Kamis, 12 Agustus 2010

OSPEK, TAKE IT OR LEAVE IT?


 Picture taken from: Unesa.ac.id
Tahun 2006, Aku berteriak hore......akhirnya kulepas juga seragam abu-abu putihku. Aku berdiri di sana didepan kulihat sebuah papan nama besar bertuliskan UNESA. Setelah menjalani serangkaian tes masuk itu, akhirnya aku menjadi bagian dari civitas akademika universitas ini. Label mahasiswa baru telah aku dapatkan. Kini saat yang paling mendebarkan hatiku. Semua orang tahu menjadi mahasiswa baru bukanlah hal yang mudah. Aku harus menjalani sebuah masa orientasi atau yang biasa disebut OSPEK. Terlintas benar dalam benakku berbagai hal tentang OSPEK yang kulihat dan kudengar dari media dan cerita orang. Rata-rata dari mereka bercerita bahwa OSPEK adalah hal yang paling menyeramkan dan menyebalkan selama menjadi mahasiswa. Atribut yang beraneka macam seperti orang gila, tugas menumpuk yang harus dikerjakan, juga hukuman dari para senior ketika mahasiswa baru melakukan kesalahan. Semuanya berkelebatan dalam benakku. Aaakhh.....rasanya aku tidak mau melakukannya.

Hari pertama, kedua, dan ketiga OSPEK telah aku jalani. Tak ada yang berbeda dari apa yang kulihat dan kudengar dari media massa dan cerita orang. Semuanya memang benar. Selama tiga hari aku harus mengenakan berbagai atribut aneh mulai dari topi, tas, sampai kalung. Disaat seperti ini adaah hal yang paling menyebalkan karena aku juga harus mengumpulkan tugas, namun untunglah tugas yang aku terima tidak begitu berat. Mengenai hukuman, aku pikir hukuman itu tidak terlalu berat juga. Waktu itu kupikir bahwa OSPEK hanyalah sebuah kegiatan sia-sia karena tak begitu banyak manfaat yang dapat kita ambil dari OSPEK. Bertanya pada beberapa orang teman mereka akan menolak mengulang masa OSPEK mereka dengan berbagai alasan seperti lelah, malas atau hanya buang-buang waktu.

Tahun 2007, ku berdiri memandang segerombolan orang disana, berpakaian hitam putih sambil memakai beragam atribut aneh. Kuamati wajah mereka satu persatu. Wajah-wajah polos itu. Entah apa yang ada dalam benak mereka. Penuh berbagai macam gejolak perasan. Mungkin seperti yang aku rasakan pada tahun lalu. Kulihat raut muka mereka. Sebagian dari mereka kelihatan tegang, berfikir apa yang akan dilakukan para senior mereka. Namun banyak juga dari mereka yang kelihatan acuh tak acuh mungkin mereka pikir apa yang terjadi terjadilah, tak ada yang harus ditakuti, tak ada pikiran buruk tentang apa yang akan mereka alami. Beberapa orang berjas biru terus berbicara, membentak-bentak orang di depan mereka tanpa belas kasihan. Bahkan, diantara mereka ada yang mengeluarkan kata-kata kotor. Kata-kata yang tidak pantas diucapkan oleh orang yang mengaku terpelajar.

Tahun 2008, sama seperti dua tahun yang lalu kumasih berdiri di sini, juga memandang segerombolan orang dengan baju dan atribut yang sama. Entah apa yang mereka pikirkan dengan OSPEK ini, tak ada perubahan berarti. Atribut itu, tugas-tugas itu, serta bentakan-bentakan itu tak ada yang berubah dari tahun lalu. Akhirnya ku bertanya pada salah satu mahasiswa baru. Dengan lugu dia menjawab OSPEK adalah hal yang paling membosankan, sesuatu yang tak kan pernah diharapkan untuk diulang. Perasaan tertekan, tidak nyaman dan ketakutan kepoada senior ada dalam benak mereka ketika mereka menjalankan OSPEK adalah hal yang paling mengerikan.

OSPEK dari waktu ke waktu tak ada yang berubah mulai dari pemakaian berbagai atribut, pemberian tugas, sampai pemberian hukuman. Sungguh sebuah sesuatu yang ironis. Ketika kita melakukan suatu kegiatan namun kita tidak banyak mengambil manfaat dari kegiatan itu. Begitu pula OSPEK kini hanyalah sebuah budaya turun temurun dari dulu. Dari para senior ke junior. Tak ada perubahan yang berarti akan sebuah tradisi di sebuah institusi pendidikan. Kadang pula OSPEK hanya sebuah ajang balas dendam dari senior pada juniornya. Karena sang senior tidak bisa membalaskan dendamnya pada sang kakak kelas yang dulu “mengospeknya”maka sang seniorpun melimpahkan segala bentuk kekesalan dan kemarahan yang dialaminya dulu kepada adik kelas atau juniornya. Kalau tradisi ini bertahun-tahun tanpa ada perubahan maka apa yang dapat diharapkan dari mahasiswa yang dinilai sebagai agent of change? Malah mereka sendiri yang tak ingin ada perubahan.

Sejak tahun 1995-an, kasus OSPEK mulai banyak muncul di media public seiring dengan banyaknya korban yang terus berjatuhan. Lalu OSPEKpun berganti-ganti baju untuk memperhalus dan memulihkan citranya sebagai ajang penggojlokan. Ditinjau dari berbagai segi tak banyak manfaat yang dapat diambil dari sebuah rutinitas tiap tahun ini. Dari segi ekonomi, pembuatan atribut OSPEK hanya sebuah kesia-siaan karena setelah OSPEK atribut-atribut itu tidak akan terpakai lagi. Dari segi psikologi, untuk mendisiplinkan mahasiswa dalam waktu singkat dan dalam tekanan adalah sebuah tindakan yang tidak efektif. Menurut Thorndike, seorang ahli pembelajaran psikologi hukuman tidak efektif untuk meniadakan suatu perilaku tertentu. Begitu halnya dengan hukuman dan sanksi pada OSPEK tidak akan efektif membuat mahasiswa untuk menghilangkan perilaku-perilaku buruknya. Dari segi sosial, OSPEK dinilai mampu mengakrabkan mahasiswa dengan lingkungan kampus, namun proses keakraban pada mahasiswa akan terjadi dengan sendirinya ketika mahasiswa mulai beraktifitas dalam kampus.

Namun di balik berbagai segi negatif itu ternyata OSPEK juga mempunyai segi positif. Mahasiswa yang melakukan OSPEK akan menjadi lebih solid karena merasakan bagaimana pahit-getirnya OSPEK itu sendiri. Hubungan mereka akan menjadi sebuah kebersamaan yang menjadi modal sebuah kampus. Namun terlepas dari berbagai segi positif dan negatif ospek, sebagai seseorang yang telah mersakan pahit-getirnya OSPEK, OSPEK adalah sebuah kegiatan yang paling menyebalkan, berangkat pagi-pagi supaya tidak terlambat, memakai pakaian atribut warna-warni juga harus mendengar ocehan senior-senior yang seolah tak sampai pada kata usai. Namun, ada sebuah keyakinan kalau kegiatan ini akan menyenangkan bila dikemas dengan apik. Tanpa atribut, tanpa bentakan dan tanpa hukuman.
Atribut bisa diganti dengan sesuatu yang lebih berguna, yang tidak selesai digunakan kemudian dibuang. Misalnya penggunaan topi yang harganya kurang dari 10.000. Setelah OSPEK, topi-topi tersebut dikumpulkan dan diberikan kepada anak-anak jalanan. Rasanya itu lebih baik dari pada pembuatan atribut berharga sama atau lebih dari itu yang tidak bermanfaat lagi setelah OSPEK usai. Selain itu, hal itu juga merupakan wujud sebuah kepedulian mahasiswa terhadap lingkungannya. Karena diharapkan sebagai mahasiswa tidak hanya memiliki pikiran intelektual yang luas tetapi juga jiwa sosial yang tinggi.

Berbicara tentang tugas, tugas memang harus tetap ada namun bentuknya bisa disesuaikan. Mahasiswa adalah mahasiswa. Mereka harus mendapatkan tugas yang membuat mereka berfikir sebagai mahasiswa. Tugas tersebut bisa disesuaikan dengan mereka. Misalnya untuk mengetahui lebih jauh tentang UNESA kita tercinta ini mahasiswa baru harus membuat makalah tentang sejarah UNESA kemudian mempresentasikannya. Ini rasanya lebih baik dari pada harus membawa koran tiga edisi berturut yang manfaatnya kurang dirasakan mahasiswa. Atau bisa juga pemberian berbagai tugas yang memang mengasah otak mahasiswa agar berfikir secara ilmiah

Sedangakan bentakan dari senior ketika junior melakukan kesalahan dapat diganti dengan pemberian hukuman yang juga lebih mendidik dan manusiawi. Satu lagi yang harus di pertimbangkan oleh para senior panita OSPEK adalah jangan memberikan hukuman di depan para peserta OSPEK yang lain atau mengumumkan kesalahan seseoang di depan umum karena itu dapat membuat mental para peserta OSPEK menjadi down. Setiap orang memiliki kerentanan psikologis yang berbeda –beda sehingga hukuman yang serampangan atau perlakuan ospek yang menekan dapat menimbulkan suatu trauma psikologis tersendiri bagi beberapa orang. Trauma ini akan menimbulkan abnormalitas kejiwaan seseorang. Hendaklah lebih baik hukuman itu dibentuk dalam sebuah karya. Misalanya pembuatan karya ilmiah, atau tulisan populer seperti cerpen dan puisi, tergantung pada kesalahan yang dibuat oleh mahasiswa baru.
Keakrapan akan terjadi bila para senior menyayangi junior, juga sebaliknya junior menghormati senior sebagai orang yang datang lebih dulu ke dunia kampus ini. Pada hakikatnya semua mahasiswa adalah sama. Hanya saja waktu dan takdir saja yang membuat mereka berada di atas kita, menjadi senior kita, dan menjadi panitia OSPEK yang berhak “mengospek” kita.

Dengan tulisan ini bukan berarti penulis menyalahkan semua panitia OSPEK tentang berbagai konsep OSPEK yang telah mereka terapkan di fakultas mereka masing-masing. Namun semoga dengan tulisan ini dapat mambuka mata kita semua bahwa OSPEK bukan hanya rutinitas yang dilakukan setiap tahun yang isinya selalu sama seperti pemakaian atribut, tugas, bentakan dari senior, atau hukuman. Namun lebih dari itu OSPEK adalah sebuah kegiatan yang membuat mahasiswa baru mengetahui tentang kampus mereka dan situasi di dalam kampus itu sendiri. Diharapkan dengan adanya OSPEK para mahasiswa baru mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya dengan cepat. OSPEK 2008 telah kita lalui, diharapkan OSPEK 2009 akan lebih baik dari OSPEK-OSPEK sebelumnya. Tak ada lagi atribut aneh, hukuman,tugas, ataupun bentakan. Semoga! Mari wujudkan UNESA yang lebih baik!

(Alfanita Zuraida)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar