Kamis, 12 Agustus 2010

SELAMATKAN MORAL DENGAN PENDIDIKAN KARAKTER

Semakin besar diri kita tergerak untuk tunduk pada hal-hal materi dengan godaan melalui berbagai macam penyelewengan dan akan selalu memiliki kebutuhan baru yang tak kunjung terpuasi, makin mendesaklah bagi kita untuk memperteguh dan memperdalam sisi kerohanian dalam kodrat alamiah kita.”(F.W. Foerster)





 Picure taken from indovasi.or.id

Sekitar tahun 80-90an, bila menonton berita di televisi kita akan disajikan berbagai hal baik tentang moral bangsa. Namun kini, jauh panggang dari api, berbagai berita di televisi seolah berlomba menampilkan wajah buruk moral bangsa Indonesia. Korupsi, kriminalitas, hingga pornografi seakan tak pernah usai menghiasi layar televisi. Masyarakat pun sudah biasa atau mungkin sudah bosan menyaksikan berbagai adegan kemerosotan moral. Negeri khatulistiwa nan indah ini seolah telah kehilangan sebagian karakter yang dulu dibanggakan sebagai identitas bangsa.


Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), karakter dapat diartikan sebagai tabiat yaitu sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan orang lain. Elmubarok menyatakan bahwa pendidikan karakter ibarat mengukir atau memahat jiwa sedemikian rupa sehingga membentuk pribadi yang unik dan menarik. Selain itu pendidikan karakter memerlukan disiplin tinggi dan pembiasaan. Ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter menurut Foerster, yaitu keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasarkan nilai; koherensi yang memberikan keberanian, membuat seorang teguh dalam prinsip dan berani mengambil resiko; otonomi yaitu penghayatan aturan-aturan dari luar menjadi nilai-nilai yang berlaku bagi pribadi; dan keteguhan serta kesetiaan.

Sejatinya tujuan pendidikan secara umum adalah menghasilkan pribadi cerdas dan berkarakter baik. Scalia, seorang Hakim Agung Amerika Serikat, menyatakan bahwa pendidikan karakter harus menjadi pondasi bagi kecerdasan dan pengetahuan terutama di era sekarang dimana economy menjadi pusat perhatian, segala sesuatu dapat diperjualbelikan. Seseorang yang mempunyai IQ di atas rata-rata atau katakanlah jenius dapat dikatakan sukses dalam pencapaian pendidikan kognitifnya. Namun, jika orang jenius atau cerdas tidak mempunyai dasar karakter yang terpuji bisa jadi pengetahuan atau kecerdasan yang dimilikinya malah akan menjadi bumerang. Pasalnya kecerdasan bukan untuk memperbaiki keadaan bangsa tapi sebaliknya akan melukai atau memperburuk bangsa itu sendiri. Karena itu pendidikan bukan hanya bertujuan menghasilkan pribadi yang cerdas tapi juga pribadi yang baik.

Pendidikan Karakter di Indonesia dari Masa ke Masa

Doni Koesoema A. dalam bukunya ‘Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global’ menyatakan bahwa pendidik modern seperti R. A Kartini, Ki Hadjar Dewantara, Mohammad Hatta, Tan Malaka, Moh. Natsir, dan Soekarno telah mencoba menerapkan semangat pendidikan karakter sebagai pembentuk kepribadian dan identitas bangsa sesuai konteks dan situasi yang mereka alami. Membentuk wajah bangsa merupakan keprihatinan pokok para cendekiawan kita. Dengan caranya masing-masing, mereka mencoba dan membayangkan serta menggagas sebuah bangsa yang memiliki identitas.

Pada masa R. A Kartini, ia telah memberikan sebuah pondasi penting bahwa sebuah bangsa akan memiliki karakter kalau penduduknya tidak tinggal selamanya dalam kegelapan pengetahuan, melainkan hidup dalam terangnya pemikiran dari akal budi manusia. Semangat dan pembaharuan yang ingin diraihnya inilah yang dapat ditemukan dalam buah karyanya yang berjudul Habis gelap terbitlah terang. Dalam bukunya, wanita yang dilahirkan di Jepara ini mengagumi kebudayaan negeri lain, terutama pendidikan yang dienyam kaum perempuan serta kecerian hidup mereka yang terlibat dalam dunia publik.

Bagi Sutan Syahrir, keterbelakangan bangsa hanya bisa diperbaharui jika setiap penduduknya mempergunakan kekuatan akal budi dalam mengatur tata kehidupan bersama dalam masyarakat. Salah satu tokoh nasional Indonesia ini juga mengagumi peradapan barat yang tampil dengan rasionalitasnya. Namun, ia juga tak kehilangan daya kritisnya terhadap pemikiran barat. Selain itu, ada pula perjuangan Moh. Natsir yang berpendapat bahwa suatu bangsa tidak akan maju tanpa ada guru yang mengajar dengan pengorbanan dan kerelaan hati. Pendapat ini selaras dengan ungkapan Dr. G.J. Nieuwenhuis, suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya.

Di sisi lain, menurut Mohammad Hatta, karakter bangsa hanya bisa dibentuk jika masyarakatnya mampu mempergunakan daya pikir dan mampu merefleksikan budaya sendiri dalam pengembangan kehidupan bersama yang tidak lain adalah perjuangan pemberdayaan. Bapak koperasi Indonesia ini adalah pemikir cerdas yang juga seorang filsuf. Beliau berjuang bukan hanya dengan kekuatan fisik tetapi juga dengan daya pikir. Tak heran, di manapun ia berada buku-buku selalu menyertainya. Berbeda dengan Mohammad Hatta, Tan Malaka memiliki cara bertindak yang berbeda. Ia adalah sosok yang dalam hidupnya mampu mengintegrasikan makna pemikiran dialektetis dari pemikirannya. Madilog pun menjadi salah satu karya Tan Malaka yang ingin menandaskan bahwa filsafat dapat menjadi dasar bagi sebuah pembaharuan sosial. Madilog mengungkapkan pokok-pokok pemikirannya secara lengkap.

Presiden Soekarno merupakan pejuang dan pemikir kemerdekaan Indonesia. Pria kelahiran Blitar, Jawa Timur ini adalah seseorang berkarakter yang mampu menyampaikan gagasan dan pemikirannya kepada khalayak dengan bahasa yang sangat sederhana dan memberikan keyakinan bagi rakyat sehingga semangat kebangsaan bisa menjadi milik semua. Sebagai seorang pendidik bangsa, Soekarno juga tidak ingin bangsanya menjadi bangsa yang memiliki mental budak yang enggan pada keinginan merdeka. Untuk itulah ia menyalakan semangat untuk merdeka. Baginya, kemerdekaan tidak akan terwujud jika prasyarat pokoknya, kemerdekaan tidak ada. Tidak ada bangsa yang bertanggung jawab jika tidak memiliki kemerdekaan, tidak ada kemerdekaan jika dalam mentalitas bangsa tidak ada semangat merdeka dan kemauan merdeka.
Pendidikan Karakter di Sekolah

”Saya mendengar dan saya melupakannya. Saya melihat dan saya akan mengingatnya. Saya melakukan, maka saya akan mengerti.”( Confucius)

Pendidikan karakter adalah sebuah proses, maka proses pembelajaran pendidikan karakter harus dimulai sejak dini sampai remaja sehingga ketika dewasa telah terjadi pembiasaan pendidikan karaker. Di sekolah, pendidikan karakter harus mulai diberikan mulai dari Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Pendidikan karakter juga tidak dapat dipisahkan dari proses pembelajaran di sekolah karena waktu bagi seorang anak banyak dihabiskan di sekolah. Oleh sebab itu, pendidikan karakter menjadi hal yang penting di sekolah.

Pendidikan karakter di sekolah-sekolah sering diidentikkan dengan pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan agama. Karena itu, pendidikan karakter hanya dianggap berkutat pada dua mata pelajaran itu. Setelah guru pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan agama memberikan materi-materi pada dua mata pelajaran tersebut maka selesailah pendidikan karakter di sekolah. Padahal, dalam implementasinya, pendidikan karakter di sekolah bukan hanya teori semata butuh practice yang bukan hanya sehari-dua hari.
Practice atau latihan pembiasaan pendidikan karakter dapat dilakukan dengan menanamkan nilai baik pada anak dengan mengajak anak melakukan atau mempraktekkannya. Latihan-latihan itu bisa berupa ajakan pada anak untuk disiplin dengan membuang sampah pada tempatnya, melatih anak untuk bisa mencapai prestasi akademis tertinggi, mempraktekkan nilai kejujuran dan kerja keras dengan tidak mencontek pada waktu ujian, serta berbagai praktek-praktek lain. Learning by doing akan membuat anak mampu untuk menyimpan apa yang mereka lakukan di dalam hati bukan hanya pikiran. Sehingga long term distance memory mereka akan lebih terasah dalam mempraktekkan hal-hal baik tersebut.

