Selasa, 17 Januari 2012

Mencari Setitik Asa dalam Diri Anak-anak “Kreatif”



“Nak, bila kau kelak dewasa
Jadilah sebuah pohon, tapi bukan sembarang pohon
Jadilah pohon jati yang kuat
Tak lekang oleh badai yang menghempasnya
Yang daun dan kayunya dirindukan orang karena punya manfaat
Jadilah seperti itu bila kau mampu”

Dengan muka belepotan ingus, dia berlari-lari ke arah teman-temannya. Kadang, entah gemas atau si teman memang mengganggunya, ia melompatkan sebuah jitakan ke arah temannya. Karena temannya tidak terima, ia pun ganti memukul si anak beringus. Si anak beringus yang walaupun nakal namun ternyata cengeng akhirnya menangis meraung-raung. Tidak berhenti menangis, ia membuang semua barang yang ada di dekatnya ke arah teman-temannya. Teman-temannya yang melihatnya marah ternyata juga semakin bersemangat untuk menggodanya. Ah, Jadilah kelas Mathku tak terkendali karena semua anak di kelas mencoba membuat marah si anak beringus. Barang-barang milik teman-teman anak beringus yang dibuang berserakan dan bertebaran di mana-mana. Dengan muka merah menahan marah, aku segera menghentikan ulah si anak beringus dan teman-temannya. Untungnya, teman-temannya segera duduk kembali ke tempat mereka. Namun, si anak beringus masih setia berdiri di sana, terpaku, tak mau duduk dan kembali mengikuti pelajaran. Aku pun membiarkannya. Pada situasi seperti ini, saat belum tenang dia akan marah bila didekati. Bila si anak beringus sudah mulai tenang barulah aku mendekatinya. Biasanya dia akan menumpahkan kekesalannya dengan menceritakan apa yang ia rasakan, aku pun dengan senang hati mendengarkannya.

Sebut saja nama anak beringus itu Azril. Setiap hari ada saja ulah nakal yang dilakukannya, mulai dari memukul temannya sampai menangis, tidak mengerjakan PR, tidak menulis, tidak mau shalat, dan berbagai ulah yang kadang membuatku geleng-geleng kepala. Berbagai ulah yang kusebutkan di atas masih bisa kumaklumi, namun ada satu ulah yang kadang membuatku was-was yaitu ketika marah dan menangis, Azril sering membuang barang yang ada di dekatnya, tidak peduli itu meja, kursi, bahkan kotak infaq pernah menjadi sasaran kemarahannya. Aku takut benda-benda yang dilemparnya itu mengenai teman-temannya. Untunglah, sampai saat ini tidak ada temannya yang terluka karena ulahnya ini.

Di kelas 2-Cku ini bukan hanya Azriel yang membuat kelasku berwarna, masih ada banyak anak di kelas yang sangat ‘aktif’, sengaja aku tidak menyebut nakal. Mungkin kalau dirata-rata di kelas 2-C itu, 75% dari 30 anak adalah anak yang sangat aktif. Bukan hanya perilaku tapi juga sifat perasanya yang kadang membuat hati teriris-iris, tidak kuat, apalagi aku adalah orang yang juga perasa. Waktu menjelang shalat dhuhur, aku pernah beradu mulut dengan Asma (bukan nama sebenarnya) tentang bagaimana seorang muslim harus shalat dengan tertib agar disayang RabbNya. Tidak mau mendengar, aku mulai sedikit keras dengannya. “Kalau tidak mau shalat dengan tertib silahkan keluar” kataku, tapi apa yang terjadi Asma malah mengambil tasnya dan keluar, akan pulang. Sepertinya aku harus mulai mengendalikan emosi dan egoku, aku pun memanggilnya kembali, menasehati dengan kata yang lebih halus. Untunglah, dia mau kembali ke dalam kelas namun tetap tidak mau shalat. Atau di lain waktu, Farhan (tentu juga bukan nama sebenarnya), dalam satu hari bisa membuat tiga temannya menangis. Ada saja ulah bandelnya, mulai dari mengolok-olok dengan kata-kata yang kasar, memukul temannya, atau berkelahi dengan sesama teman aktifnya. Itupun juga sering membuatku lupa untuk mengendalikan emosi, terbawa suasana yang mengharuskanku untuk bersikap tegas.
Sering seorang guru menghadapi anak ‘istimewa’ seperti ini. Ada tiga hal yang harus diperhatikan guru ketika menghadapi murid seperti ini. Pertama, ajaklah si anak bicara dari hati ke hati. Tanya apa yang menjadi kesukaannya. Jauhkanlah ia dari kata-kata yang mengingatkannya tentang ‘keaktifannya’ di dalam kelas. Kalau dia suka menggambar, tanya gambar apa yang paling disukainya. Kalau si anak aktif suka berkebun, tak ada salahnya memperbincangkan bunga-bunga harum yang menawan hati. Kebetulan anak beringusku suka sekali jalan-jalan, jadi sering kutanyakan kemana dia ketika liburan tiba. Mengalihkan perhatian anak pada hal yang disukainya lebih baik dari pada mengingatkannya pada hal-hal negatif tentang si anak.

Anak-anak berprilaku sesuai dengan apa yang kita labelkan. Bila guru melabeli anak dengan kata “nakal” maka anak-anak pun akan berprilaku nakal, begitu juga bila seorang guru melabeli anak dengan kata-kata pemalas, cengeng, dan pemarah, mereka pasti akan menjadi seperti yang dilabelkan. Alangkah senang ketika kita mendengar seseorang memanggil kita dengan nama yang indah seperti cantik, ganteng, dan pintar. Maka begitulah aku memanggil anak-anak kreatifku, Azriel yang ganteng, Asma yang cantik, dan Farhan yang pintar. Semoga mereka bisa menjadi anak-anak yang perilakunya aku labelkan pada mereka.

Yang terakhir, sebagai guru, sabar dan yakinlah bahwa sang anak-anak kreatif belum tentu gagal dalam masa depan mereka karena kita berpikir mereka punya perangai yang buruk. Kenakalan adalah kekreatifan. Bandingkan saja anak yang kreatif dan anak pintar yang penurut. Mungkin dalam bermain mereka punya banyak ide untuk membuat permainan lebih hidup dan menyenangkan dari pada anak pintar yang penurut. Sabar, sabar, dan sabar. Jangan biarkan ego dan emosi kita turut serta dalam pembentukan karakter mereka karena mereka adalah peniru yang paling baik. Bila kita marah dan mengucapkan kata-kata yang tidak pantas, mereka akan melihat dengan mata dan merekamnya dalam ingatan mereka. Suatu kali pada saat mereka marah, mereka akan mengucapkan kata-kata yang tidak pantas karena di dalam pikiran mereka sudah ada file kata-kata itu yang tentunya didapatkannya dari kita.

Walaupun Azriel, si anak beringus sering membuat ulah, namun ada juga ulahnya yang membuatku tergelak, tertawa, terharu, kemudian merenung. Pernah suatu kali aku bermain ‘telfon-telfonan’ dengannya, aku menanyakan beberapa pertanyaan dalam bahasa Ingris, tak disangka dia mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan benar. Dengan senyumnya, dia juga selalu menyambut kedatanganku ke kelasnya, kemudian menjabat tanganku, dan menciumnya. Tak jarang dia juga kerap menyapaku dengan senyum manisnya ketika bertemu di luar kelas. Ternyata di luar ulah jahilnya, ada sesuatu yang tersimpan yakni kepolosan khas anak-anak yang tidak akan dimiliki oleh orang dewasa. Anak-anak tetaplah anak-anak. Mereka punya pikiran sendiri, berbeda dengan orang dewasa. Begitupun dengan Asma dan Farhan, keduanya termasuk anak-anak pintar di kelasku. Nilai-nilai mereka tak jauh dari angka delapan atau sembilan.

Cerita si anak beringus dan teman-temannya mungkin sebuah cerita yang menyadarkan kita bahwa apapun yang dilakukan oleh anak-anak kreatif yang kadang menurut kita bertentangan dengan apa yang kita pikir baik mungkin hanya adalah kenakalan kanak-kanak biasa. Dalam sebuah seminar pendidikan yang penulis ikuti beberapa waktu yang lalu salah pembicara yang juga merupakan kepala sekolah SMA Al-Hikmah Surabaya mengatakan bahwa walaupun si anak memiliki perangai yang kita anggap tidak baik, kita tetap harus selalu memberikan pendidikan karaker karena kita tidak tahu kapan Tuhan akan membuka pintu hati si anak untuk berbuat baik. Sekecil apapun perbuatan baik yang kita ajarkan pasti akan membekas pada diri anak. Anak bisa kita ibaratkan sebuah cawan dari tanah liat yang akan kita isi air. Sebelum kita mengisi air, kita harus memastikan bentuk cawan yang terbaik. Maksudnya, sebelum kita mengisi kepala anak dengan berbagai ilmu pengetahuan, kita harus membentuk karakternya terlebih dahulu. Dalam proses pembentukan karakter ini peran semua guru tidak dapat ditampikkan. Pendidikan karakter bukan hanya tugas guru agama, tetapi semua guru. Dalam urusannya dalam pegembangan karakter anak, semua guru seolah olah adalah guru agama dan guru bimbingan konseling. Semuanya wajib bertanggung jawab atas karakter dan psikologi anak yang diajarnya.

Kita harus menyadari bahwa tugas seorang guru bukan hanya mengajar, tetapi juga mendidik, memotivasi, dan menginspirasikan masa depan. Guru dituntut untuk menjadi pribadi sempurna untuk muridnya, sebagai model yang ditiru oleh siswanya. Mendapat siswa ‘kreatif” memang bukan perkara mudah karena fisik dan hati kita akan ditantang untuk menjadi lebih tangguh. Setiap anak pasti punya asa untuk menjadi sesuatu. Sebagai guru, kitalah yang harus menemukan asa itu. Semoga asa itu kelak akan menghantarkan anak-anak didik kita menuju sebuah kesuksesan yang hakiki.

Di ruang guru, ketika aku menceritakan apa yang terjadi ternyata guru yang pernah mengajar di kelas 2-C juga pernah mengalami apa yang aku alami. Tentang anak beringus dan teman-temannya, sang pengkreasi masalah di kelas 2-C. Mungkin semua yang pernah masuk kelas itu harus mempunyai dua hati, karena tidak cukup dihadapi dengan satu hati. Hati-hati yang lapang dan sabar, yang mau mengerti dan memahami sisi kanak-kanak. Hati-hati yang mau dan ingin merasa apa yang mereka rasakan. Cinta, perhatian, kasih sayang yang tercurahkan dari seorang pengabdi ilmu kepada anak-anak aktif akan memberi mereka rasa aman. Nasehat tulus dan kata-kata bijak akan menjadikan mereka insan yang senantiasa berfikir tentang kebaikan dan kebajikan. Mungkin bukan hari ini, mungkin nanti, atau esok.

Ie-th@
Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar