Kamis, 12 Agustus 2010

Mahasiswa Oh Mahasiswa



Kuhirup dalam-dalam udara pagi ini. Rasanya tetap sama seperti sebelum-sebelumnya. Aku menyusuri jalan yang sama, jalan beraspal ini, pohon-pohon ini. Rasanya sama seperti waktu pertama kaliku menginjakkan kakiku disini. Sudah tiga tahun aku disini, tentunya dengan status yang sama, sebagai mahasiswa. Status yang bagi sebagian orang diagung-agungkan sebagi agent of change. Namun mungkin bagi banyak orang masih dianggap sebagai tukang demo, suka tawuran, dan berbagai aksi brutal lainnya.

Di depan gerbang masih kulihat tulisan”Universitas Negeri Surabaya” berdiri kokoh. Pikiranku terbawa angin mengingat apa yang telah kulakukan selama tiga tahun di kampus ini. Sebagai mahasiswa di salah satu universitas negeri di Surabaya ini, apa ya yang telah kulakukan? sebagai mahasiswa apakah aku sudah melaksanakan kewajibanku dengan baik? apakah aku hanya menggerutu ketika hak-hakku tak kudapatkan dengan baik tanpa berani memberikan pendapat? Beberapa pertanyaan itu berkelebat di dadaku. Ku mengingat-ingat apa yang telah kulakukan selama tiga tahun masa kuliahku di kampus yang mengubah namanya menjadi Universitas Negeri Surabaya di tahun 1999 itu.

Di tahun pertama, aku merasakan ada yang berubah dalam hidupku. Kubahagia, aku bukan lagi anak SMA yang dipandang sebelah mata. Ku boleh berbangga hati, kini di dadaku tersemat sebuah status baru’ mahasiswa” sungguh keren pikirku. Akhirnya aku bisa menjadi mahasiswa. Mahasiswa, status yang hebat. Kuingat di tahun 1998, ketika aku masih SD, aku merasa bahwa mahasiswa adalah orang yang sangat hebat. Mereka berani mengubah keaadaan saat itu. Tak heran mereka dijuluki agent of change. Di masa ini tak banyak cerita yang kuingat, aku hanya seorang mahasiswa biasa yang tak tahu apa-apa tentang kehidupan sosial masyarat, bangsa dan negaranya. Aku seakan asyik sendiri dengan duniaku.

Di tahun kedua kuliah, aku mulai tidak fokus dalam kuliah. Aku ingin menjadi mahasiswa sejati. Aku hanya berpikir bahwa mahasiswa sejati adalah mahasiswa yang ikut berbagai organisasi di kampusnya. Akupun bergabung dengan beberapa organisasi mahasiswa. Namun parahnya, aku terjangkit virus asyiknya berorganisasi, menemui banyak orang dengan berbagai karakter, mengerjakan berbagai tugas organisasi. Sungguh menyenangkan!! Namun, hebat di organisasi tak membuat hebat di transkrip nilaiku. Akhirnya, beberapa nilai C dan satu nilai D tersenyum padaku dia akhir semester ini.

Di tahun ketiga, aku mulai fokus lagi pada kuliahku, study oriented adalah hal yang harus aku lakukan untuk mengejar ketertinggalanku. Takkan kubiarkan lagi diriku asyik berorganisasi hingga melupakan kuliahku. Aku menjadi mahasiswa ‘kupu-kupu’ di 2 semester ini. Ada tiga kegiatan inti yang kulakukan yaitu kuliah, tidur, dan mengerjakan bertumpuk-tumpuk tugas yang seolah tak pernah ada kata usai. Di semester ini pula ku mempersiapkan diriku untuk terjun ke masyarakat, membawa nama almamaterku untuk sebuah mata kuliah yang bernama Praktek Pengalaman Lapangan atau PPL. Sibuk sekali rasanya sampai-sampai kumerasa sebagai the real university student, namun benarkah?

Lalu kini, setelah tiga tahun waktu berlalu apa ya yang telah kuberikan pada alamamaterku, orang tua dan masyarakat? Ah aku tidak tahu. Kuamati sekitarku. Disana kulihat ada beberapa tipe mahasiswa. Aku berusaha mengintip mereka. Apa saja yang dilakukan tipe-tipe mahasiswa ini.

Mahasiswa pertama yang kuamati adalah mahasiswa “kupu-kupu” atau kuliah pulang. Mahasiswa ini menjalani hidup layaknya air. Mengerjakan tugas bila ada tugas, belajar bila ada ujian. Mahasiswa tipe ini kurang peduli dengan lingkungannya. Bila diajak ke sebuah kegiatan kampus mereka akan menolak mentah-mentah dengan berbagai alasan seperti malas, banyak tugas atau alasan lain yang bagi mereka lebih menyenangkan untuk dikerjakan. Bila seseorang mencoba menayakan sesuatu tentang kampus tercinta ini mereka akan berkata tidak tahu. Bahkan mungkin ketika ditanyai siapa nama rektornya sendiripun mereka akan mengelengkan kepala tanda tidak tahu.

Mahasiswa tipe kedua adalah mahasiswa kesayangan dosen. Mahasiswa ini selalu datang sebelum dosen datang. Mereka selalu duduk di tempat duduk paling depan. Mendengar dan mencatat penjelasan dosen dengan sangat teliti. Bila ada yang kurang jelas atau tidak sesuai denga pendapat mereka, mereka akan segera mengacungkan tangan untuk bertanya atau menentang pendapat dosen tersebut. Biasanya mahasiswa tipe ini selalu memiliki indeks prestasi (IP) akademik yang sangat memuaskan, karena tentu ini adalah tujuan mereka. Mahasiswa ini selalu menjadi tempat bertanya mahasiswa lain, karena teman-teman mereka yakin bahwa mahasiswa tipe ini akan memperoleh informasi yang up to date tentang tugas atau ujian yang diberikan oleh dosen.

Mahasiswa tipe ketiga adalah mahasiswa yang suka berorganisasi. Membuat kegiatan adalah hal yang paling mereka senangi. Biasanya mahasiwa tipe ini dekat dengan birokrasi karena setiap kegiatan mereka selalu bersentuhan dengan birokrasi, baik birokrsi tingkat jurusan, fakultas, atau universitas. Walaupun mereka aktif berorganisasi tetapi mereka tetap fokus pada kuliah. Beberapa kali mahasiswa ini akan memanfaatkan kesempatan untuk tidak masuk kuliah untuk suksesnya sebuah kegiatan.

Mahasiswa tipe terakhir adalah mahasiswa yang kuliah dan bekerja sambilan. Tipe mahasiswa ini adalah mahasiswa yang berusaha mencari peluang disetiap celah yang ada. Mereka adalah para pribadi mandiri yang tidak mau bergantung pada orang tua. Menjadi guru les privat, reporter, dan penjaga wartel atau warnet adalah pekerjaan-pekerjaan yang sering dilakukan mahasiswa tipe ini.

Akupun berpikir, kira-kira aku masuk mahasiswa tipe yang mana ya? Sepertinya aku pernah masuk semua tipe mahasiswa itu, dari mahasiwa ‘kupu-kupu’, anak dosen, organisatoris, sampai mahsiswa yang bekerja sambil kuliah. Namun tiba-tiba bergejolak sebuah pertanyaan besar lalu bagaimana mahasiswa ideal itu? iseng-iseng kubuka internet, di situs google kuketik “mahasiswa ideal” lalu beberapa artikelpun muncul disana. Kuklik salah satu artikel karya Salehuddin Yasin, pembantu Rektor UIN Alauddin. Beliau menulis bahwa mahasiswa ideal adalah mahasiswa yang juga berani bersentuhan dengan persoalan masyarakat. Namun sentuhannya didasarkan pada cita-cita ideal keilmuan yang bermakna, bukan lepas makna. Sehingga, ketika menjadi corong masyarakat, itu karena memang suara di loudspeaker-nya dibutuhkan pada ruang dan waktu yang tepat.

Kubandingkan dengan diriku sudah idealkah aku sebagai mahasiswa? sepertinya menurut artikel itu kata’ideal’ masih terlalu jauh dariku. Akupun merenung. Bersentuhan dengan masyarakat? selama ini aku hanya memikirkan diriku sendiri. Aku tak pernah mau mengurusi masalah masyarakat. Aku bukan mahasiswa ideal. Namun aku mau menjadi mahasiswa ideal. Dengan penuh semangat ku kuatkan diriku agar menjadi mahasiswa ideal. Mahasiswa yang bisa memecahkan masalah masyarakat, mahasiswa yang memiliki citra yang harus diemban, dan mahasiswa yang berorientasi pada pemberdayaan pemikiran.

Nah, teman-temanku para mahasiswa, mari kita merenung sejenak apa saja yang telah kita lakukan untuk almamater, orang tua, masyarakat, bangsa dan negara ini??kalau jawaban kita adalah belum melakukan apa-apa, marilah kita berbenah, kita gunakan waktu kita. Bukankah orang bijak berkata “gunakan masa mudamu sebelum datang masa tuamu”. Hidup mahasiswa!!!

(Alfanita Zuraida)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar