Senin, 23 Mei 2011

UNESA: SEWINDU DI BAWAH KENDALI L-15

Ada seseorang di balik mobil L-15 itu
Pria ramah kelahiran Salatiga
Sewindu sudah dia berkiprah
Demi kemajuan Unesa
Ah, siapakah dia?


Prof. H. Haris Supratno adalah sosok di balik kendali mobil L-15 itu. Pria ramah dan bersahaja ini dilahirkan di kota Salatiga pada 28 Agustus 1955. Ia menamatkan Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Salatiga pada tahun 1969. Pada tahun 1975, ia melanjutkan sekolahnya di Pendidikan Guru Agama (PGA) di Magelang. Setelah itu fakultas syariah Universitas Islam Indonesia (UII) Jogyakarta menjadi pilihannya melanjutkan sekolah. Ia pindah ke fakultas sastra Universitas Jember (Unej) pada 1981. Ketua Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2009 ini mendapatkan gelar doktornya di Universitas Airlangga (Unair) dan gelar profesornya di Unesa.

Tak terasa sewindu sudah kampus prima olahraga di bawah kepemimpinannya. Bulan Juni ini, masa jabatannya akan berakhir, namun kiprah dan perjuangannya selama delapan tahun tak akan mungkin terlupakan begitu saja. Singsingan lengan baju dan tetesan keringatnnyalah yang membuat Unesa menjadi salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang dipandang oleh masyarakat. Kiprah dan perjuangannya tak akan lekang oleh sang waktu.

Wider Mandate di Pundak Pemimpin Baru

Saat itu, Pada 1980 sampai 1990 minat masyarakat untuk belajar di IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Surabaya dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Puncaknya, 1997-1998, jumlah mahasiswa hanya sekitar 6.000 mahasiswa. Anggapan generasi muda bahwa profesi guru tidak menjanjikan seperti Oemar Bakri telah melekat kuat di benak mereka. Dan itu tak lepas dari kenyataan yang ada saat itu. Wider mandate merupakan salah satu alternatif untuk mengubah citra IKIP tersebut. Dengan wider mandate IKIP diberi tugas ganda yakni untuk menyelenggarakan prodi ganda, pendidikan dan nonkependidikan.

Tahun 1999 menjadi tahun bersejarah bagi Unesa. Di tahun itulah universitas yang memenangkan lomba Kontes Robot Cerdas Indonesia (KCRI) 2009 di Jogyakarta itu mengubah namanya dari Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) menjadi Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Perubahan ini berdasarkan SK Presiden RI Nomor 93/1999 tertanggal 4 Agustus 1999 dengan sebuah kepercayaan untuk menyelenggarakan perluasan mandate (wider mandate). Nama universitas pada waktu itu disesuaikan dengan nama kota tempat IKIP itu berada sehingga IKIP Negeri Surabaya menjadi Universitas Negeri Surabaya (Unesa) karena letaknya di kota Surabaya. ”Alhamdulillah, setelah berubah menjadi Unesa, minat masyarakat untuk masuk Unesa semakin tinggi. Dari 6.000 peminat naik menjadi 8.000, 1200, 1400, 1800, 20.000, dan 24.000 peminat setiap tahun. Hal ini berakibat pada keketatan masuk Unesa, sehingga input (mahasiswa baru) yang masuk ke Unesa pun semakin berkualitas. Nilai mahasiswa baru yang masuk melalui jalur SNMPTN pun tidak kalah dengan PTN besar lainnya.” jelas rektor Unesa dua periode ini.

Sebagai universitas baru, Unesa dituntut proaktif dalam mempersiapkan rencana pengembangannya. Rencana pengembangan Unesa inilah yang ada di pundak sang pemimpin baru. Pak Haris diangkat menjadi rektor Unesa pada tahun 2002 menggantikan Prof. Toho Cholik. Saat pengangkatan Pak Haris (Panggilan Prof. H. Haris Supratno, red.) menjadi rektor, usia Unesa baru memasuki tahun ketiga. Karena itu, suami dari Ibu Endah itu pun bekerja keras untuk memajukan Unesa. “Saya mengawal wider mandate dengan penuh rasa senang, syukur, penuh tanggung jawab. Saya bekerja dengan tenang dan ikhlas, tanpa mengaharapkan imbalan materi, hanya balasan dari Allah.” tambahnya.
Tingkatkan profesionalisme Tenaga Pendidik

Murid terbaik dihasilkan oleh guru terbaik. Dari kalimat itu dapat disimpulkan bahwa profesionalitas seorang guru dapat dijadikan tolok ukur dalam kualitas pendidikan, terutama pendidikan Indonesia. Kini, semua guru dituntut untuk memiliki sertifikat pendidik yang menunjukkan seorang guru benar-benar memiliki kualifikasi seorang pendidik atau dalam pengertiannya penulis kualifikasi guru profesional. Dalam Pasal 8 UU No.14 tahun 2005 dinyatakan bahwa karakteristik seorang guru profesional adalah “Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi sertifikat lulusan, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan mewujudkan tujuan pendidikan nasional”.

Prof. Dr. Soedijarto, M.A. dalam bukunya “Landasan dan arahan Pendidikan Nasional kita” memandang bahwa Guru harus memiliki empat kompetensi (kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional) sebagai sumber tolok ukur dalam dalam penilaian dan pengujian sertifikasi pendidikan, maka perlu menjadikan kemampuan: (1) merencanakan program pembelajaran; (2) mengelola proses pembelajaran: (3) menilai proses dan hasil pembelajaran; (4) mendiagnosis kesulitan belajar; dan (5) menyempurnakan program pembelajaran secara terus-menerus; sebagai wilayah yang dijadikan obyek penelitian bagi guru untuk memperoleh sertifikat pendidik.

Karena profesionalitas guru merupakan sebuah tolok ukur dalam kemajuan pendidikan Indonesia, maka sebagai LPTK yang mencetak calon guru, Unesa memiliki serangkaian kebijakan untuk mewujudkannya. Di Unesa, serangkaian kebijakan dilakukan pria dua putra ini. Kebijakan itu antara lain meningkatkan kualitas pembelajaran dengan melengkapi ruang kuliah dengan AC, media TI, komputer, laptop, dan laboratorium komputer di setiap gedung fakultas dan pasca sarjana; membekali mahasiswa dengan bahasa Inggris, kewirausahaan, dan TI; peningkatan kualitas dosen dengan study lanjut S2 dan S3, serta guru besar bagi yang sudah S3; peningkatan etika, moral, dan religi bagi mahasiswa dengan berbagai kegiatan keagamaan, baik melalui proses pembekalan dan ekstrakuler. Di tingkat nasional, Unesa juga ikut serta memperjuangkan kualitas dan kesejahteraan guru, perlindungan profesi guru melului program sertifikasi guru dan dosen. Di sini, Unesa ikut berperan sebagai penyusun undang-undang guru dan dosen.
Selaraskan Visi Unesa dan Program Kerja Rektor

Sebagai sebuah universitas, Unesa memiliki sebuah amanah yang tetap menjadikan Unesa sebagai universitas kependidikan (teaching university), dan selalu mendasarkan setiap aktifitasnya pada hasil-hasil penelitian/kajian/study kelayakan yang berkualitas (Research Based Activity). Visi Unesa dirumuskan dengan “Universitas mandiri berbasis penelitian dan pengembangan IPTEK serta tenaga kependidikan dan nonkependidikan yang profesional”.

Mandiri artinya pada tahun 2015 Unesa menjadi universitas berbadan hukum, yakni Badan Hukum Pendidikan Tinggi (BHPT) yang memiliki organisasi yang sehat, mampu melaksanakan otonomi PT, dan mampu mengelola manajemen internal berdasarkan LRAISE.

Berbasis penelitian berarti semua kegiatan di Unesa yang meliputi kegiatan tridarma, manejemen administrasi dan keuangan, pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), pengembangan IPTEK, kebijakan menghasilkan tenaga kependidikan/non kependididkan, dalam setiap pengambilan keputusan, harus didasarkan pada suatu hasil penelitian atau kajian mutakhir, baik yang bersumber dari dalam lembaga sendiri maupun dari pihak lain agar tujuan yang telah ditetapkan dengan maksimal.
Sedangkan profesional berarti lulusan Unesa mempunyai kompetensi sesuai dengan bidang keahliannya, memiliki bekal kewirausahaan, serta memiliki kemampuan daya saing secara komparatif dan kompetitif di tingkat nasional maupun internasional.

Visi Unesa ini selaras dengan berbagai program kerja rektor Unesa 2002-2009. Prof. Haris Supratno membuat berbagai program kerja berdasarkan visi Unesa tersebut. Program kerja tersebut antara lain pembinaan etika moral, dan religi sivitas akademika; peningkatan kualitas pembelajaran berbasis TI; peningkatan sarana dan prasarana penunjang pembelajaran; peningkatan labolatorium pembelajaran; pengadaan laboratorium komputer semua fakultas dan Program pascasarjana; peningkatan SDM baik dosen maupun karyawan melalui studi lanjut S2 dan S3, dan mendorong dosen yang sudah S3 ke guru besar; pengharagaan kepada sivitas akademika berprestasi; peningkatan kebersamaan dan persaudaraan; peningkatan kerjasama dalam dan luar negeri; serta berbagai program kerja lain yang tentunya selaras dengn visi Unesa.

Bentuk Moral Bangsa dengan Pendidkan Karakter 

Pendidikan karakter bangsa di Indonesia bukanlah hal yang baru dalam tradisi pendidikan Indonesia. Doni Koesoema A dalam bukunya “Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global” mengatakan bahwa pendidik modern seperti R. A Kartini, Ki Hadjar Dewantara, Soekarno, Hatta, Tan Palaka, dan Moh.Natsir telah mencoba menerapkan semangat pendidikan karakter sebagai pembentuk kepribadian dan identitas bangsa sesuai konteks dan situasi yang mereka alami. Membentuk wajah bangsa merupakan keprihatinan pokok para cendekiawan kita. Dengan caranya masing-masing, mereka mencoba dan membayangkan serta menggagas sebuah bangsa yang memiliki identitas.

Karakter berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Elmubarok menyatakan bahwa pendidikan karakter ibarat mengukir atau memahat jiwa sedemikian rupa sehingga membentuk pribadi yang unik dan menarik, selain itu pendidikan karakter memerlukan disiplin tinggi dan pembiasaan. Ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter menurut Foesrster yaitu keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasarkan nilai; koherensi yang memberikan keberanian, membuat seorang teguh dalam prinsip, dan berani mengambil resiko; otonomi yaitu penghayatan aturan-aturan dari luar menjadi nilai-nilai yang berlaku bagi pribadi; dan keteguhan serta kesetiaan.

Dalam pemaparannya pada seminar di gedung Serba Guna (Gema) beberapa waktu yang lalu. Pak Haris menyatakan bahwa sebagai seorang pemuda diharapkan dapat menjadi generasi insan kamil yaitu generasi yang memiliki empat kompetensi penting yaitu kompetensi religi, emosional dan sosial, profesional, serta kinestetik.

Dalam kompetensi religi, seseorang diharapkan mampu menguasai ilmu agama serta mampu mengimplementasikannya nilai-nilai agama dalam berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan beragama. Dalam kompetensi emosional dan sosial, seseorang dituntut untuk dapat mengendalikan diri, sabar, ikhlas, dan menjadi teladan. Dalam kompetensi profesional seseorang harus mampu menguasai ilmu berdasarkan keahliannya serta mengamalkannya untuk meningkatkan kesejahteraan dirinya dan masyarakat. Dalam kompetensi kinestetik, sesorang dituntut untuk memiliki kesehatan, bukan hanya jasmani, tetapi juga rohani.

Di Unesa, pembinaan kepribadian telah menjadi program yang dicanangkan sejak tahun 1998. Dalam prosesnya pembelajaran bukan sekedar proses transformasi atau perpindahan ilmu pengetahuan dari dosen pada mahasiswa namun lebih dari itu proses pembelajaran juga meliputi pembelajaran etika, moral, dan religius.

Sewindu memimpin Unesa bukanlah waktu yang singkat. “Selama sewindu memimpin Unesa saya merasa senang karena mendapat dukungan dan dapat bekerja sama dengan semua pihak baik dari senat, dosen, karyawan, mahasiswa, dan organisasi kemahasiswaan. Dalam memimpin, saya selalu mengedepankan kebersamaan dan persaudaraan dengan dilandasi niat ibadah, keikhlasan, dan kesabaran. Dengan berbagai perasaan itulah pekerjaan tidak terasa berat dan dapat terhindar dari stress.” aku pria yang pernah menjadi dekan FBS ini.

Setelah meletakkan masa jabatannya, pria dengan dua putra ini akan lebih berkonsentrasi mengurus keluarganya. “Setelah ini saya akan lebih konsentrasi mengurus keluarga, karena saya ingin keluarga saya menjadi keluarga yang sakinah, mawardah, dan warohmah. Selama ini saya merasa kurang memperhatikan keluarga karena pekerjaan sebagai rektor dan pekerjaan berskala nasional seperti pengurus inti MRPTN (2003-2009) ketua umum SNMPT 2009, kordinator nasional pengawas ujian nasional SMA dan MA.” jelas pria yang masih melaksanakan tugas sebagai dosen ketika sewindu menjabat.

Terselip harapan Pak Haris pada rektor Unesa selanjutnya. “Semoga pimpinan baru dapat melaksanakan target-target yang belum tercapai karena kendala birokrasi; dapat membuat terobosan dan inovasi baru untuk memajukan Unesa agar Unesa lebih berkualitas dan lebih terkenal baik di tingkat nasional dan internasional; lebih menekankan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) yang menyeimbangkan antara penguasan Imtaq dan IPTEK; menekankan kebersamaan dan persaudaraan; mengembangkan proses pembelajaran yang berbasis Imtaq, IPTEK, pembelajaran budi pekerti dan karakter mahasiswa sehingga menjadi generasi insan kamil.” harapnya.

Tak ada gading yang tak retak dan tak ada manusia yang sempurna, begitulah kata pepatah. Prof. H. Haris Supratno pun hanyalah manusia yang tak luput dari salah. Namun janganlah kita memandang orang dengan kelemahan dan kesalahannya saja, hendaklah kita juga menghargai perjuangannya yang tak kenal lelah. Dengan tetesan keringatnyalah, kita bangga dengan Unesa yang ada di depan mata kita. Unesa sebagai kampus guru bangsa dan prima olahraga. Semoga sang penerus perjuangan bisa melanjutkan perjuangan sang pengendali L-15 ini, seperti salah satu bait pantun di bawah ini:
Merah putih warna pusaka
Berkibaran di atas angkasa
Siapa juga punya kuasa
Jujur adil demi Unesa.

(Alfanita Zuraida)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar