Belajar di pinggir jalan ala kelas KKT Bahasa dan Sastra Indonesia |
“Saudara sudah
ada di kelas KKT ini, marilah kita rasakan ‘penderitaan’ ini, mungkin ada sesuatu
menyenangkan setelah lulus dari sini.
(Nadjid, dosen KKT Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia)
Di depan sebuah pintu di gedung T4 Unesa
tertempel sebuah tulisan “Kelas KKT A”. Di dalam kelas, seorang dosen sedang
memberikan ceramahnya tentang teori sastra yang terbagi dalam berbagai macam
teori. Mahasiswa di depannya tampak sangat mendengarkan penjelasan dosen.
Diantara mereka ada yang terlihat serius, namun banyak juga yang masih terlihat
bingung. Maklumlah, mereka semua bukan asli berasal dari Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Mereka adalah peserta program KKT Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia yang ingin memiliki kewenangan tambahan di luar
kewenangan utamanya.
Program Kependidikan dengan kewenangan
tambahan (KKT) adalah program Ditjen Dikti Kemendiknas yang bertujuan untuk untuk menghasilkan guru dan calon guru yang memiliki
keunggulan dan kompetensi sebagai guru profesional dengan kewenangan tambahan
mengajar mata pelajaran lain di luar kewenangan utama. Program yang dimulai
pada November 2011 ini memberikan kewenangan tambahan vertikal dan horizontal
pada guru dan calon guru. Kewenangan tambahan vertikal adalah lulusan program
S-1 KKT yang mampu melaksanakan tugas mengajar bidang studi utama pada jenjang
pendidikan yang berbeda, yaitu pada SD/MI dan SMP/MTs atau SMP/MTs dengan
SMA/MA/SMK. Kewenangan tambahan horizontal adalah lulusan Program S-1 KKT mampu
melaksanakan tugas mengajar bidang studi lain yang serumpun dengan bidang studi
utamanya pada jenjang pendidikan yang sama.
Dalam pelaksannannya, peserta program KKT dibedakan menjadi tiga
yaitu kelompok A, kelompok B, dan kelompok C. Kelompok A adalah mahasiswa S-1 Kependidikan dari program studi
yang terakreditasi yang telah menyelesaikan seluruh mata kuliah kewenangan
utama selain skripsi dan sedang menulis skripsi. Kelompok B adalah lulusan S-1
Kependidikan dari program studi yang terakreditasi yang belum menjadi
guru/belum memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK). Kelompok
C adalah Guru yang telah bersertifikat pendidik dan berkualifikasi S-1 akan
tetapi mengajar tidak sesuai kewenangan utamanya (mismatch) atau tidak
dapat memenuhi kewajiban mengajar minimal 24 jam tatap muka per minggu.
Program nasional ini dipercayakan kepada
dua belas Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), termasuk Unesa. Pada
program perdana ini Unesa diberi kuota 350 orang untuk direkrut menjadi mahasiswa
untuk mengikuti studi berbeasiswa penuh dari pemerintah selama satu semester. Ada
lima jurusan program KKT yang dibuka
oleh universitas yang dulu bernama IKIP Surabaya ini yaitu jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, Pendidikan Bahasa Jawa,
Pendidikan Matematika, Pendidikan Guru Sekolah Dasar, serta Pendidikan
Bimbingan dan Konseling,
Di jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, KKT dibuka dengan dua kelas yaitu kelas KKT A dan kelas KKT B. Kelas
KKT A rata-rata terdiri dari mahasiswa yang masih menyelelesaikan skripsinya
sedangkan kelas KKT B terdiri dari mahasiswa yang telah lulus S1 kependidkan
dan belum mendapatkan NUPTK. Kelas KKT juga
dibagi menjadi dua kelas yaitu KKT kelas A dan KKT kelas B.
Salah satu dosen pengampu KKT, Dr. Kamijan
M.Hum. mengatakan bahwa KKT sangat efektif dalam peningkatan proses belajar
mengajar Bahsa Indonesia di sekolah. Guru-guru yang bukan lulusan bahasa
Indonesia tetapi harus mengajar Bahasa Indonesia bisa mendapat ilmu tentang bahasa Indonesia. Selain itu diharapkan dengan adanya
program KKT ini kekuramgan guru Bahasa Indonesia di
sekolah-sekolah bisa teratasi. Pria yang barus saja mendapatkan
gelar doktornya di Udayana ini menambahkan bahwa
Program KKT ini akan dievaluasi untuk menentukan
apakah akan ada program KKT atau tidak setelah
angkatan pertama ini usai.
Menurut Septyn, salah satu mahasiswa KKT
A menyatakan bahwa program KKT ini sangat bermanfaat baginya, karena dengan
adanya program KKT ini, ia dapat mengajar di luar kewenangan utamanya. Gadis
berkerudung ini menambahkan bahwa efektifitas program KKT tergantung pada
pribadi masing-masing yang menjalankannya. Hal ini dibenarkan oleh David yang
juga salah satu peserta KKT B, baginya program KKT sangat bermanfaat karena
membekalinya untuk bisa mengajar Bahasa Indonesia. “Walaupun
harus belajar habis-hsbisan
dengan banyak teori yang membingungkan, program
KKT ini memberikan bekal padaku untuk menjadi guru Bahasa Indonesia yang
kompeten,”ucap pria asal Tulung Agung ini mantap.
Akhirnya, hanya ada dua kata dalam
mensukseskan program ini yaitu kerja keras baik kerja
keras dari rektorat, dosen dan mahasiswa. Pesimisme di awal
harus bisa dihapuskan dengan kerja keras dan keyakinan
pada orang-orang yang di dalamnya. Walaupun ini hanya program satu semester
namun bila diiringi dengan kerja keras, doa, dan keyakinan pasti ada manfaat
yang dapat diambil dari program pemerintah yang diluncurkan bersamaan dengan
program SMT-3T ini.(Alfanita Zuraida)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar