BALADA SANG WAKIL RAKYAT
Aku bersumpah
untuk merutukimu hai pria setengah baya dengan kata-kata paling menyakitkan di
dunia. Aku akan menyebutmu brengsek, bajingan, atau anjing sekalipun. Kau telah
mengecewakanku. Mengecewakan semua amanah dan kepercayaankumu. Andai aku bisa,
aku akan menghukummu dengan hukuman paling pedih di dunia. Di akhirat nanti
jika Tuhan menanyaiku untuk memaafkanmu atau tidak atas semua yang kaulakukan
padaku, akan kukatakan bahwa aku tidak sudi memaafkanmu. Dan biar Tuhan
meletakkanmu di nerakaNya yang paling bawah. Melihatmu meraung-raung di bawah sana,
aku akan tertawa puas.
Namamu adalah Rahmad
Teguh Priyanto. Teman-teman kampusmu memanggilmu Rahmad. Kau bukan anak orang
berada. Ibumu hanya penjual gorengan sedangkan Bapakmu adalah penjahit yang
sering dimintai tolong tetangga untuk menjahitkan kain mereka. Keluarga kecilmu
ini tinggal di bantaran sungai Mas.
Dengan segala keterbatasannya ini, kedua orang tuamu berusaha supaya anak
semata wayangnya bisa menjadi seseorang yang berguna bagi bangsanya, tidak
seperti mereka yang selalu hidup papa dalam pergulatan hidupnya. Akhirnya kedua
orang tuanya ini sepakat bekerja membanting tulang menyekolahkannya sampai
perguruan tinggi. Berbagai pekerjaan sampingan pun mereka lakukan demi mewujudkan
impian mereka yang memiliki anak yang berguna bagi bangsanya.
Akhirnya
dengan perjuangan keras kedua orang tuamu, kau bisa mengenyam pendidikan di Perguruan
Tinggi. Kau pun berjuang untuk menjadi mahasiswa pintar yang tidak mengeecewakan
kedua orang tuamu. Di samping kuliah, kau pun aktif mengikuti organisasi di
universitasnya. Tergembleng dari organisasi ynag kau ikuti, kau memjadi orang yang idealis.
Korupsi, kolusi dan nepotisme adalah hal-hal yang membuatmu bicara bahwa kau anti
dengan semua itu. Ada –ada saja yang kau perjuangkan, berdalih untuk
kesejahteraan mahasiswa berbagai demo yang menolak kebijakan kampus yang
merugikan masyarakat dan mahasiswa telah kau ikuti. Bila ada salah satu saja kebijakan kampus yang
tidak sesuai dengan idealisme mu, kau akan matia-matian menolaknya dengan
segala macam cara. Walaupun kadang-kdaang semua yang kau lalakukan bertentangan
dengan birokrasi kampusmu. Semua itu kau lakukan agar para mahasiswa bisa
menikmati pelayanan terbaik di bidang pendidikan. Begitu menggebu semangatmu
dalam memperjuangkan itu, samapi julukan sosok organisatoris pun kau sandang.
Lulus kuliah S1mu,
kau menerima pinangan dari salah satu partai politik untuk menjadi kadernya.
Merasa idealismu akan terjaga ketika bergabung dengan salah satu partai
nasionalis itu, kau pun mengangguk setuju dengan pinangan itu. Kau pun menjadi salah satu kader partai politik besar
di Surabaya. Dalam hati kau bersumpah akan tetap menjaga idealismemu dan akan
terus berpihak padaku.
Karirmu sebagai
anggota partai politik melejit pesat, bukan karena kau seorang yang pintar,
namun lebih karena usahamu untuk mengadakan lobi-lobi dengan para dedengkot
partai politik itu. Alhasil jabatan tinggipun melirikmu, kau berhasil menjadi anggota
DPRD Surabaya. Dalam hati kau berjanji memperjuangkan kepentinganku, wakil
rakyat yang akan selalu memperhatikanku.
Beberapa tahun
kemudian, berkat kerja kerasmu, kau terpilih menjadi ketua DPRD daerah
Surabaya. Di hadapanku Kau secara verbal mengucapkan janji-janjimu. Janji-janji
yang akan selalu kuingat seumur hidupku. Aku masih ingat salah satu janji yang kau
ucapakn sehingga membut ku memilihmua. Kau berkata,”...Jika saya terpilih
sebagai ketua DPRD 1 saya akan berusaha untuk menjadi ketua yang amanah. Saya
akan benar-benar memperhatikan kepentingna rakyat. Sembako murah, pendidikan
gratis, dan lapangan pkerjaan yang luas adalah janji yang saya penuhi bila
salah satu anggota DPRD tingkat satu Surabaya. Aku dan teman-temanku pun
sepakat memilihmu untuk menjadikanmu wakil yang diharapkan menjadi pengayomku.
Hari demi
haripun berlalu, sehari, sebulan, setahun, dan kini sudah berjalan dua tahun,
dua periode ia menjabat Ketua DPRD Surabay. Namun janji manis yang kau ucapkan
tak pernah tereleasisikan. Ah, dasar bangsat, penipu kelas kakap. Ia pura-pura
lupa padahal aku disini selalu menanti uluran tanggannya. Aku pernah datang ke
rumahnya. Mengharapkanmu untuk membantuku. Memebantu orang sepertiku yang
terjajah dan papa. Namun bukan sanga politisi angkuh yang keluar, namun anjing
yang menggognng dan mengejar ku. Kurang ajar! Dua kalinya aku mengetuk pintu
pagarmu, berharap kau akan datang dan menerima jeritanku. Namun kedua kalinya
aku harus menelan ludah sendiri. Kini bukan anjingnya yang menyambutku, namun
pengawal berpakaian hitammu. Mengusirku, seperti aku manusia hina.
Iblis kau, kau
gunakan uangku untuk kepuasan pribadimu. Enak ya! kau jalan-jalan bertraveling
ke luar negeri, aku disini juga berjalan-jalan menawarkan barang daganganku
untuk sesuap nasi. Kau makan enak di restoran ditemani relasimu, sedang aku
makan di warung di temani tikus-tikus lapar yang senantiasi melirikku untuk
memberikan sisa makannaku. Kau tinggal di rumah tingkat atau Hotel berbintang,
sedang aku tidur hanya beralaskan tikar. Kau bisa meneruskan kuliahmu hingga
samapai gelar dokter, menyekolahkan anakmu di sekolah paling bonafit di
Surabaya. Sedang aku? Betapa teririsnya hatiku melihat anakku merengek-rengek
untuk memasukkannnya di Sekolah Dasar termurah di sekitar rumah sekalipun namun
aku tak mampu.
Mana janjimu hai
sang wakil rakyat? apakah dulu kau tidak sadar, sedang berada di awang-awang.
Atau kau sedang mabuk ketika mengucapkan janji-janji, yang setelah kau sadar
kau lupa dengan semua itu. Dasar penipu! mana janji manismu yang kau ucapkan
dengan mulus manismu?
Dan kini aku
bisa bernafas sedikit lega, kau di penjara atas tuduhan korupsi, kolusi dan illegal logging, membusuk bersama para
tikus-tikus berdasi sepertimu. Sekarang kau bisa berbuat apa di sana, apa yang
bisa kau banggakan dari dirimu sekarang kau tak ubahnya seperti pesakitan. Bisa
apa sekarang kau di sana. Dalam tembok angkuh, inilah arti ketidakberdayaan.
Kau punya harta namun kau tak bisa menikmatinya, punya keluarga namun tak bisa
kau kasihi. Sepertinya ini laknat Tuhan padamu baru dimulai.
Kau sepertinya
masih menggunakan sisa-sisa kekuasaanmu untuk mendapatkan lagi kemewahanmu.
Dengan hartamu kau suap sipil penjara agar mau memberikan kemewahan di penjara
padamu. Namun untunglah walaupun banyak orang sepertimu namun beruntung dia tak
bernafsu pada gemerincing uang sepertimu. Namun sayang jumlah orang jahat memang
lebih banyak dari pada orang baik di dunia ini. Pengacara yang kau bayar dengan
hasil keringatku mau membantumu, setali tiga uang denganmu, ia pun mulai
memerasmu untuk memberikannya banyak uang untuk membebaskanmu. Dan pasti kau
pun menyanggupinya.
Di pengadilan kau
meraung-raung, menangisi keputusan hakim yang memberimu kehidupan berbeda, kau
dihukum 15 tahun penjara karena tuduhan korupsi, kolusi serta illegal logging telah terbukti dan
menjeratmu. Seperti anak kecil yang diambil minannya kau menangis, entah
tagisan apa yang sedang kau pertunjukkan. Mungkin tangisan ini adalah tangisan
kehilangan segala bentuk kemewahanmu dari harta yang kau ambil di tetes tetes
keringatku. Sekarang kau harus terkurung di sana, menjalani kehidupan nista.
Di Penjara, kau
merasakan bagaimana penderitaan menjadi rakyat miskin. Istri dan anakmu pun tak
sudi melihatmu. Ayah dan suami yang mereka banggakan ternyata mampu berbuat
setega itu. Ajaranmu tentang agama pada istri dan anakmu hanya omong kosong,
tak ada bukti. Betapa terpukulnya hatimu setelah surat gugatan dari isteri
tercintamu kau dapatkan. Kau menangis, menangisi kebodohanmu yang menilap
uangku. Anakmu pun seperti menundukkan wajah mereka pada dunia, malu bahkan tak
sudi punya Ayah munafik sepertimu. Kau menjadi orang yang terbuang, tak
diharapkan bahkan tak dinantikan lagi kehadiranmu. Kau terbuang.
Kau menyesali,
begitu menyesali perbuatanmu selama 20 tahun ini, kau teringat begitu banyak
noda dan dosa yang telah kau semai. Kau awali dengan berbagai janji manis,
kenudian kau tergoda atas harta yang ditawarkan para tikus-tikus negara itu. Menawarkan
agar membuta kebijakan yang menguntungkan para mafia negara dan makin
menjerumuskan ku ke dalam jurang dalam kepapan. Sayang kau terlambat, partaimu
sendiri yang telah mengibarkan namamu untuk menjadi ketua DPRD seakan tak mau
menolehmu lagi. Kini di sana posisimu telah digantikan oleh orang yang kurang
lebih sama denganmu. Penjahat santun berdasi, namun namanya juga penjahat,
berpenampilan apapun tak akan merubah aroma busuk sifatnya.
Setahun setelah
kau mendekam di rumah nerakamu kau mulai sakit-sakitan. Kenapa? tak tahankah
kau dengan situasi di penjara, makan seadanya, baju ganti yang hanya beberapa
helai, tak ada traveling, refreshing, dan hal-hal menyenangkan lainnya. Ini
mengingatkanmu ketika kau masih tinggal bersama kedua orang tuamu. Suatu malam
kau dibawa ke rumah sakit oleh petugas penjara karena kau pingsan di selmu. Setelah
di bawa ke rumah sakit kau ternyata menderita komplikasi jantung, tak tahan
menghadapi tekanan, kata dokter. Inilah harga yang harus kau bayar mahal atas
segala perbuatanmu. Kau pun harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit.
Dengan pengawalan ketat kau di rawat di sana selama seminggu. Namun sayang
rupanya orang-orang terdekat bahkan tangan kanannmu seperti tak ada lagi yang
peduli padamu. Dengar, mereka hanya peduli pada kejayaanmu. Dulu kau membuat
mereka bahagia, bangga, dan berpikir
bahwa kau hebat dengan menggunakan uangku. Sekarang apa yang mereka lakukakan
padamu. Haha, ku tertawa, kau bagaikan seonggok daging tak berguna, tak ada
yang peduli. Rasakan kau inilah dulu ketika kau juga tak peduli pada nasibku dan
hanya memikirkan kesenangan pribadimu.
