Kamis, 12 Agustus 2010

Soe Hok Gie, Pejuang Berani Pendobrak Tirani

“Akhirnya semua akan tiba
pada suatu hari yang biasa
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
Apakah kau masih berbicara selembut dahulu?
Memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
Sambil membenarkan letak leher kemejaku”

Itulah sebait puisi yang dikarang oleh Soe Hok Gie, seorang mahasiswa tahun ‘66 yang jujur, cerdas dan berani melakukan perubahan. Namun sayang ia menjadi seorang intellectual abortus, para intelektual muda yang mati muda sebelum banyak melakukan kerja besar dari hasil pemikirannya. Ia meninggal pada umur 27 tahun sehari sebelum hari ulang tahunnya ketika melakukan sebuah pendakian ke gunung Semeru.

Soe Hok Gie merupakan pemuda keturunan Tionghoa yang dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942. Nama Soe Hok Gie sendiri merupakan sebuah nama dari dialek hokian dari namanya Su Fu Yi (dialek Pinyin). Ia merupakan anak keempat dari lima orang bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan. Keluarga sederhana ini tinggal di Bilangan Kebon Jeruk, di rumah yang sangat sederhana. Mereka bertetangga dengan rumah orang tua Teguh Karya. Sejak kecil Soe Hok Gie dikenal sebagai anak yang suka membaca, mengarang, dan memelihara binatang. Sejak SMP, ia telah menulis catatan harian. Selain itu ia juga aktif berkirim surat kepada teman-teman dekatnya. Di masa SMP ini ia juga berani berdebat dengan gurunya, karena mengkritik gurunya tersebut. Dalam catatannya ia menulis “Guru model begituan, yang tidak tahan dikritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau.”Begitulah ia berani melawan kesewenang-wenangan walaupun dengan gurunya sendiri.

Ia menghabiskan masa SMAnya di SMA Kolese Kanisius. Kemudian ia melanjutkan studinya ke jurusan Sejarah, Universitas Indonesia tahun 1961. Disinilah ia menjadi seorang aktivis kemahasiswaan. Ia adalah orang pertama yang mengkritik tajam rezim orde baru. Dia mencatat:” “Kalau rakyat Indonesia terlalu melarat, maka secara natural mereka akan bergerak sendiri. Dan kalau ini terjadi, maka akan terjadi chaos. Lebih baik mahasiswa yang bergerak.” Saat itu keadaan ekonomi di Indonesia tidak terkendali. Hal itu membuat pemerintah mengaeluarkan beberapa kebijakan seperti sanering atau pemotongan nilai mata uang. Namun menurutnya hal itu justru malah mempersulit kehidupan rakyat.

Ia berpikir bahhwa sebagai mahasiswa, mereka adalah orang-orang terpilih yang dapat mengenyam pendidikan tinggi, oleh karena itu sudah seharusnyalah mereka terlibat dalam perjuangan bangsanya. Karena pikirannya itulah ia mulai aktif dalam berbagai aktifitas dunia pergerakan. Ia mulai mengadakan rapat-rapt, demostrasi, dan memasang ribuan selebaran propaganda. Kepada rakyat, pemuda yang sampai ajalnya tidak bisa mengendarai motor ini ingin menunjukkan bahwa mereka dapat mengharapakan perbaikan dari keadaan dengan menyatukan diri di bawah pimpinan patriot universitas. Ia juga menggabungkan dirinya dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).

Selain aktif dalam KAMI, Hok Gie juga aktif di Mapala UI. Ia juga dikenal sebagai salah satu pendiri organisasi mahasiswa yang mempunyai kegiatan inti naik gunung itu. Pada Desember 1969 ia berencana untuk mendaki mahameru, puncak gunung semeru yang tingginya 3.676m. 8 Desember sebelum Gie berangkat sempat menuliskan catatannya: “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.”

Kemudian terjadilah peristiwa itu, ia tercekik gas beracun yang ada di kawah mahameru. Ketika itu ia hanya ditemani seorang sahabat karibnya, Herman Lantang. Jenazahnya kemudian di bawah ke rumah lurah sebuah desa di kaki gunung semeru. Jenazah adik sosiolog, Arief Budiman itu dibungkus plastik dan kedua ujungnya diikat dengan tali dan digantungkan pada sebatang kayu yang panjang. Kulitnya tampak kuning pucat, matanya terpejam dan dia tampak tenang. Kemudian jenazahnya dibawa ke salah satu rumah sakit yang ada di Malang untuk dimandikan.

Pada 24 Desember 1969 Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak. Teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.

Soe Hok Gie memang telah tiada. Namun tahukah kita bahwa berbagai pikiran pemuda berani ini tetap bertahan tak lekang zaman. Mengapa? Karena ia telah menuliskan berbagai pikirannya ke dalam sebuah catatan. Catatan sejarah kehidupan seorang Soe Hok Gie. Di catatan itu ia menulis tentang kemanusiaan, hidup, cinta, dan kematian . Selain itu ia dikenal juga sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Beberapa tulisannya benar-benar tajam dan menohok pemerintah kala itu, sehingga seringkali ia mendapat ancaman dari berbagai pihak. Salah satu tulisannya yang terkenal adalah “Betapa Tak Menariknya Pemerintah Sekarang”, yang pernah dimuat di harian Kompas, 16 Juli 1969

Dari sebuah kisah itu kita harus mencatat dalam ingatan kita ada sebuah nama yang tak mungkin dapat terlupakan. Walaupun namanya melegenda seperti Bung Karno atau Bung Hatta. Kita patut menghargai apa yang di perjuangakan oleh Soe Hok Gie karena ia adalah seorang pemberani yang punya totalitas perjuangan dan sikap hidup yang luar biasa mengagumkan. Ia berupaya menegakkan kebenaran, keadilan dan kemanusiaan. Dalam tulisannya, ia menulis ” Manusia, adalah apa yang dipikirkannya. Jika anda adalah seorang yang berani dan jujur, dan itu yang anda pikirkan, tidak ada sesuatu pun yang bisa mengubahnya.”
Lalu sebagai mahasiswa? Apa yang akan kita perjuangkan? Akankah kita hanya berpangku tangan. Mari mahasiswa, mari menjadi Soe Hok Gie- Soe Hok Gie baru yang jujur dan berani!


(Alfanita Zuraida)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar