Sabtu, 15 Maret 2014

Kamu (Pasti) Pergi

Picture taken from: nurzarifahrosli.blogspot.com


“Maaf, aku tak bisa menemanimu dalam sangkar ini lagi, aku butuh terbang, aku butuh bebas”, katamu di suatu malam. Seperti biasa, kau datang di bawah temaram sinar bulan, berjingkat-jingkat mendekati jendela kamarku, mengetuknya pelan. Tepat tiga kali ketukan, aku membuka jendela, aku sudah tahu itu kamu. Tak ada orang yang setiap malam mengetuk jendela kamarku. Hanya kamu.

Tak seorang pun tahu, kalaupun mereka tahu mereka takkan peduli. Mereka lebih menikmati alunan musik mendayu-dayu dari radio tua yang terus digoyang-goyangkan untuk mencari gelombang atau ikut bergoyang koplo, oplosan atau apalah namanya dari sebuah program televisi yang katanya terfenomenal. Barangkali, mereka juga sedang menyaksikan sinetron Indonesia yang lain dari pada yang lain karena cerita hanya berkutat pada harta, tahta, wanita, dan anak yang ditukar. 

Biarlah mereka tak tahu, biarlah mereka tak peduli. Dengan begitu, aku lebih leluasa bicara denganmu sambil memandang wajahmu. Kau berbicara tentang mimpi-mimpimu dan mendengarkan keluh kesahku. Begitu saja, hampir setiap malam.

Aku tertegun, tak berkata apapun tentang pernyataanmu. Memandangi wajahmu yang sayu. Kesayuan wajahmu tak mengurangi daya pikatmu. Hari itu kau tampak begitu memesona dengan baju berkerah biru dan celana abu-abu. Ku tatap wajah rupawanmu, berharap di sana akan kutemukan kebohongan atau permainanmu. Tapi sia-sia, kau tak pernah berbohong apalagi mempermainkan perasaanku. Bersasi-sasi bersamamu, aku sadar bahwa kau lelaki petualang dalam arti sesungguhnya. 

Tak terhitung berapa banyak gunung yang kau daki dan tempat-tempat baru yang kau jelajahi di negeri ini. Ternyata kau tak puas dengan semua itu. Yang kau inginkan sekarang adalah melintasi samudra dan benua, melompat lebih tinggi, dan terbang sebebas-bebasnya.

“Jangan Pergi”, jeritku padamu. Ku tampakkan wajah tersedihku. “Kau tak boleh pergi, kau tak bisa meninggalkanku. Aku tak bisa hidup tanpamu.”, ku coba meneteskan air mata dukaku di hadapanmu, berharap airmataku melunakkan hatimu. 

Kau bangkit, tiba-tiba saja tangan kokohmu sudah berada di pipiku, menghapus laraku. Ingin aku berlari ke arahmu, memelukmu, namun jendela ini terlalu kuat untuk diterobos.

“Ikutlah denganku. Berapa lama kau di sana? Hanya menatap kepergian teman-temanmu meraih asanya, lepaskan saja semua. Ikut denganku, kita pergi bersama, aku tak bisa tanpamu. Ikutlah, apakau tak ingin menjelajah samudra, benua, dan melihat indahnya dunia? tanyamu berharap.

Aku tercengang, tak biasanya kau memintaku pergi. Selama ini, aku yang selalu memintamu untuk tinggal. 

“Ikutlah denganku, akan ku tunjukkan pada dunia bahwa kau kekasihmu. Ayo ikutlah denganku”, katamu masih terus merajuk.

Aku menggeleng. “Tak bisa, aku tak bisa meninggalkan sangkar ini. Ada sebuah kepatuhan yang tidak bisa ditukar dengan kebebasan”, kataku.

Kamu memandangku dan berkata “Aku tahu, tapi kau tak harus sepatuh itu, kau berhak menentukan pilihanmu sendiri. Kau berhak memilih, kau berhak bebas”, kau masih mencoba meyakinkanku untuk ikut bersamamu. 

Tiba-tiba kau menarik tanganku, sedikit keras, sehingga membuatku tersentak. Kau menggengam tanganku dan menatapku tajam seperti elang yang akan menukik mangsanya. Aku takut melihatmu seperti ini.

“Kamu tahu bahwa aku ingin bahagia, bukan hanya di sini tetapi juga di sana. Aku ingin melihat para bidadari bermata jeli yang menemaniku setipa hari. Minum dari mata air susu jernih yang selalu mengalir. Memetik sendiri buah-buahan yang aku suka. Dan semua itu harus kutebus dengan sebuah kepatuhan”, kataku menahan tangis.

Mendengar perkataanku, kau melepaskan genggaman tanganmu pelan-pelan. Tangan dan hatiku gemetar, selama ini kau tak pernah sekalipun melepaskan tanganku dalam genggamanmu. Kau selalu ada untukku. Hatiku berkata bahwa akan ada perpisahan tak berujung.

“Aku sudah tahu kau akan memilih ini, aku yang bodoh terus mengharapkanmu seperti ini. Maafkan aku sayang, aku tak lagi bisa tinggal. Aroma tanah-tanah kebebasan dan bau udara dunia luar memaksaku pergi.”,katamu.

“Tapi kau mencintaiku, tak bisakah kau tinggal?”, Kali ini aku yang memintamu menuruti keegoisanku.

“Tidak”, kau berkata sambil menggelengkan kepalamu. Lewat lubang besi kecil jendela, kau tarik tubuhku sampai berhadapan denganmu, wangi keringatmu yang setiap malam kurengkuh akan kurindu. Aku menatapmu, ada perasaan takut kehilangan di wajahmu.

Dengan tanganmu kau mendekatkan wajahku dengan wajahmu. Deru nafasmu terdengar jelas di telingaku. Ketika kau akan menempelkan bibirmu di bibir tipisku, ku beringsut menjauh.

“Ciuman ini mungkin adalah ciuman pertama dan terakhir kita. Kamu tahu? Mungkin setelah ciuman ini perasaan kita akan menjadi lebih dalam, dan kita tak akan pernah bisa saling meninggalkan,” kataku.

Sekilas aku melihat kekecewaan dari raut wajahmu. “Pergilah kalau kau ingin pergi, kejarlah apa yang ingin kau kejar. Namun, aku tak bisa pergi bersamau”, kataku seakan tak mau larut dalam kesedihan yang akan kita miliki.

Kau tak menjawab, hanya menatapku lekat-lekat. Aku tahu kau ingin mendengar pernyataanku sekali lagi. 

“Aku tak bisa ikut denganmu”, kataku padamu terakhir kali. Aku melihat perasaan terluka dalam matamu yang masih menatapku tanpa kata. Tiga detik berikutnya kau beringsut dari tempatmu berdiri. Aku melihatmu pergi menjauh dari jendela kamarku, menatap punggungmu sampai lenyap di ujung jalan.

Itu adalah hari terakhir aku melihatmu.

Alfanita Zuraida

1 komentar: