, ia kadang-kadang tak bisa menebak isi pikiran pria itu. Mereka
berjanji bertemu di restoran favorit merea. Thalita datang lebih dulu. Setelah
putus dengan Rio, ia tak pernah lagi datang ke sini. Datang ke sini seakan
hanya untuk mengenang masa-masa menyenangkan dan tidak menyenangkannya dengan
Rio.
Tepat
lima belas menit kemudian Rio datang, Thalita ingat bagaimana wajah Rio tahun
lalu ketika mereka putus, marah dan kecewa. Hari ini wajahnya dihiasi dengan
senyum yang membuat hati Thalita sedikit berdesir.
“Hallo
Thalita”, sapa Rio ramah.
“Hai
Rio”, jawab Thalita singkat.
Selama
hampir setengah jam mereka bercerita tentang kehidupan mereka pasca putus, tak
ada yang istimewa dari pembicaraan mereka, sampai akhirnya di menit ke empat
puluh Rio mengungkapkan bahwa dirinya ingin kembali pada Thalita. Thalita tahu
sekali akan hal ini. Ia sudah merasa bahwa ia Rio akan memintanya kembali
padanya. Namun, kapanpun itu Rio akan menjadi Rio. Ia akan tetap sama seperti
ketika mereka bersama, dingin, egois, dan lebih peduli pada dunianya. Tiba-tiba,
ia begitu merindukan Fabian.
Rio
Rio
tertunduk lesu di kamarnya. Ia kalah. Ia pikir bahwa Thalita akan kembali
padanya, ternyata ia salah. Ia menyesal tak memperlakukan Thalita dengan baik
ketika mereka bersama. Kini ia hanya bisa menatap wajah Thalita di figura
kamarnya. Sayup-sayup terdengar lirik lagu yang begitu menggambarkan kisah
cintanya.
“ I should have bought you a flower and held your hands
Should have gave you all my hours
when I had the chance
Take you to every party cause all you wanted to do was dance
Now my baby’s dancing but she’s dancing with another man.
Alfanita Zuraida
Tidak ada komentar:
Posting Komentar