Tepat sehari
setelah kau keluar dari rumah sakit polisi menemukan mayatmu di sel tahanan, kau
mati bunuh diri. Kau menangisi hidupmu yang malang. Sayang kau tidak pernah
menangisiku hai wakil rakyat yang telah menelantarkanku. Hak-hak yang
seharusnya kau bela. Namun kau hanya meratapi kesendirianmu, tanpa keluarga dan
kawan politikmu, tak bisa apa- apa dalam dingin jeruji besi. Kau mulai
mengambil sebuah pisau yang telah kau sembunyikan dari dapur umum, kau
keluarkan. Gemetar tanganmu, takutkah kau pada Tuhanmu? Kau mulai menyentuh
nadi tanganmu. Ragu-ragu menghinggapimu. Namun tak urung kau gores juga nadi
tanganmu. Darah bercecer, tetes tetesnya menghinggapi lantai kotor sel penjara.
Jijik sekarang aku melihatmu, bodoh! tak malah bertobat pada Tuhan malah
melakukan perbuatan yang dilaknat Tuhan. Sipil penjara menemukanmu tiga jam
kemudian, kau kehabisan banyak darah dan mati.
Di pemakamanmu
aku hanya tertawa, inikah nasibmu yang dulu menggusur tempat berdagangku,
menilap uangku, ini kah kamu yang membabat hutanku? kasihan sekali kau yang tak
pernah merasakan kenyamanan dalam hidupmu. Mengapa? karena kau bersenang-senang
di atas penderitaanku. Kini rasakan akibatnya kau mati tanpa penghormatan.
Lihat mantan istrimu tak datang. Kedua anakmu pun hampir tak meneteskan air
mata melihat pemakamanmu. Hanya kedua orang tuamu yang kulihat begitu sedih
melihat kematian tragis anak semata wayangnya. Tangis pilu ibumu seperti
bersenandung bertalu-talu mengiringi kepergianmu. Di sampingnya, Ayahmu hanya
menatap kosong ke arah perkuburanmu. Hatinya perih, tak pernah terlintas dalam
pikirannya bahwa a akan kehilangan putra
kebanggaannya dengan cara seperti ini. Lihat mereka, mengapa kau tega sekali
menyakiti orang yang paling mencintaimu di dunia ini.
Hai para Rahmad-Rahmad
yang lain kukatakan yang lain kukatakan kepadamu bahwa janji adadalah amanah,
yang akan dimintai pertanggungjawabannya. Menjadi wakil rakyat bukan hanya
sebuah gengsi. Lebih dari itu, menjadi wakil rakyat adalah sebuah beban di
pundak yang harus ditunaikan dengan baik. Bila kau tetap memilih menjadi Rahmad
yang telah kuceritakan tadi. Maka lihat laknat Tuhan bukan hanya di dunia kau
tidak punya ketentraman hidup namun di akhirat, mungkin kau akan dimasukkan
dalam neraka yang berkobar api-api. Dan junjunganmu pun mungkin tak akana sudi
menurunkan syafaatnyauntuk orang sepertimu. Maka marilah kita menjadi
Rahmad-rahmad yang amanah, menggenggam janji karena kecintaan pada Rabbi dan
Nabi. Hatumu akn tenang dan hidupmu pun akan tenteram.
Dan bagi Rahmad-Rahmad
yang telah menusukku dari belakang, bertobatlah mulai sekarang, jangan sampai
kau dilaknat Tuhan seperti Rahmad yang telah kuceritakan, ingatlah tangan
tangan kotormu telah menjadi alat yang mencambuk hatimu.
(Alfanita
Zuraida, Pend. Bahasa Inggris ’06)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar