Saya selalu merasa bahwa
hidup saya sempurna, bersyukur atas segala nikmat dan karunia yang Maha Kuasa
(dulu). Saya punya keluarga yang lengkap, rumah nyaman, dan kamar yang selalu
terjaga privasinya, tak sembarang orang bisa masuk ke kamar saya karena setiap
saya keluar rumah saya kunci dan hanya saya yang punya kuncinya. Saya juga
bersyukur bahwa saya masih punya sahabat-sahabat yang menyayangi dan
memperhatikan. Saya sibuk sekali menghitug nikmat Allah pada saya, dan hasilnya
sudah bisa ditebak, tak terhitung.
Tiba-tiba saja sebagian kebahagian itu hilang, karena Allah mengambil satu bagian penting dari hidup saya. Ayah. Seperti mimpi rasanya, sampai sekarang. Hampir saya tidak percaya, kalau dibilang percaya, susah percaya. Setiap terbangun dari lelapnya tidur, saya selalu menyadari sesuatu, hidup ini sudah tak sempurna. Di kehidupan nyata Ayah memang tidak ada, tapi di mimpi-mimpi saya, di alam bawah sadar, Ayah masih hidup, mungkin ada suatu kekeliruan dari dokter. Dokter salah mendiagnosa, menyatakan Ayah meninggal. Padahal itu bukan Ayah. Ayah hanya pergi ke suatu tempat, ke luar kota. Dia pasti kembali. Seperti di mimpi hari itu, Ayah belum meninggal, Ayah hanya belum pulang haji. Lihatlah dia datang tepat di depan rumah, membawa oleh-oleh banyak sekali. Dalam mimpi, saya cubit sebelah tangan, sakit sekali. Berarti benar, Ayah belum meninggal, dia masih hidup. Tiba-tiba terbangun, sakit sekali di ulu hati, sakit, perih, hampir tak tertahankan.
Ayah,
Yang selalu bekerja di rumah
setiap hari. Setiap hari menemani Ibu belanja. Ayah yang baik. Ayah yang sayang
pada anak-anaknya. Ayah yang menyukai kucing putih bernama Molly. Yang selalu
berteriak memanggil namaku dari bawah ketika maghrib dan isyak menjelang. Yang
selalu shalat dhuha pukul 07.30 (tak pernah kurang dari jam ini). Yang suka
makan telur. Yang suka bercanda. Yang selalu khusuk dalam shalatnya. Yang
menjanjikan aku banyak hal setelah pulang haji. Yang sangat aku sayangi. Yang
.............
Orang bilang sabar, orang bilang ikhlas. Bukannya mereka tidak merasakan? Bukannya itu butuh proses? Atau aku saja yang terlalu mendramatisir kisah hidup ini. Merasa diri paling menderita, padahal di luar sana masih banyak yang lebih menderita. Bukannya banyak yang ditinggalkan dalam usia yang mungkin masih lebih muda atau masih anak-anak. Bagaimana dengan mereka? Tentu lebih susah, apalagi bila tidak ditinggali harta benda. Bukannya hidup yang sempit ini terasa lebih sempit. Bukankah jauh lebih sulit dan tentu saja menderita. Mungkin saya saja yang terlalu lebay menjalani ini, padahal di dunia ini sudah banyak juga, bahkan ada yang lebih parah. Benar kata sahabat saya, kita tidak bisa menggenggam keluarga kita terlalu erat, karena pada akhirnya kita akan tetap berpisah dengan mereka.
Kata adik semata wayang saya, kita harus berbahagia walau dengan kata “tanpa”. Tanpa Ayah aku harus tetap menjadi anak baik, tanpa Ayah aku harus sukses dalam hidup ini. Akhirnya, mungkin semua ini tidak terlepas dari kata “takdir’, bukankah ini semua sudah digariskan. Tak akan pernah ada yang salah dan tertukar karena yang mentakdirkan itulah yang Maha Kuasa atas segalanya.
Gresik, 02-01-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar