salah satu adegan drama Korea Princess Hours (picture taken from: movie.lintas.me) |
Full
House, Princess Hours, Love Story in Harvard, Wedding, Heartstring, Endless
Love. Ah, itu semua drama Korea favoritku.
Dengan kepribadian lembut, tidak suka kekerasan atau
dikerasi baik fisik atau emosional, aku akan lebih memilih menonton drama Korea
dibandingkan dengan film-film action.
Drama Korea sesuai dengan kepribadianku, heheheh. Lihat saja, film Korea jarang
menampilkan adegan kekerasan, kebanyakan adalah adegan romantis yang mungkin
bukan hanya aku sukai tetapi juga banyak orang Indonesia sukai. Buktinya, ada
salah satu stasiun TV yang menampilkan drama-drama Korea sebagai program
unggulannya. Lagi, banyak blog orang Indonesia yang kini menampilkan
tulisan-tulisan yang berisi informasi tentang drama atau artis Korea. Tidak
percaya? coba search di google dengan
mengetik Drama Korea, pasti akan
bermunculan tulisan-tulisan dari blog orang Indonesia tentang Korea. Ini
membuktikan bahwa Korea dan berbagai hal tentangnya ternyata disukai oleh
masyarakat Indonesia.
Kemunculan film Korea tak lepas dari Korean Wave. Korean Wave atau Hallyu adalah
penyebaran budaya Korea ke seluruh dunia. Karena Korean wave ini, banyak orang ingin mempelajari bahasa dan budaya
Korea. Korean Wave mulai dikenal di
negara Cina dan Asia Tenggara pada tahun 1990-an. Drama Korea sendiri mulai
menyebar pertama kali ke wilayah Cina, kemudian ke Vietnam, Thailand, dan
kemudian ke Indonesia. Tampaknya pemerintah Korea ingin menghadirkan budaya Korea
dalam drama-dramanya, dan sepertinya itu berhasil. Dulu orang tidak peduli
dengan hal-hal berbau Korea, sekarang orang-orang terutama orang Indonesia
seakan berburu atau meniru hal-hal yang berbau Korea mulai dari gaya rambut,
pakaian, sampai dunia industri entertainmentnya,
lihat saja di boybands dan girlbands banyak bermunculan di
Indonesia.
Di Indonesia, drama Korea yang pertama kali tayang dan
mendapatkan respon yang bagus adalah Winter
Sonata. Film ini diputar di stasiun televisi swasta Indonesia pada tahun
2002. Dengan mengembangkan kearifan budaya lokal, Winter Sonata memberikan setting tempat yang apik seperti Pulau
Jungdo, yaitu salah satu dari tiga pulau yang
terbentuk sebagai hasil dari pembangunan bendungan Uiam dan Gongjicheon, tempat
dimana Joon-sang dan Yu-Jin turun dari bus bersama-sama setelah mereka sadar
bahwa mereka telah tertinggal jauh dari pemberhentian mereka. Kita lihat lagi drama
Korea klasik Jewel in the Palace, wah
kalau film ini jangan ditanya pastinya banyak tempat yang mengenalkan kita akan
budaya Korea. Yang pertama adalah Istana Changdeokgung. Ini adalah salah satu
dari Lima Istana terbesar yang dibangun oleh raja-raja dari Dinasti Joseon.
Tempat yang kedua adalah Korean Folk Village. Yaitu sebuah museum hidup suatu
desa asli masyarakat Korea yang merupakan objek wisata di kota Yongin. Disini
ada beberapa replika rumah tradisional dari kelas sosial yang berbeda. Tempat
yang ketiga adalah Istana Hwaseong Haenggung. Tempat ini adalah puri yang
terbesar dari tempat penampungan. Ini adalah istana sementara dimana raja
Jeongjo tinggal pada saat perjalanan panjang dan juga dimana dia mengadakan
pesta indah di Hyegyeonggung Hong, yaitu ulah tahun ibunya ke 60. Sepertinya
suatu saat saya akan berada di tempat-tempat indah tersebut...Aamiin.
Film Televisi (FTV) yang setiap siang dan sore
ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta Indonesia ternyata juga sering
memunculkan budaya lokal, sama seperti drama Korea, setting tempat yang apik
dan indah seperi Bali, Bandung, Semarang, Solo, dan Jogja menjadi latar tempat yang
menarik bagi cerita FTV. Namun, sinetron Indonesia tampaknya masih belum
tertarik untuk mengambil tempat-tempat apik dengan kearifan lokal seperti itu. Mungkin
masalah budget yang membuat mereka enggan atau bahkan tidak mau mengambil
lokasi-lokasi seperti itu. Lokasi syuting, setahu saya, hanya berpusat di
Jakarta. Jangan heran kalau melihat sintetron-sinetron Indonesia terutama yang
ditayangkan saat petang sangat miskin setting tempat. Bayangkan saja, bila
setting sedang mengambil tempat di jalan, maka jalanan akan terlihat sangat
sepi, seolah-olah tidak ada pengguna jalan lain selain si aktor saja, padahal
jalanan kan milik umum ya. Selain itu kalau mengmbil setting tempat di jalan,
pasti yang terlihat jalan itu lagi, jalan itu lagi. Apa jalan hanya ada satu ya
itu yah mungkin.
Lagi, mengapa sinetron Indonesia atau FTV Indonesia
tidak bisa mendunia?Ah, tidak usah terlalu jauh dulu sebaiknya, Ok, bagaimana
kalau saya katakan mengapa sinetron Indonesia tidak bisa menjadi raja di Asia
Tenggara. Ah, saya lagi-lagi salah, maaf, saya ubah sekali lagi, Mengapa
sinetron Indonesia tidak bisa menjadi raja di negerinya sendiri? Mungkin jawabanya
sudah terfikir dalam benak masing-masing kita, tapi untuk mengungkapkannya. Ah,
saya tidak sampai hati menulis di sini. Sama saja membongkar keburukan bangsa
sendiri. Jawabannya, silahkan tonton sinetron Indonesia
Saya sebenarnya tidak mau munafik atau sok suci,
karena pada dasarnya saya juga masih suka sinetron Indonesia. Bedanya, saya
suka sinetron Indonesia hanya pada cerita awal. Cerita awal sinetron Indonesia
ketika rating belum tinggi, penonton belum banyak, dan masih belum populer.
Bisa dipastikan, saya akan sedikit menikmati jalan dan ide cerita yang coba
ditampilkan oleh sineas persinetronan Indonesia, tetapi setelah itu? silahlan
dilihat sendiri. Jalan cerita akan semakin berputar putar, masalahnya pun
selalu sama anak yang ditukar, hilang ingatan, kecelakaan. Tiga tema itu
tampaknya sering menghiasai persinetronan Indonesia. Saya meraba-raba mungkin
karena dulu tahun 2002, ada drama Korea Endless Love, yang ceritanya tentang
anak yang tertukar. Dari ide tersebut mungkinkah sinetron-sinetron banyak yang
mengadaptasinya? Mungkin. Saya tidak tahu pasti.
Memang, saya bisa dibilang bahwa saya OD alias Omong
Doang. Tapi semoga karena omong doang saya ini bisa membuka sedikit mata para
sineas persinetronan Indonesia tentang pembuatan sinetron Indonesia. Sinetron
Indonesia sebenarnya menunjukkan kepribadian dan karaketer suatu bangsa.
Bagaiamana karakter suatu bangsa ini bila ide cerita,adegan sinetron, dan kostum
yang digunakan oleh pemainnya seperti itu. Sungguh-sungguh memilukan. Saya
bahkan pernah mendapati sebuah sinetron yang terang-terangan menghalalkan suap
untuk melepaskan seseorang yang dicintainya. Padahal, tokoh yang mengahalalkan
suap itu masih tergolong tokoh protagonis.
Sebagai seorang guru, bagaimana anak-anak kita bisa
disuguhi hal-hal semacam itu. Ketika orang tua mereka menonton sinetron,
kemudian anak-anak juga akan menontonnya. Apa yang akan anak-anak dapatkan?
Model yang sangat tidak patut ditiru. Kita selalu melarang anak untuk berbuat
jahat. Namun dengan melihat sinetron dengan banyak adegan kekerasan bukannya
mengajarkan anak-anak untuk belajar tentang bagaimana memulai sebuah kekerasan
itu? Silahkan dipikirkan sendiri saja lah. Saya pernah membaca, di sebuah
daerah terpencil yang listrik hanya menyala antara jam 6 sampai jam 8. Dan
televisi sebagai hiburan hanya dapat dilihat pada jam-jam tersebut. Apakah kita
harus mengajarkan hal seperti itu sampai pada pelosok-pelosok daerah?
Dulu ketika saya kecil, saya suka melihat sinetron
berjudul Keluarga Cemara. Saya suka sekali sinetron itu, bahkan sampai sekarang
pun saya tidak bisa melupakan beberapa adegan dalam film itu. Saya juga masih
ingat lho nama-nama pemain dalam tokoh tersebut ada Abah, Emak, Euis, Ara, dan
Agil yang baik, ada juga pipin dan tante plesir yang jahat. Dalam sinetron itu,
banyak sekali nilai moral yang bisa diambil. Sekarang bandingkan anak-anak yang
tumbuh dengan sinetron apik yang mendidik moral mereka atau sinetron yang hanya
menunjukkan kekerasan dan hedonisme?
Sekarang coba kita tengok adegan di drama Korea.
Silahkan anda menyebutkan drama Korea yang ada adegan seorang anak berteriak-teriak
dan berkata tidak sopan pada kedua orang tuanya? Carilah dan anda mungkin jarang sekali Anda mendapatkannya. Dalam
sinetron Korea, ternyata adat-adat ketimuran masih dipegang
Bila korea punya Seoul, Bussan, dan Jeju, tenang saja
Indonesia masih punya Lombok, Bali, Jogja, Bandung, dan tentu saja masih banyak
lagi kota-kota indah lainnya. Bila di Korea punya kuliner kimchi, tidak usah
berkecil hati Indonesia juga punya rendang, gado-gado, raon,balado dan berbagai
macam kuliner lain. Jadi, apa sih yang tidak Indonesia punya. Semua kita punya,
tinggal bagaiamana kita mengembangkannya dalam bentuk ide cerita. Kalo Korean
punya Korean Wave, semoga suatu saat
Indonesia punya Indonesia Wave.
Sedikit berhayal, bila suatu saat kelak saya keluar negeri, dan orang asing
menanyakan asal saya. Saya dengan bangga saya berasal dari Indonesia. Dan orang
asing yang bertanya tersebut menganguk tahu dan menghargai. Semoga.
NB: Ini tulisan suka-suka, dibuat ketika kelas KKT A sedang sepi tugas,
sebenarnya saya bingung harus berbuat apa, sudahlah dari pada bengong lebih
baik saya menulis saja.
210312012
AZ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar