Mengawini Malam
Sudah enam hari tiada sesendok pun nasi yang melekat
dalam perutku. Mustahil menelan nasi
pada saat seperti. Nyeri ini, sakit di dada ini. Rasanya, bahagianya hidup
sudah tak berpihak lagi padaku. Hatiku tersenyum getir. Hidup ini seperti sebuah
permainan. Rasanya baru kemarin aku seperti menjadi wanita paling bahagia di
dunia, kini semua tak lagi sama. Cinta, rasa, indah kini berbalik menjadi
marah, benci, dan gundah. Entahlah, jalinan rasa kini mulai memudar, tak tampak
lagi oleh kasat mata.
Yongwa, nama lelaki itu. Pertama kali aku mendengarnya
mengucapkan namanya, aku sudah tahu pasti dia salah satu penduduk negeri
ginseng. Seperti orang dari ras Mongoloid lainnya perawakan tubuhnya tinggi,
putih, dan bermata sipit. Pertemuanku dengannya bagai slow motion dalam drama. Kami bertabrakan tepat di depan pintu
masuk sebuah mall. Tanpa sengaja dia menabrakku dan tumpahlah barang
belanjaanku. Kami pun berkenalan dan makan di sebuah restoran. Dari pertemuan
itu, aku tahu kalau dia adalah seorang seorang ekspatriat muda Korea yang
sedang mengembangkan bisnisnya di Indonesia. Bahasa Indonesianya cukup lancar
walaupun kadang aku harus menjelaskan beberapa kata yang tak dimengerti
olehnya. Pekerjaanku sebagai sekretaris rupanya banyak memberikan bekal untuk
mengimbangi percakapannya tentang bisnis yang dijalaninya.
Setelah pertemuan itu, kami pun lebih sering bertemu.
Makan, nonton film atau sekedar berjalan-jalan di taman menjadi hal yang rutin
kami lakukan. Hati yang dulu sendiri, kini telah terisi. Caranya
memperlakukanku bak seorang puteri melambungkan anganku. Tak perlu waktu lama
untuk meyakinkan hatiku untuk menerimannya menjadi suamiku. Keputusanku
menikahinya ditentang oleh keluarga besarku. Perbedaan agama, budaya, serta warga
negara adalah alasannya. Aku yang saat itu sudah tidak peduli pada apapun
akhirnya meninggalkan semua untuknya.
Petaka datang tepat tiga bulan pernikahanku. Petugas kepolisian
berpakaian preman menjemput Yongwa. Mereka bilang kekasih hatiku itu telah
melakukan bisnis ilegal, jual beli wanita dari Indonesia ke Korea. Dari polisi
aku tahu bahwa jabatan ekspatriatnya di sebuah perusahaan hanya topeng untuk
memuluskan usaha haramnya. Satu lagi yang membuat hatiku hancur tak bersisa,
Yongwa rupanya telah menikah dan punya satu anak di Korea. Saat itu juga kaki
kecilku rapuh tak dapat menahan berat tubuhku. Semua gelap, aku tak ingat
apa-apa lagi.
Kata Ibuku, inilah akibat bila aku mengawini malam.
Mengawini pekat-pekatnya yang mengeluncup menjadi nestapa. Inilah azab Tuhan
bagi yang mengawini malam. Malam adalah pekat, gelap, dan berbatas. Tak baik
aku mengawininya, tapi aku melakukannya Menikahi Yonghwa adalah menikahi malam.
Agama dan budaya kami berbeda. Perkawinan malam akhirnya terjadi membuatku
terjerembab dalam kehampaan. Kini, aku menyesal, tak mau aku mengawini sang malam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar