Kamis, 12 Agustus 2010

Emansipasi dan Peran Wanita Indonesia

Emansipasi wanita perlu di dalam pembangunan
Emansipasi wanita jangan sampai keterlaluan
Emansipasi wanita jangan melawan takdir Tuhan
Ini bencana...

 Picture taken from: Fitriatsabitawawadjdi.wordpress.com
 
Sebait lagu tentang Emansipasi wanita yang di bawakan oleh Rhoma Irama mengingatkan kita tentang apa dan bagaimana emansipasi wanita. Lagu yang menjadi sountrack film pengabdian itu juga menyadarkan kita tentang bagaimana peranan wanita dalam pembangun. Emansipasi wanita, dua buah kata yang sering kita dengarkan di tengah kehidupan masyarakat kita, yang selalu dibicarakan pada berbagai diskusi dan seminar namun jarang disadari maknanya.

Banyak orang mengira bahwa emansipasi yang didengung-dengungkan wanita pada saat ini bermula dari seorang tokoh wanita bernama R.A kartini. Namun marilah kita runtut sejarah emansipasi kita. R.A kartini yang lahir paada 21 April 1879 dan meninggal pada17 September 1904. Sebelum itu di majapahit Tribhuwanatunggadewi (1328-1350) M dan Kusuma Wardhani (1389-1429) M tercatat pernah memerintah kerajaan. Dalam catatan sejarah yang lebih tua Fatimah Binti Maimun yang makamnya berada di desa Leran Gresik telah menjadi wanita yang sangat dihormati. Dalam catatan sejarah ia meninggal dunia tahun 1028 M. Sebelumnya, ratu Sima yang merupakan ratu kerajaan Kalingga memimpin kerajaan dengan rasa keadilan yang menjadikan kemakmuran di negeri itu pada anbad VII M. Pada masa pemerintahannya kerajaan kalingga yang juga disebut sebagai kerajaan Holing atau Keling mengalami masa keemasan.

Selain itu beberapa nama tokoh wanita juga menghiasi sejarah bangsa kita seperti Christina Martha Tiahahu yang gigih berjuang bersama Pattimura di Maluku, Cut Nyak Dhien dan Cut Nyak meutia, dua srikandi Aceh yang berjuang melawan Belanda dari bumi Serambi Mekkah. Di Indonesia bagian timur tepatmya di Irian Barat, Herlina Efendi yang merupakan salah satu tokoh pembebasan Iraian Barat mendapatkan pending Cendrawasih Emas dari pemerintah RI.

Dengan berbagai fakta sejarah diatas ternyata jauh sebelum Kartini banyak tokoh wanita yang berhasil mendulang kepiwaian dalam mengambil peran sosialnya jauh sebelum era Kartini. Namun pertanyaannya adalah mengapa harus Kartini yang diberikan gelar sebagai tokoh emansipasi. Mungkin jawabannya adalah propaganda kolonial belanda. Hal ini berkaitan dengan publikasi korespondensi Kartini dengan sejumlah tokoh perempuan di negeri bunga tulip itu melaui buku dan media lain. Ini adalah taktik Devide at Impera yang dalam bahasa Indonesia diketahui sebagai politik memecah belah dan menguasai. Ini juga sebagai ajang akulturasi budaya dan nilai Belanda. Dan dari sejarah itu kita ketahui bahwa Kartini bukanlah wanita pertama pencetus gerakan emansipasi wanita. Namun perjuangan Kartini bisa kita jadikan sebagai pijakan tentang bagaimana seharusnya wanita berperan dalam kehidupannya.

Dan kini, seiring perkembangan jaman, wanita, terutama wanita Indonesia kini telah dapat disejajarkan dengan kaum pria dalam berbagai bidang kehidupan, baik di bidang politik ekonomi, dan sosial. Lalu bagaimana peranan wanita dalam pembangunan yang meliputi 3 bidang tersebut?

Dalam ranah politik, keterwakilan wanita untuk memperjuangkan nasib kaumnya dan masyarakat dinilai sangat postif. Ini dapat dilihat dari Pasal 65 ayat 1 UU Nomor 12 Tahun 18 Februari 2003 yang berbunyi “Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”. Ketentuan dari UU diatas merupakan tindak lanjut dari konvensi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), soal penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Selain itu, Uni Antar Parlemen (Inter Parliamentary Union) pada tahun 1997 di New Delhi mendeklarasikan “Hak politik perempuan harus dianggap sebagai satu kesatuan dengan hak asasi manusia. Oleh karena itu, politik perempuan tidak dapat dipisahkan dari hak asasi manusia”. Dilihat dari UU dan konvensi PBB tersebut menandakan bahwa dalam ranah politik peran wanita sudah mulai diakui dan diperhitungkan.

Di bidang ekonomi, wanita kini bukan hanya sebagai ibu rumah tangga biasa, lebih dari itu wanita kini telah menjadi tulang punggung keluarga, membantu sang suami bekerja. Dan berbagai pekerjaanpun telah dilakukan oleh wanita sebagai wujud pengabdiannya pada keluarga. Namun di bidang ekonomi, wanita juga dijadikan sebuah potensi pemberdayaan perempuan. Perempuan banyak dijadikan produk iklan dan pemasar berharga jual tinggi. Mereka rela menampilkan wajah dan kemolekan tubuhnya hanya untuk mendapat rupiah dan kesejahteraan yang dihasilkan.

Dalam bidang sosial, wanita yang dulu diberi stigma kasur, sumur dan dapur oleh masyarakat, kini mulai berbenah untuk menghapus stigma kasar itu. Bidang ini juga tak luput dari UU pornografi dan pornoaksi yang banyak menyita perhatian khalayak. Pada hakikatnya UU tersebut adalah sebuah bentuk perlindungan kehormatan wanita yang dijadikan bahan eksploitasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Namun entah mengapa banyak wanita yang menentang UU yang banyak memberikan perlindungan pada wanita itu.

Walaupun kini wanita telah banyak mengambil peran di berbagai kehidupan bangsa.Namun selayaknya sebagai wanita perlu menyadari peran utamanya yaitu sebagai pendidik generasi muda yang telah menjadi tanggung jawabnya. Wanita diharapkan bisa menjadi pendidik pertama dan utama bagi anak-anak yang dilahirkannya. Menjadi Ibu yang dapat membimbing mereka menjadi anak kuat dan cerdas agar dapat berguna bagi bangsa, negara, dan agama. Itulah sebenarnya peran wanita yang utama selain berbagai peran di ketiga bidang kehidupan tersebut.

Akhirnya, wanitapun dituntut untuk menjalani kehidupan sesuai perannya masing-masing. Wanita telah menjadi sosok yang harus di hormati dan dilindungi dari berbagai kekerasan dan penganiayaan. Namun, wanita juga harus sadar akan tugas utamanya. Semoga wanita Indonesia menjadi lebih baik dalam kehidupannya. Hidup wanita Indonesia!

(Alfanita Zuraida)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar