Galau karena pengacau. Picture from: tempo.com |
Pernakah kita sakit hati atau marah
terhadap perkataan atau perbuatan sesorang? berhari-hari, berbulan-bulan,
bahkan bertahun-tahun pun kita tidak bisa memaafkan, merasakan setengah hidup
kita dipenuhi oleh dendam dan kesal berkepanjangan.
Kita sebenarnya tahu bahwa kita
dengan mudah bisa memaafkan sesorang, namun keegoisan dalam diri kita
kadang-kadang membunuh keinginan untuk memaafkan. Keras kepala kita mengikis
kepekaan naluri dalam hati sanubari yang kita miliki. Keegoisan inilah yang
akhirnya membuat kita menolak bertemu dan bekerja sama dengan orang yang kita
pikir telah menyakiti hati kita.
Memaafkan butuh latihan yang mungkin
bukan sehari-dua hari tapi di sepanjang kehidupan kita. Memaafkan adalah sebuah
proses pendalaman karakter pada diri sendiri karena pada hakikatnya memaafkan adalah
mengalahkan diri sendiri. Jadi, sebelum memaafkan orang lain, alangkah baiknya
bila kita memaafkan diri kita sendiri. Biarkan kita memberi ruang pada diri ini
untuk dapat mengevaluasi diri dan hati tentang apa yang telah terjadi. Mulailah
memaafkan diri ini kemudian orang lain.
Lagi pula, tak ada gunanya
mempertaruhkan kehidupan kita yang sangat berharga hanya untuk memberi ruang
pada orang yang tak suka dengan kita atau ingin menyakiti kita. Hidup ini
terlalu bermakna bila hanya sekedar memberi ruang kepada para pengacau, yang
mungkin sudah melupakan perkataan atau perbuatannya pada kita. Lalu, kenapa
kita masih mengingat dan memendamnya dalam hati kita.
Tak ada manusia sempurna walaupun
manusia ingin menjadi “sempurna”. Karena ketidak sempurnaan itulah para
“pengacau” yang tidak suka dengan kita mencari celah. Jadi, berdamailah dengan hati
kita, berdamailah dengan diri kita, juga berdamailah dengan orang lain. Jangan
biarkan para pengacau menghancurkannya. Tetap fokus dengan apa yang kita
jalankan, dan tetaplah berdoa pada Allah, Yang Maha Kuasa atas segalanya.
Alfanita Zuraida
Tidak ada komentar:
Posting Komentar