Selain itu, keteladanan juga menjadi hal yang penting. Anak-anak merekam dalam benak mereka apa yang mereka lihat. Dari apa yang mereka lihat, mereka akan mencoba meniru. Di sekolah, pendidikan karakter memerlukan keteladanan, terutama dari guru karena para siswa lebih banyak berinteraksi dengan guru. Guru hendaknya memberikan contoh baik kepada para siswa. Jangan sampai menyuruh siswa untuk datang tepat waktu, memarahi siswa pada waktu siswa datang terlambat, namun di sisi lain, guru dengan seenaknya datang terlambat. Hal itu memiliki negative effect pada siswa. Sebelum mengajarkan keteladanan sungguh baik kalau guru berusaha mempraktekkan apa yang diajarkannya terlebih dahulu. Selain itu keteladanan dari kepala sekolah dan karyawan sekolah juga menjadi sebuah keharusan dalam kesuksesan pendidikan karakter. Walaupun interaksi yang utama ada pada guru, para siswa hidup di lingkungan sekolah yang terdiri dari beberapa elemen. Jadi setiap elemen harus bekerja sama untuk mewujudkan keberhasilan pendidikan karakter.

Pendidikan karakter di sekolah juga membutuhkan kerja sama antara pihak sekolah dan orang tua. Pembelajaran karakter yang telah diajarkan di sekolah hendaknya dapat dibiasakan di lingkugan rumah. Tak berguna mengajarkan pendidikan karakter di sekolah tanpa dibarengi dengan pembiasan di rumah. Di rumah, orang tua bisa mengajarkan pembiasaan pendidikan karakter yang telah didapatkan di sekolah. Adanya sinergi antara pihak sekolah dan orang tua dapat membantu mempercepat terwujudnya keberhasilan pendidikan karakter.

Di sekolah, pendidikan karakter menjadi suatu keharusan karena pendidikan karakter tidak hanya menjadikan para siswa memiliki kecerdasan intelektual semata namun juga memiliki budi pekerti dan sopan santun sehingga keberadaannya sebagai anggota masyarakat kelak menjadi bermakna, baik bagi diri siswa itu sendiri maupun bagi orang lain.

Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi

Menurut Undang Undang (UU) No. 20 tahun 2003, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Sedangkan pendidikan nasional untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab. Berdasarkan UU tersebut, sebuah Perguruan Tinggi (PT) wajib hukumnya untuk membentuk lulusannya agar menjadi lulusan berkualitas dari dua segi, intelektualitas dan karakter. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Muhammad Nuh. Menteri pendidikan nasional ini menyatakan bahwa PT harus mampu berperan sebagai mesin informasi yang membawa bangsa ini menjadi bangsa yang cerdas, santun, sejahtera dan bermartabat serta mampu bersaing dengan bangsa manapun.

Pendidikan karakter di PT bukan lagi sebuah proses penanaman nilai. Lebih dari itu pendidikan karakter di PT merupakan sebuah aktualisasi diri dari pendidikan karakter yang telah didapatkan di sekolah. Pada usia masuk PT yang berkisar antara 18-25 tahun, seseorang mulai membangun kesadaran moralnya. Pada peralihan dari remaja ke dewasa ini, kesadaran akan nilai-nilai moral ini menjadi pandu bagi perilaku mereka.
Ketika masuk perguruan tinggi, seorang mahasiswa harus bisa merumuskan tujuan mereka masuk ke dalam jurusan yang akan mereka geluti. Alasan masuk perguruan tinggi ini adalah sebuah idealisme. Seorang mahasiswa dalam menjalani proses perkuliahan yang ada di PT tersebut. Tujuan itu seharusnya berkaitan erat dengan sebuah kata ‘kesejahteraan’ baik bagi dirinya, orang lain, serta bangsa dan negaranya. Misalnya, merumuskan tujuan masuk perguruan tinggi di fakultas kedokteran untuk menolong orang lain yang membutuhkan. Jangan sampai masuk fakultas kedokteran dengan biaya yanag besar namun bertujuan untuk mengembalikan kekayaan yang ia keluarkan ketika kuliah dan biaya tersebut harus kembali ketika ia lulus kuliah. Ini merupakan tujuan yang tidak sesuai dengan pendidikan karakter.

Dalam prosesnya, keteladanan juga harus diberikan pada mahasiswa oleh seluruh elemen yang ada di PT, baik dari rektor, dosen, dan karyawan. Dengan keteladanan yang diberikan akan membuat mahasiswa meniru apa yang dilakukan. Ketepatan waktu, kuantitas kehadiran, menjunjung tinggi nilai kebenaran dan kerja keras merupakan tiga hal penting yang harus ditunjukkan elemen PT kepada mahasiswanya. Sebagaimana dikatakan Natsir, yang dibutuhkan bangsa ini adalah “guru-guru sejati” yang cinta berkorban untuk bangsanya. Bagaimana murid akan berkarakter; jika setiap hari dia melihat pejabat mengumbar kata-kata, tanpa amal nyata. Bagaimana anak didik akan mencintai gurunya, sedangkan mata kepala mereka menonton guru dan sekolahnya materialis, mengeruk keuntungan sebesar-besarnya melalui lembaga pendidikan.

Evaluasi Pendidikan Karakter di Sekolah dan Perguruan Tinggi

Masih menurut Doni Koesoema A. dalam bukunya ‘Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global’ menyatakan bahwa dalam penilaian pendidikan karakter ada dua hal macam penilaian. Penilaian pertama lebih praktis sebab merupakan penilaian bagi program pendidikan karakter di sekolah. Penilaian kedua memiliki cakupan lebih luas. Penilaian ini berdasarkan penilainan pendidikan karakter dalam kerangka pertumbuhan dan perkembangan individu secara kelembagaan dalam relasinya dalam lembaga sekolah ataupun lembaga lain yang relatif terhadap dunia pendidikan.

Penulis yang juga aktif menulis tema pendidikan di berbagai media masa ini menyatakan bahwa ada tujuh kriteria penilaian dalam pendidikan karakter. Kriteria-kriteria penilaian itu adalah kuantitas kehadiran, ketepatan waktu dalam penyerahan tugas, jumlah tindak kekerasan, program kerja sama antarsekolah, keterlibatan anak didik dalam narkoba, prestasi akademis, dan kultur non-edukatif.

Kuantitas kehadiran dapat menjadi salah satu kriteria objektif untuk menentukan keberhasilan pendidikan karakter di sekolah dan di PT. Sekolah atau PT yang berhasil melaksanakan pendidikan karakter akan membantu individu mengembangkan pendidikan di lembaga pendidikan sebagai pribadi yang bertanggung jawab terhadap dirinya, tugas-tugasnya, dan terhadap orang lain. Dalam hal ini yang perlu diingat bahwa kuantitas kehadiran itu bukan hanya milik peserta didik saja namun juga semua elemen yang ada di sekolah atau PT tersebut. Semakin tinggi kuantitas kehadiran, bisa dipastikan bahwa penerapan pendidikan karakter yang ada di sekolah atau PT tersebut berhasil.

Selanjutnya ketepatan waktu dalam penyerahan tugas adalah kriteria kedua dalam penilaian pendidikan karakter di sekolah dan PT. Sama seperti kriteria pertama, ketepatan waktu dalam penyerahan tugas tidak hanya dilakukan oleh siswa namun juga kepala sekolah, guru, dan tenaga administrasi di sekolah. Sedangkan di PT sebuah kewajiban bagi mahasiswa, rektor, dosen, pegawai administrasi serta karyawan untuk menyerahkan segala sesuatu yang menjadi tugasnya tepat waktu. Semakin tepat waktu penyerahan tugas-tugas akademis, maka pendidikan karakter yang dilakukan di sekolah atau PT tersebut bisa dikatakan berhasil.

Kriteria ketiga adalah jumlah tindak kekerasan yang terjadi. Hanya karena alasan sepele, banyak terjadi tawuran antarpelajar dan antarmahasiswa terjadi di kota-kota besar di Indonesia. Dengan adanya pendidikan karakter di lingkungan sekolah dan PT, siswa dan mahasiswa dapat menanamkan nilai kerjasama, saling menghormati, dan saling menghargai perbedaan. Dampak positif dari penanaman nilai-nilai tersebut adalah menurunnya tindak kekerasan seperi tawuran di lingkungan sekolah dan PT.

Kerja sama antarsekolah atau antarPT bisa menjadi salah satu cara dalam meminimalisir tindak kekerasan seperti tawuran. Oleh sebab itu, keberhasilan pendidikan karakter di sekolah dan PT berkaitan dengan usaha memerangi tawuran. Hal ini dapat dilihat apakah jumlah program-program dan kegiatan yang memiliki unsur kerja sama dengan sekolah lain semakin meningkat dari tahun ke tahun atau tidak. Dengan adanya kerjasama antarsekolah atau antarPT, para siswa dan mahasiswa dilatih untuk menghargai perbedaan dan bekerja sama dengan sesama siswa atau mahasiswa antarsekolah atau antarPT.

Keterlibatan siswa atau mahasiswa dalam jebakan barang haram narkoba juga adalah salah satu indikasi keterlibatan pendidikan karakter di sekolah dan PT. Bila pemakai narkoba dari golongan pelajar atau mahasiswa dari tahun ke tahun jumlahnya semakin meningkat maka pendidikan karakter yang ada di sekolah atau PT tersebut dikatakan tidak berhasil. Bila pemakai narkoba dari golongan pelajar atau mahasiswa dari tahun ke tahun jumlahnya semakin menurun atau bahkan sama sekali tidak ada, maka pendidikan karakter yang ada di sekolah dan PT tersebut dikatakan berhasil.

Penilaian pendidikan karakter yang keenam dapat dilihat dari prestasi akademik. Hal ini dapat dilihat dari kemampuan siswa atau mahasiswa dalam memahami mata pelajaran atau mata kuliah yang diberikan guru atau dosen. Penilaian pendidikan karakter bisa dilihat dari berapa jumlah siswa atau mahasiswa yang tidak lulus . Kuantitas kelulusan dapat dilihat pada akhir pelajaran di sekolah atau pada akhir semester di PT. Pendidikan karakter akan menciptakan suasana yang baik bagi proses pembelajaran. Oleh sebab itu, kriteria paling objektif dalam menilai pendidikan karakter adalah prestasi akademik.

Kriteria terakhir adalah kultur non-edukatif, yaitu tidak dihargainya nilai kerja keras dan kejujuran. Di sekolah hal ini dapat diketahui dari berapa banyak siswa yang ketahuan menyalin jawaban. Mereka yang ketahuan menyalin jawaban merupakan data-data konkret dalam penilaian pendidikan karakter. Nilai kejujuran dan kerja keras bukan hanya ketika mereka mengerjakan ulangan tetapi juga berlaku dalam hal lain seperti otonomi dalam pengerjaan tugas-tugas. Di PT, nilai kejujuran dan kerja keras dapat dilihat bukan hanya dari ada tidaknya mahasiswa yang menyalin jawaban tetapi juga pada pengumpulan tugas-tugas (Tugas setiap semester atau tugas akhir). Bila banyak mahasiswa yang menyalin jawaban pada saat ujian dan pengumpulan tugas-tugas, bisa dipastikan bahwa PT tersebut belum berhasil melaksanakan pendidikan karakter.

Akhirnya, pendidikan karakter menjadi sebuah hal yang sangat penting bagi keselamatan moral bangsa Indonesia di masa depan. Negeri ini tak akan maju hanya karena memiliki indivudu dengan intelektual tinggi, namun diperlukan juga individu cerdas, bermoral, dan berkarakter. Oleh sebab itu penyelarasan antara intelektualitas dan karakter sangat penting. Apa jadinya kalau bangsa ini hanya memiliki orang-orang pintar yang tak berkarakter?

Alfanita Zuraida

Tidak ada komentar:

Posting Komentar