Kamis, 12 Agustus 2010

CUT NYAK DHIEN, WANITA DENGAN SEMANGAT BAJA


 Picture taken from: shadowness.com

Sosoknya begitu lekang di ingatan orang Aceh. Semangat mengusir Belanda dari tanah kelahirannya mendarah daging, menjadikannya sosok wanita yang tegar. Tak ada kata menyerah dalam kamus hidupnya. Hidup adalah berjuang. Dan ia akan berjuang sampai akhir hayatnya. Sedemikian kuat perjuangannya membuat kaum kolonial mengalami kesulitan ketika ingin menangkapnya.

Cut Nyak Dhien dilahirkan pada 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta yang masih mempunyai ikatan darah dengan Sultan Aceh. Sedangkan Ibunya adalah putri uleebalang bangsawan Lampagar. Dibesarkan dalam lingkungan bangsawan yang religius, ia mendapatkan banyak pelajaran agama. Pendidikan ini diberikan oleh kedua orang tuanya dirumah. Selain itu mereka juga mendatangkan guru agama untuk mengajar wanita yang teguh pendirian ini. Berkat didikan kedua orang tuanya, Cut Nyak Dhien tumbuh menjadi sosok wanita yang kuat dan tegar namun tidak melupakan agamanya. Jiwa patriotnya mewarisi jiwa ayahnya yang dikenal sebagai pejuang kemerdekaan yang anti pada Belanda. Di masa itu pula hubungan kerajaan Aceh dan Belanda kian memburuk yang menjadikan suasana perjuangan yang amat dahsyat. Mungkin juga karena itu ia mempunyai perasaan benci ymm mendalam pada bangsa yang sudah menjajah tanah kelahirannya selama bertahun-tahun ini.

Pada usia yang sangat belia, 12 tahun, ia menikah dengan Teuku Ibrahim Lamnga yang merupakan putra dari Uleebalang Lam Nga XIII. Setelah menikah, Cut Nyak Dhien dan suaminya masih tinggal bersama orang tuanya. Barulah setelah dianggap mampu mengurus rumah tangganya, ia diijinkan menempati rumahnya sendiri. Perjalanan rumah tangganya berjalan bahagia dan harmonis. Dari pernikahannya ini, mereka dikarunia seorang anak laki-laki.

Tahun 1973, ketika perang Aceh meletus Teuku Ibrahim Lamnga harus maju berperang di garis depan. Ia merupakan tokoh peperangan di daerah VI Mukim. Sebagai istri perasan berat ia rasakan ketika suami meninggalkannya dan anaknya. Namun keikhlasannya, membuatnya merelakan suami tercintanya untuk maju melawan kaum kafir. Sesekali Untuk mengobati kerinduan pada suaminya yang berada jauh di medan perang, sambil membuai sang buah hatinya ia menyanyikan syair-syair yang menumbuhkan semangat perjuangan. Ketika sesekali suaminya pulang ke rumah, maka yang dibicarakan adalah hal-hal yang berkaitan dengan perlawanan terhadap Belanda. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi sementara suaminya, Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda. Pada tanggal 29 Juni 1878 Ibrahim Lamnga tewas di Gle Tarum, hal ini yang menyebabkan Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah hanya akan menikah dengan orang yang membantu perjuangannya sekaligus menuntut balas kematian suaminya.

Ia menikah lagi dengan Teuku Umar, salah satu tokoh yang melakukan perlawanan terhadap Belanda. Mereka dikaruniai seorang putri yang bernama Cut Gambang. Setelah menikah dengan Teuku Umar, Cut Nyak Dhienpun ikut dalam berbagai pertempuran membantu suaminya. Dalam pertempuran ini berbagai cara dan taktik dilakukan kedua suami istri ini. Salah satunya adalah melakukan sebuah tipu muslihat. Pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan menyerahkan diri untuk menipu orang Belanda. Saat mereka keluar dari hutan mereka berkata:“ Mereka menyadari mereka telah melakukan hal yang salah, sehingga mereka ingin membayar kembali kepada Belanda dengan menolong mereka menghancurkan perlawanan Aceh”Belanda sangat senang karena musuh yang berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya komander unit pasukan Belanda dan kekuasaan penuh.

Sebagai seorang istri Cut Nyak Dhien selalu mendukung perjuangan suaminya. Apapun yang dilakukan suaminya ia yakin untuk kepentingan bangsanya. Sementara itu Teuku Umar berusaha mengganti sebanyak mungkin orang Beanda di unit yang ia kuasai menjadi unit gerilyawan Aceh. Ketik ajumlah orang Aceh tersebut cukup, Teuku Umar melakukan rencana palsu pada orang Belanda dan mengklaim kalau ia ingin menyerang . Teuku umar dan Cut nyak Dhien pergi dengan semua peralatan dan perlengkapan berat, senjata, dan amunisi Belanda, lalu tidak pernah kembali. Penghianatan ini dikenal dengan nama Hetverrad Van Teukoe Oemar (Penghianatan Teuku Umar). Penghianatan ini menyebabkan Belanda marah pada suami Cut Nyak Dhien ini. Kaum kolonialpun meluncurkan operasi besar-besaran untuk menangkap Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar. Namun, para pasukan gerilyawan telah mendapatkan perlengkapan terbaik dari Belanda karena tipu muslihatnya. Karena hal itu juga Belanda mencabut gelar Teuku umar dan membakar rumahnya. Akhirnya pada 11 februari 1899 teuku Umar Gugur tertembak peluru Belanda.

Setelah kematian suaminya Cut Nyak Dien tetap berjuang di hutan-hutan. Usianya semakin tua, matanyapun semakin rabun, penyakit encok sering menderanya. Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda sehingga Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-matian. Akibat Cut Nyak Dhien memiliki penyakit rabun, ia tertangkap. Namun ia masih sempat mengambil rencong dan mencoba untuk melawan musuh. Ketika tertangkap wanita yang sudah tak berdaya dan rabun ini, mengangkat kedua belah tangannya dengan sikap menentang. Dari mulutnya terucap kalimat, “Ya Allah ya Tuhan inikah nasib perjuanganku? Di dalam bulan puasa aku diserahkan kepada kafir”. Ia lalu ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Ia dipindah ke Sumedang berdasarkan Surat Keputusan No 23 (Kolonial Verslag 1907 : 12). Setelah ia dipindah ke Sumedang, pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua. Makam Cut Nyak Dhien baru ditemukan pada tahun 1959 di Sumedang. Ia dianugrahi Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.

Akhirnya, apakah kita terutama sebagai wanita mampu meneladani sosoknya. Berjuang bukan hanya untuk diri dan keluarga tetapi juga untuk bangsa dan negara. Mampukah kita sebagai wanita menjadi sosok wanita tangguh, teguh, dan berkepribadian seperti Cut Nyak Dhien? Sosok yang bisa menjadi panutan semua wanita di Indonesia? Mampukah, kita pasti mampu. Tataplah ke depan dan jadilah wanita sejati.

(Alfanita Zuraida, Dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar